Sore itu, sekitar tahun 1989, Ibhet kecil begitu gembira. Tanpa banyak protes bocah tujuh tahun itu mandi sesuai perintah ibunya. Duit jajan ia kantongi, lalu berangkat mengaji.
Setelah menutup kitab Iqra-nya—terkadang ia bahkan madol dan tak mengaji—Ibhet bersama teman-temannya bergegas menuju tanah lapang di Kampung Meruya.
Ada pertunjukan layar tancap malam itu. Filmnya Kupu-kupu Beracun.
Artinya, nonton film gratis, bebas beli jajan, bisa main sampai malam.
Terkadang Ibhet bahkan tak pulang.
Satu film, dua film, sampai lima film pun ia tunggui. Ia menanti film bagus yang baru diputar di ‘ronde’ ketiga atau keempat. Kalau perlu ia tidur dulu agar tak mengantuk saat film itu diputar. Nanti teman-temannya membangunkan.
Satu kali tanggap layar tancap biasanya total ada lima film. Kelar-kelar pukul empat pagi. Kalau ada film India, saat azan subuh berkumandang pun film masih main. Jika sudah begitu, Ibhet sekalian menunggu fajar baru pulang.
“Kadang mau pulang saya merasa, kok jauh juga perjalanan,” Ibhet, kini 37 tahun, bercerita mengenang menonton layar tancap bersama belasan temannya.
Suatu kali, Ibhet dimarahi ibunya karena tak pulang. Masalahnya teman-temannya yang lain sudah pulang lebih dahulu. Ibhet sengaja ditinggal. Ia dikerjai, lantaran menyempatkan diri tidur demi menunggu film idaman.
Bangun-bangun, film Suzzanna Malam Satu Suro sedang disetel. Tak ayal Ibhet ketakutan pulang malam-malam. Ia pun memilih pulang pagi, meski kena marah.
"Seninya di situ, dulu kita bersahabat satu dengan yang lain ketemu, sekarang kan lewat HP [handphone]. Sama kalau anak-anak ABG [Anak Baru Gede] yang sudah mengenal cinta mencari pasangan di situ juga, kenalan gitu. Kadang-kadang tuh kalau zaman dulu nemu jodoh di layar tancap itu bisa," tutur Ibhet.
Ibhet sendiri tak termasuk yang beruntung bertemu jodoh di layar tancap.
Ia justru sering menemui perkelahian antar-pemuda atau antar-kampung. Paling sering perkara judi koprok. Tapi Ibhet mengaku tidak takut. Ia tetap menunggu sampai acara kelar. “Layar udah rubuh, kita masih tuh di sana,” ceritanya.
Hanya saja, jika esoknya harus sekolah, Ibhet dijemput ibunya pukul 12 malam.
Ibhet bertahan sampai larut, rupanya menunggu ‘rezeki.’
“Duit jatuh, atau sandal ketinggalan, itu pasti ada,” ia mengenang.
Mulai Rp50 sampai Rp1.000 bisa ia kantongi dari bekas lapak permainan judi atau dompet yang terjatuh. Koin yang tercecer juga bisa didapat kalau teliti.
Kalau tak dapat rezeki nomplok untuk jajan, Ibhet menjual koran bekas untuk alas duduk. “Itu buat pelengkap uang jajan saja,” kata Ibhet lagi.
Ibhet merasa beruntung sempat mengalami masa keemasan layar tancap, hiburan rakyat yang sudah masuk Indonesia sejak zaman penjajahan.
Ia mungkin perlu berterima kasih pada Jepang yang memperkenalkan layar tancap—dahulu dikenal sebagai bioskop keliling—meski film sejatinya sudah ditonton sejak Belanda membawanya ke Indonesia pada 1900-an.
Satrio Pamungkas, dosen Sejarah Film Indonesia Fakultas Film dan Televisi (FFTV) Institut Kesenian Jakarta (IKJ) menuturkan, Belanda mendirikan bioskop pertama di Tanah Abang, pada 5 Desember 1900. Film yang diputar saat itu masih bisu dan hitam putih.
Namun bioskop dipandang terlalu elitis. Meski berdinding bambu dan beratap seng, harga untuk menonton di bioskop itu paling murah adalah setengah Gulden, atau setara dengan sekitar 10 kilogram beras kala itu.
Bioskop juga dibagi per kelas. Pribumi tidak boleh menonton di depan layar, harus paling belakang. Soekarno yang kelak menjadi presiden pertama Indonesia saja pernah merasakan menonton di kelas kambing, dari belakang layar.
Tak ayal ia lihai membaca teks terbalik.
Saat Jepang masuk pada 1942, mereka mencoba menghapus itu karena menonton di bioskop bukanlah budaya asli Indonesia, tak seperti kumpul-kumpul dan gotong-royong.
Jepang pun menggagas bioskop keliling. Itu dirasa lebih masif karena menjangkau lebih banyak masyarakat sehingga efektif untuk membagikan propaganda. Medianya tetap lewat film yang membuat Indonesia ‘terpukau.’
Budaya Jepang mereka sisipkan lewat film-film itu. Kontennya sangat kental akan Jepang. Judulnya pun berhuruf kanji. Lagu-lagunya juga bahasa Jepang.
Jepang melakukan ‘operasi’ bioskop keliling di lima daerah di Pulau Jawa: Jakarta, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, dan Malang. Film yang diputar seperti Semangat Lelaki, Kemenangan Sajap, Saat Inggeris Runtuh, Sajap Melipoeti Birma, Djantan, dan banyak lainnya yang tidak tercatat.
Bioskop keliling itulah yang kemudian dikenal sebagai layar tancap. Meskipun, itu tak serta-merta menghapuskan bioskop elitis yang dibawa Belanda.
"Jepang mendatangkan enam orang ahli bioskop keliling dari negerinya," tulis Haris Jauhari dkk dalam Layar Perak 90 Tahun Bioskop di Indonesia.
"Pemutaran film keliling ini lebih banyak dikhususkan untuk penonton tertentu, seperti romusha, pegawai pabrik, atau anak sekolah," kata Misbach Yusa Biran dalam Sejarah Film 1900-1950.
Kelamaan, layar tancap merasuk jadi budaya Indonesia.
Kalau pada masa Jepang jadi propaganda, saat Indonesia sudah merdeka layar tancap pernah digunakan sebagai penarik agar masyarakat datang saat pejabat seperti Bung Hatta pidato.
Baru sekitar 1950-an, layar tancap dianggap sebagai hiburan.
Namun Sonny Pudji Sasono dari Persatuan Film Keliling Indonesia (Perfiki) mengatakan, layar tancap juga kerap digunakan untuk mengedukasi masyarakat desa sejak 1978. Bahkan sampai sekarang, Perfiki masih diminta Komisi Pemilihan Umum menyosialisasikan Pemilihan Umum lewat film keliling.
Film keliling juga dipakai sebagai sarana perdamaian di Timor Timur dan NTT saat penduduk lokal saling berkelahi. Dari sana, mereka bisa diajak dialog.
Menurut dosen FFTV IKJ bidang Antropologi Budaya yang juga anggota Lembaga Sensor Film (LSF) Arturo GP, merebaknya layar tancap berhubungan dengan wayang yang kerap berlangsung hingga dini hari dan sudah ada sejak zaman dahulu di Indonesia.
“Kita bisa melihat budaya menonton masyarakat Indonesia dengan layar tancap. Kebiasaan paguyuban, kebiasaan menonton wayang yang ada di luar [ruang]. Mereka sudah biasa dengan budaya berkumpul dan tidak terbatas," jelasnya.
Tahun 1970-an sampai 1980-an adalah masa-masa jaya layar tancap.
Saat itu, bioskop juga mulai banyak dan hanya menjangkau kelas atas. Di sisi lain, perkembangan teknologi semakin cepat. Alat-alat di bioskop, seperti proyektor, semakin cepat dianggap usang. Rol-rol film pun banyak yang tak terpakai setelah masanya lewat.
Alat-alat itu kemudian dijual dengan harga murah ke pengusaha kecil yang menjadikan layar tancap sebagai lahan bisnis. Demikian pula rol-rol filmnya.
Proyektor dan rol film itu yang kemudian diputar dari hajatan ke hajatan, menjadi hiburan bagi masyarakat kelas bawah. Mulai putar manual sampai pakai mesin.
Budaya menyewa layar tancap saat punya hajat itu menggantikan wayang dan dangdut yang biasanya ditanggap saat masyarakat desa panen.
Itu pula yang dirasakan Ibhet semasa kecil dan tak bisa dilupakannya.
Bagai pesta rakyat, para penduduk kampung berbondong-bondong memenuhi lokasi pemutaran. Di tanah lapang kain putih dibentangkan di antara dua bambu besar. Pemuda-pemudi saling memadu kasih diam-diam, ditingkahi bocah berlarian.
Para penjual kerupuk kulit, cireng, es kobok [es yang dibentuk kotak dan diberi sirup sebagai pemanis], jajan pasar seperti lepet dan onde-onde semangat menjajakan dagangan. Ibhet tersenyum mengenang masa-masa itu.
Ia ingat bagaimana dahulu selalu menunggu-nunggu undangan hajatan dan melihat hiburan apa yang bakal mereka sajikan. Zaman dahulu, orang yang punya hajat menuliskan hiburannya di bagian bawah undangan. Kalau tertulis ‘layar tancap’ di sana, Ibhet dan kawan-kawannya bakal bersorak kegirangan.
Di desa-desa, layar tancap juga dianggap status sosial.
Arturo kembali menyinggung budaya menanggap wayang saat membahas itu.
“Ini sama dengan ketika mendatangkan dalang mahal, prestisenya naik. Petani sukses di daerah harus menanggap ludruk yang bagus, itu mengangkat identitas tertentu,” ujarnya.
Ibhet sendiri mengungkapkan dirinya pernah menghadiri sebuah acara dengan tiga hiburan sekaligus: lenong, dangdut dan diakhiri dengan layar tancap. Ia senang bukan kepalang.
Apalagi kalau filmnya baru, seperti Godzilla, atau film Bollywood. Bisa dipastikan penontonnya malam nanti banyak. Selapangan penuh. Isinya bisa 500 orang.
Hubungan layar tancap dan prestise ‘langgeng’ sampai sekarang. Di pinggiran Jakarta, masih ada orang yang saat hajatan mendirikan sampai delapan layar tancap, hanya untuk ‘pamer’ bahwa dia bisa. Padahal antara satu layar dengan layar lain jaraknya begitu dekat sehingga film yang bisa dinikmati.
Di daerah Jakarta-Tangerang, kata Ibhet, film nasional dan Bollywood sejak dulu adalah primadona. Untuk film dalam negeri, aksi aktor Barry Prima menjadi idola, juga film Rhoma Irama. Sementara Suzzanna memegang takhta horor.
Satrio menilai, konstruksi film Bollywood yang mendominasi Indonesia—selain kini ada Korea dan Hollywood—tak lepas dari latar belakang yang mengaitkan India dan Indonesia. Kedua negara pernah sama-sama didominasi Hindu.
Musik India dan Indonesia pun sama-sama memakai gendang, seperti dangdut, yang menjadi “the music of my country.” Musiknya masyarakat daerah.
"Tidak heran, karena yang doyan nonton layar tancap itu kan dilihat dari demografinya masyarakat dari daerah, kedaerahan yang kuat," ucap Satrio.
Apalagi film-film Bollywood kerap menyajikan jalan cerita yang 'sangat-drama,’ lengkap dengan kesedihan, kebahagiaan dan kadang aksi diiringi musik.
Itulah alasan anak kecil seperti Ibhet pun menanti-nantinya.
Kalau undangan tidak datang, tapi kelihatan ‘abang-abang’ sibuk menggotong layar, Ibhet akan mengekor dan bertanya, “Bang mau ada layar tancap di mana?”
Ia bahkan rela membantu abang itu mendirikan layar. Atau, ia bisa mendatangi kampung sebelah jika mendengar gosip bakal ada layar tancap malam nanti.
Kini Ibhet tak merasakan pengalaman serupa.
Tumbuh dewasa, Ibhet memang tidak lepas dari layar tancap. Melihat hobinya semasa kecil itu terancam punah, Ibhet bersama teman-temannya yang mencintai hal yang sama mendirikan Persatuan Layar Tancap Indonesia (PLTI) pada 2013.
“Dengan adanya PLTI saya ingin membangkitkan kembali orang-orang yang betul-betul mencintai layar tancap,” ujar Ibhet menyampaikan niat mulianya.
Itu diawali dengan hobi membuat klip lalu menontonnya bersama-sama pada 2008. Hobi semakin ‘menggila,’ pada 2011 Ibhet pun mulai membeli alat layar tancap.
Saat ini Ibhet punya alat untuk memutar rol film ukuran 16 milimeter dan 35 milimeter, serta 42 judul film dalam bentuk pita. Sementara dalam bentuk digital, ia punya ratusan judul film yang didapat dari mengunduh di internet.
“Biasanya enggak lama tayang di bioskop, kita sudah punya. Tukang film sekarang harus lebih canggih, bisa main komputer," ujarnya enteng.
Ibhet kaget saat tahu peminat layar tancap sebenarnya masih tinggi. Dalam lima tahun, anggotanya telah mencapai lebih dari 15 ribu orang. Itu pun bukan hanya dari Jabodetabek, melainkan juga Malaysia dan Thailand.
Dengan mereka Ibhet kerap berbincang soal kondisi layar tancap di negara masing-masing. PLTI bahkan pernah didatangi seorang Datuk dari Malaysia.
“Mereka datang bawa seluloid, sebagai oleh-oleh dari Malaysia," kata Ibhet.
Dari PLTI Ibhet juga bisa menghasilkan duit, meski kini makin sedikit.
“Bisa sampai jutaan di era keemasan, tapi sekarang jauh sekali. Hanya sekadar hobi yang menghasilkan uang,” ujarnya. Angkanya, tergantung jarak dari rumah.
“Kalau jarak 100 meter paling Rp500 sampai Rp600 ribu. Hitungannya per malam. Mulai habis Isya sampai jam 1 malam. Kalau penonton masih ada, sampai pagi juga diputar,” Ibhet menerangkan, sembari mengatakan kini jarang ada penonton yang mau bertahan sampai pagi, seperti dirinya saat masih kecil dahulu.
“Paling sekarang jam 2 [dini hari] maksimal.”
Dalam sebulan, layar milik Ibhet paling hanya empat kali keluar.
Rizal, 38, seorang pengusaha layar tancap yang berdomisili di Bojong Gede, Kabupaten Bogor justru tidak merasakan permintaan layar tancap yang berkurang. Ia sudah empat tahun menggeluti bisnis itu, dan termasuk yang memasang harga tinggi untuk sekali penyelenggaraan layar tancap.
Rata-rata ia menyewakan layar tancap dengan harga Rp1,5 juta per malam.
“Saya berani pasang harga mahal karena bisa request mau film apa. Selain dari internet, sumbernya barter aja, enggak boleh pelit," katanya sembari tertawa.
Sehari-hari, jika tak ada permintaan menanggap layar tancap, Rizal menjadi sekuriti. Di sela-sela menjaga malam itulah ia mengunduh film untuk koleksinya. Dalam semalam ia bisa dapat empat sampai lima film.
Sesampainya di rumah, Rizal mengetes keaslian dan resolusi film-film tersebut untuk kelayakan diputar di layar tancap.
Kalau Ibhet masih merasakan memutar film dengan alat layar tancap, Rizal hanya punya satu alat ampuh: komputer. Satu komputer itu ia bawa ke mana-mana. Depok, Lebak Bulus, sampai Mangga Besar ia jabani dari rumahnya di Bojong.
Serupa Ibhet, Rizal juga memulai bisnis berdasarkan hobi.
Pertama berbisnis, ia membuat kain dari seprai putih berukuran tiga meter, yang kelak jadi layar. Perlahan, ia mengumpulkan amplifier, speaker kecil dan pemutar. Tak kurang dari Rp3 juta ia keluarkan sebagai modal.
Tak menolak peralatan bekas pakai asal masih baik kondisinya, kini Rizal punya satu set sound system dan tiga helai layar, mulai dari ukuran 2x3 meter, 3 meter dan 9 meter. Semakin hari koleksi peralatannya kian bertambah, seiring dengan keuntungan yang didapatnya dari setiap pertunjukan.
Belakangan, ujar Rizal, oder-an justru meningkat mendekati Pemilu 2019. Namun jika dirata-rata, seperti Ibhet, layar Rizal juga keluar empat kali sebulan.
Hingga sekarang, keuntungan yang ia dapat dari bisnis itu senilai satu mobil Avanza.
Meski diakui popularitas tak segemilang dahulu, Ibhet maupun Rizal menolak layar tancap disebut sudah mati. Seakan kembali ke masa Belanda, bioskop kini memang lebih dipilih masyarakat urban. Namun itu tak mengganggu mereka.
Buktinya mereka masih bisa bertahan. Data Perfiki menyebut masih ada ribuan layar tancap di seluruh Indonesia.
Menurut Ibhet, salah satu yang membuat layar tancap tak lagi dikenal generasi milennial adalah kurangnya lahan kosong, terutama di kota besar.
Selain itu, film juga semakin mudah didapat dari internet. Anak-anak muda lebih memilih menonton sambil tiduran di dalam rumah dibanding ke lapangan. Mereka bahkan bisa menonton di mana pun, di tengah kegiatan apa pun.
Itu diamini Satrio yang melihat bahwa digital bahkan sudah menggerus bioskop.
“Bioskop yang dulu kita tonton di lapangan itu sekarang semua masuk ke satu layar kecil. Dengan hanya menggunakan headset, powerbank, dia bisa memilih makanan sepuasnya, tempat semaunya, nonton bersama atau sendiri,” katanya.
Namun layar tancap menawarkan kesenangan yang berbeda, seperti yang dirasakan Ibhet dan kawan-kawannya saat kecil. Itulah yang dirasa ‘mahal,’ lebih ‘mewah’ dibanding acara televisi kabel dan kehidupan individu masyarakat perkotaan.
Dan Rizal pun optimistis akan masa depan layar tancap. Ia bahkan masih menyimpan sebuah cita-cita, membuat satu tempat seperti taman yang khusus menyediakan layar tancap dan menyasar penonton kelas atas.
“Di bawah ada stand makanan,” ia membayangkan sambil tersenyum.
Baginya, membentangkan layar tancap bukan hanya soal melestarikan budaya, melainkan juga edukasi. Karena itulah ia pantang menolak orderan meski bayarannya tak seberapa. Ia bahkan sering mengajak anaknya ikut.
“Ini kan budaya kita. Meski bayarannya kecil, ambil saja. Ambil budayanya saja, kalau rezekinya mah ada. Ini enggak boleh putus di saya," tegasnya.

Share

  • Naskah: Renata Angelica

  • Editor: Rizky Sekar Afrisia

  • Tim Redaksi: Agniya Khoiri, Endro Priherdityo, M. Andika Putra

  • Grafis: Asfahan Yahsyi

  • Tata Letak: Muhammad Ali

Artikel Sebelumnya

Laporan Mendalam - Hikayat Tetes Nirwana Tanah Jawa
Laporan Mendalam - Hikayat Tetes Nirwana Tanah Jawa
Laporan Mendalam - Ongkos Mahal Politik Wakil Rakyat
Laporan Mendalam - Ongkos Mahal Politik Wakil Rakyat
Kembali ke CNNIndonesia.com
Back to top