Jakarta, CNN Indonesia -- Tak ada yang takut terbakar matahari yang bersinar terik siang itu, 7 Juli 2008, di Madiun, Jawa Timur. Warga berbondong-bondong merangsek ke sekitaran panggung.
Di atasnya, berdiri gagah Raja Dangdut Rhoma Irama.
Bukan konser tunggal, bukan pula festival musik. Saat itu Rhoma tampil hanya beberapa menit untuk kampanye salah satu calon gubernur dalam masa pemilihan kepala daerah (Pilkada) Jawa Timur 2008. Ketenarannya dan musiknya 'dimanfaatkan' meraup massa.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
 Sejak 1970-an Rhoma Irama sudah dimanfaatkan untuk mendulang suara dalam politik. (ANTARA FOTO/zarqoni maksum) |
Area panggung semakin padat berdesakan ketika musik grup Rhoma, Soneta mulai dimainkan. Alunan sember dan memekakkan telinga menguar dari sistem pengeras suara.
Warga tak peduli. Mereka tetap asyik berjoget dan menyanyi.
Tapi kali itu Rhoma tak sekadar mengajak menjauhi minuman keras alias miras atau begadang, seperti dalam lagu-lagunya. Sang Raja Dangdut juga punya pesan khusus. Pilih calon nomor urut 1 Pilkada Jatim masa itu. Tak lama, cagub perempuan yang didukung Rhoma naik pentas.
Ia menyapa warga, lalu ikut menyanyikan lagu Rhoma. Warga pun 'terjerat,' tersentuh hatinya karena calon pemimpin mereka seolah menyukai musik yang sama: dangdut.
Di antara warga yang berjoget, menyanyi dan menyaksikan langsung fenomena itu, adalah peneliti asal Amerika, Andrew N. Weintraub. Ia memang tengah meneliti soal musik akar rumput Indonesia yang digemari hampir di seluruh pelosok Nusantara.
Peristiwa itu ia tuangkan dalam bukunya,
Dangdut: Musik, Identitas, dan Budaya Indonesia.
Berdasarkan penelitian Andrew, dangdut telah digunakan politik sebagai komoditas menggalang masa saat kampanye sejak 1970-an. Alasannya, dangdut adalah musik rakyat.
Pengamat musik Wendi Putranto yang sependapat dengan itu, malah merasa aneh jika ada kampanye yang tidak menggunakan musik dangdut. Rhoma misalnya, Wendi mengingat, sudah menjadi politikus sejak dulu. Pada 1970, ia mendukung Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Rhoma saat itu benar-benar meraja.
Namun kariernya terhambat karena dangdut sempat dicekal Orde Baru. "Tahun '80-an Rhoma hijrah ke Partai Golkar, untuk dukung eksistensinya di musik tanpa pencekalan. Dengan begitu dia juga menjadi
vote-getter untuk Golkar," kata Wendi saat dihubungi melalui sambungan telepon oleh
CNNIndonesia.com.
 Musik sering digunakan sebagai komoditas saat kampanye politik. (ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat) |
Ketenaran Rhoma lantas kembali, bahkan meningkat. Ia melebarkan sayap dengan menjadi aktor dan menekuni karier sebagai pendakwah atau dai. Lagu-lagunya jadi lebih 'ceramah.'
Meski Rhoma 'rangkap profesi,' dangdut terus berkembang. Pada zaman itu ada Meggy Z, Mansyur S dan Caca Handika. Pedangdut perempuan termasuk Elvy Sukaesih dan Rita Sugiarto.
Tak hanya di ibu kota, dangdut di daerah pun mengalami pergolakannya sendiri. Suara 'dang' dan 'dut' masih ada, tapi setiap daerah memiliki sentuhan sendiri. Ada Saluang dangdut minang dari Sumatera Barat, Tarling dari Cirebon dan Koplo dari Jawa Timur.
Pedangdut pun beregenerasi. Pada era 1990-an sampai awal 2000-an, dangdut Indonesia diramaikan Iis Dahlia, Ikke Nurjanah, Cici Paramida, Inul Daratista, Annisa Bahar dan Alam. Dari nama-nama itu, Inul bisa dibilang paling fenomenal, bahkan sampai sekarang.
Ketenaran Inul bahkan serupa dengan milik Rhoma di masa lalu, berkat Goyang Ngebor, meski dua pentolan pedangdut itu sempat berkonflik. Belakangan, keduanya akhirnya bisa rukun.
Kalau dangdut mengalami berbagai kelokan hidup, tidak demikian soal hubungannya dengan politik. Ia tetap jadi komoditas, bahkan dalam Pilkada Serentak yang digelar tahun ini.
Lihat saja yang dilakukan pasangan calon gubernur dan wakil gubernur Pilkada Jatim 2018, Saifullah Yusuf-Puti Guntur Sukarnoputri. Gus Ipul, sapaan karib Saifullah, menggandeng pedangdut Via Vallen dan Nella Kharisma pada Januari lalu.
Ia mengklaim memiliki keinginan yang sama dengan Via dan Nella, yaitu menebar kebaikan dan kerukunan.
"Musik ini kita jadikan alat pemersatu, bukan sebaliknya," kata Gus Ipul.
Via mengaku akan
all out untuk pasangan Gus Ipul-Puti. Di atas panggung-panggung dangdutnya yang mendukung, Via mengajak mendukung Gus Ipul yang menurutnya rendah hati, cerdas, dan sudah punya pengalaman 10 tahun sebagai Wakil Gubernur Jatim.
 Via Vallen dan Nella Kharisma bersama Gus Ipul. (ANTARA FOTO/Zabur Karuru) |
"Intinya saya minta nanti vyanisTy [penggemar Via Vallen] tidak salah pilih," kata Via.
Fenomena itu tak lepas dari pantauan pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada, Erwan Agus Purwanto. Menurutnya, masyarakat Jatim terbagi menjadi tiga: masyarakat mataraman, arek dan santri. Dalam politik pembagian itu sangat penting karena berpengaruh pada suara.
Suara masyarakat santri, kata Agus, sudah 'aman' karena Gus Ipul merupakan tokoh Nahdlatul Ulama (NU). Gus Ipul tinggal harus menarik hati masyarakat mataraman dan arek.
[Gambas:Youtube]Untuk itu, musik dangdut ia gunakan. "Dua bagian masyarakat itu dipengaruhi musik dangdut, Via dan Nella sedang naik daun. Terlebih mereka berasal dari Jatim, ada kedekatan emosi."
Nama Via menanjak pada awal 2017 lewat lagu
Sayang. Video musik lagu itu di YouTube sudah ditonton sekitar 167 juta kali sampai saat ini. Pun hampir setiap stasiun televisi swasta mengundang musisi bernama asli Maulidia Octavia itu, bahkan yang bertaraf nasional.
Sedangkan Nella mulai dikenal lewat lagu
Jarang Goyang pada pertengahan April lalu. Video musiknya sudah ditonton 176 juta kali. Seperti Via, ia juga sering mejeng di televisi.
Kepada
CNNIndonesia.com Agus menambahkan, politisi memang akan menggunakan apa pun sebagai komoditas. Apalagi musik dangdut dan penyanyinya yang punya kedekatan dengan Jawa Timur.
Inul, pedangdut fenomenal yang disinggung sebelumnya, pun berasal dari Jawa Timur. Itu membuat masyarakat Jawa Timur lantas merasa 'memiliki dangdut,' meski seperti juga ditulis di atas, setiap daerah di Indonesia punya karakter dangdutnya sendiri.
Soal itu, Gus Ipul pintar 'memainkan' peran Via dan Nella. Mereka diminta menyanyikan lagu kampanye Gus Ipul-Puti bertajuk
Kabeh Sedulur Kabeh Makmur dengan versi masing-masing.
Ada dua versi lagu yang dihasilkan.
Nella menyanyikan
Kabeh Sedulur Kabeh Makmur yang nuansa dangdutnya sarat terasa. Namun komposisi lagu dibuat Koplo, sesuai karakter dangdut asal Jawa Timur.
Sementara
Kabeh Sedulur Kabeh Makmur yang dinyanyikan Via Vallen, sama sekali tidak terasa dangdut. Pada beberapa bagian memang terdengar suara musik seperti gamelan Jawa, tapi secara keseluruhan lagu itu sangat terasa nuansa
electronic dance music (EDM)-nya.
[Gambas:Youtube]Wendi menilai, membuat dua versi lagu itu merupakan keputusan tepat dalam kampanye. Dengan demikian, lewat satu lagu mereka bisa meraup lebih banyak suara.
"Saya rasa versi dangdut koplo untuk menarik milenial di pedesaan, sedangkan versi yang elektronik untuk menarik milenial urban Jatim," kata Wendi. Terlebih lagi, yang digandeng Gus Ipul bukan cuma itu.
Ia juga mengajak kerja sama kelompok penggemar dangdut koplo bernama Saudara New Pallapa (SNP). Mereka masuk ke kampung-kampung untuk 'menyanyikan' nama Gus Ipul-Puti.
Kerja sama dengan komunitas itu menjadi mengindikasikan bahwa Gus Ipul-Puti memanfaatkan musik dangdut secara maksimal. Bukan hanya pedangdut saja yang digandeng, tetapi komunitasnya juga digunakan sebagai komoditas untuk semakin masuk ke masyarakat.
[Gambas:Youtube]"Tapi kita enggak tahu seberapa dangdut mereka [para calon]. Ironisnya, enggak ada yang peduli dengan musik dangdut kalau mereka menang," kata Wendi.
Di sisi lain, tentu saja menggunakan musik dangdut tak menjamin jumlah suara yang didulang dan kemenangan dalam politik. Itu hanya usaha untuk menjadi populis dan menggalang massa.
"Tapi sebenarnya efektivitas suara tidak hanya ditentukan dengan itu saja," kata Agus.
Pedangdut juga 'Manfaatkan' PolitikusMelihat hubungan politik dan dangdut tak bisa hanya dari satu sisi saja. Keduanya bisa dibilang saling memanfaatkan. Kalau politisi untuk mendulang massa, pedangdut untuk mengantongi uang. Via Vallen misalnya, tak hanya 'setia' pada Gus Ipul semata.
Ia juga terlihat di kampanye Pilkada daerah lain, terlihat dari unggahannya di Instagram.
[Gambas:Instagram]Pada Selasa (19/6) Via mengunggah dokumentasi penampilannya di Sukamara, Kalimantan Tengah. Ia tampil dalam kampanye pasangan galon bupati dan wakil bupati Kabupaten Sukamara Ahmad Darsoni-Muhammad Yamin atau biasa disebut ADIDAYA.
Unggahan berikutnya memperlihatkan penampilan Via dalam kampanye pasangan calon bupati dan wakil bupati Kabupaten Lamandau Hendra Lesmana-Riko Porwanto alias HeRo.
[Gambas:Instagram]Setelah itu, Via beralih ke kampanye Pilkada tingkat provinsi. Ia tampil dalam kampanye pasangan calon gubernur dan wakil gubernur Lampung Arinal Djunaidi-Chusnunia (Nunik).
Terakhir, sebelum hari pemilihan, ia tampil dalam kampanye pasangan calon wali kota dan wakil wali kota Tegal, Dedy Yon Supriyono-Jumadi. Entah bagaimana bunyi kontrak Via dengan pasangan-pasangan itu, benar-benar mendukung atau hanya sebatas tampil dan 'ad libs.'
[Gambas:Instagram]Wendi melihat, manajemen Via juga 'pintar' memanfaatkan situasi.
Dengan tampil di banyak kampanye Pilkada, kata Wendi, artinya Via tidak terikat kontrak ekslusif dengan salah satu pasangan calon. Manajemen Via juga memilih tampil di daerah yang berbeda-beda sehingga tidak menimbulkan konflik antarpasangan calon.
"Ketenaran Via Vallen saat ini bertaraf nasional, setara dengan Inul di awal 2000-an. Jelas saja banyak paslon yang mau karena Via banyak penggemar, dilihat dari Instagram
followers dia jutaan," kata Wendi, mencoba menjelaskan mengapa Via jadi 'rebutan.'
[Gambas:Instagram]Di hari pemilihan, Via hanya sekali lagi mengingatkan agar penggemarnya tak golput. Namun soal siapa yang dipilihnya, ia tak mengumbar-umbar. Sehari sebelum Pilkada Rabu (27/6) ini ia justru pamer foto menaiki kereta bandara di Soekarno Hatta Tangerang.
Namun beberapa jam lalu, ia mengunggah fotonya berlibur di Bromo, Jawa Timur.
(rsa)