Agnesal Jona Putra Silaban (25) kelimpungan cari modal jadi calon anggota legislatif Pemilu 2019. Syahdan dia menggalang dana dengan cara membuka patungan publik di situs daring.
Galang Dana untuk Politik Bersih, begitu judul yang ia tulis.
"Mahalnya ongkos politik menjadi bibit korupsi! Zaman Now kita bisa gotong royong tekan biaya politik. Mari patungan bantu biaya kampanye Nesal. Salam solidaritas," tulis Nesal, sapaannya, Maret 2018.
Nesal aji mumpung cari peruntungan politik di Pileg Kabupaten Tapanuli Utara Dapil 3. Dia berniat mengais suara di Kecamatan Siborongborong dan Kecamatan Muara. Nesal maju lewat Partai Solidaritas Indonesia (PSI).
Karyawan perusahaan asuransi keuangan itu mencantumkan target donasi Rp250 juta. Uang itu diperlukan Nesal untuk modal biaya transportasi, cetak kartu nama, spanduk di setiap kecamatan, biaya saksi dan relawan, serta akomodasi bertemu warga.
"Saya akan optimalkan seefektif dan seefisien mungkin. Tidak akan ada bagi-bagi sembako, tidak ada bagi kaos, apalagi bagi-bagi uang," tulis Nesal.
Hingga kampanye penggalangan dana berakhir 19 Juli 2018, Nesal hanya mendapat Rp200 ribu dari seorang donatur yang menyumbang pada 6 Mei.
Tidak ada perkembangan informasi dalam situs itu selain aktivitas pencairan dana karena tenggat penggalangan dana sudah berakhir. Donasi yang bisa dicairkan Nesal saat itu Rp190 ribu.
"Saya tidak jadi nyaleg," kata Nesal kepada CNNIndonesia.com.
Nesal menggalang dana patungan karena dihadapkan pada kebutuhan menutupi biaya politik yang tidak murah. Angka Rp250 juta yang dipatok Nesal adalah versi ongkos super hemat jadi caleg DPRD.
"Saya itu paling miskin. Di Dapil saya, untuk DPRD bisa mencapai Rp500 juta," katanya.
Rentang biaya yang ditaksir Nesal masuk dalam kisaran hasil riset Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI) pada 2014.
Riset mencatat rentang ongkos yang dibutuhkan seorang caleg DPRD berkisar Rp250-500 juta, sementara ongkos caleg tingkat DPR mencapai Rp750 juta-4 miliar.
Kisaran ongkos politik itu termasuk dalam kategori wajar. Selebihnya ada angka yang lebih fantastis berkategori tidak wajar dan tidak rasional.
Kondisi yang dihadapi Nesal merupakan cerminan bagaimana sistem pemilu saat ini telah mendorong pembiayaan politik terpusat kepada pribadi kandidat, bukan pada parpol yang menaunginya.
Pakar politik dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Mada Sukmajati menyebutnya candidate-centered campaigns.
"Peran parpol tidak terlalu terlihat. Implikasinya nanti ke model perwakilan: sistem ini wakilnya rakyat, parpol, atau dirinya sendiri?" kata Mada.
Kecenderungan yang terjadi, kata Mada, pembiayaan lebih terpusat kepada kandidat. "Fungsi partai pada pencalonan saja," ujarnya.
Sistem candidate-centered campaigns telah menempatkan kandidat caleg dalam posisi mengurus sendiri ongkos tiket pencalonan beserta biaya kampanye yang menyertainya.
Situasi itu juga dialami Zulhefi (46), seorang caleg DPRD Kabupaten Agam Dapil 4 yang bertarung lewat Partai Gerindra.
Zul mencatat setidaknya Rp300 juta harus disiapkan sebagai alokasi dana operasional kampanye di tiga kecamatan yang menjadi daerah pemilihan, yakni Ampek Angkek, Baso, dan Candung.
Tabungan Zul tak sampai menyentuh nominal yang harus disiapkan.
Zul menyiasati kondisi keuangan dengan menambah daya militansi turba ke tiga kecamatan yang menjadi medan tempur perebutan suara pemilih.
Sempat terbesit dalam benaknya menggadai harta untuk menambal ongkos kampanye. Tapi putra daerah Agam itu percaya orang Minang punya pantangan menjual aset untuk kepentingan pribadi.
"Saya akan fokus door to door datang ke mereka. Itu saya lakukan untuk menghemat biaya," ujar Zul.
Kerja ekstra adalah konsekuensi yang harus dilakoni caleg bermodal minim, terlebih jika tak punya pengaruh sosial atau popularitas.
Popularitas berperan penting sebagai pendongkrak elektabilitas atau daya keterpilihan kandidat. Semakin tinggi elektabilitas, semakin besar peluang caleg mendulang suara.
Suara-suara pemilih yang digaet oleh para caleg itulah yang kemudian dikumpulkan partai untuk memenuhi syarat ambang batas parlemen atau parliamentary threshold.
Siasat partai menggandeng artis merupakan salah satu ekses dari sistem demokrasi terbuka yang menghalalkan muslihat popularitas ketokohan. Publik figur yang digandeng partai dalam hal ini berperan sebagai pendulang suara bermodal simpati massa.
Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syamsuddin Haris menyoroti fenomena artis nyaleg sebagai bentuk pembuyaran prinsip dan ideologi partai.
Cara instan menggandeng artis tanpa pengalaman politik, kata Haris, menunjukkan partai tidak punya komitmen membenahi kaderisasi perwakilan rakyat. Parpol semakin dangkal dalam memahami representasi politik yang diemban oleh legislator di parlemen.
"Partai begitu fasih bicara kepentingan rakyat, tapi mereka tidak mengerti apa esensi yang dipidatokannya kecuali sekadar gincu belaka," kata Haris.
Zul sadar dirinya bukan artis. Hanya mental putra daerah yang menyulut keyakinan Zul untuk memberanikan diri jadi calon wakil rakyat di tanah kelahiran.
Masa kecil Zul dihabiskan di Balai Gurah, Agam. Dia hijrah ke Jakarta pada awal 2000-an, merintis karier sebagai jurnalis. Sejak itu dia menjadi wartawan politik yang familiar meliput isu parlementaria.
Pengalaman bersingungan dengan dunia politik membawa Zul pada keputusan terjun langsung mempraktikan apa yang dia pelajari dari jaringan politiknya. Jauh hari menjelang Pemilu 2019, Zul pulang ke kampung halaman dengan pertaruhan.

Partai begitu fasih bicara kepentingan rakyat, tapi mereka tidak mengerti apa esensi yang dipidatokannya kecuali sekadar gincu belaka. - Syamsuddin Haris (Peneliti LIPI)

Zul harus menyiapkan setidaknya tiga logistik utama dalam menggerakkan mesin pemenangan. Pertama adalah alat peraga kampanye.
Alat peraga kampanye adalah fasilitas paling konvensional untuk Zul memperkenalkan diri sebagai kandidat. Sarananya bisa berupa stiker, kaos, poster, baliho dan kalau punya modal besar, billboard.
Dua elemen berpengaruh lainnya dalam kampanye adalah peran relawan dan saksi. Relawan adalah mesin penggerak roda kampanye, sementara saksi merupakan ujung tombak pengaman suara kandidat di tempat pemungutan suara (TPS).
Dua elemen itu juga butuh pelicin. Ongkosnya menelan biaya paling mahal dari kebutuhan logistik kampanye.
Zul menyiasati keterbatasan dana relawan dengan membuka kembali jaringan kerabat, kolega, dan teman satu almamater semasa sekolah maupun kuliah.
Jaringan Zul kemudian memperluas relasi. Zul saat ini mendapat laporan hampir 300 relawannya sudah tersebar di tiga kecamatan.
Loyalitas para relawan inilah yang harus dirawat dengan ongkos kampanye. Anggarannya dialokasikan untuk keperluan operasional mereka.
"Kita sudah berhitung, ambil contoh buat operasional sekali kumpul-kumpul relawan itu paling tidak habis Rp1 juta,” katanya.
Pertaruhan Zul mengongkosi relawan merupakan fenomena yang diibaratkan Pengamat Politik LIPI Siti Zuhro "tak ada makan siang gratis di dunia politik".
Siti menyoroti peran relawan pada tahap ini menjadi bias. Publik kini sulit membedakan apakah relawan itu tergerak karena murni punya misi yang selaras dengan kandidatnya, atau justru mereka bekerja hanya demi kepentingan perut.
Kelompok massa mengatasnamakan relawan ini biasa muncul menjelang ajang Pemilu lima tahunan. Puncaknya terjadi pada Pilpres 2014.
Kontribusi relawan saat Pilpres 2014 berperan penting dalam pemenangan Joko Widodo melawan Prabowo Subianto. Sejumlah relawan yang ikut mengantar Jokowi ke Istana kini masuk lingkaran kekuasaan. Beberapa dari mereka menjabat komisaris BUMN.
Pengamat Politik dari Komite Pemilih Indonesia (TePI), Jerry Sumampouw mengatakan relawan pada mulanya adalah kelompok masyarakat yang mencari dana kolektif secara sukarela untuk membantu pemenangan kandidat.
Kecenderungan yang terjadi kemudian, kata Jerry, relawan memanfaatkan momentum politik sebagai ajang nimbrung cari peruntungan.
"Sekarang banyak diorganisir menjadi ajang cari uang. Yang dimaksud adalah (ada) aktor-aktor yang mengelola di baliknya," kata Jerry.

Jaga Rekapitulasi

TPS adalah palagan pembuktian elektabilitas para caleg. Peran saksi di TPS sangat penting untuk memvalidasi hak perolehan suara yang didapat kandidat sebagai jerih payah pemenangan selama kampanye.
TPS Perlu dikawal karena hari H pencoblosan rentan diintervensi oleh kecurangan politik uang dan jual-beli suara.
Jika hasil rekapitulasi tak sesuai hitungan saksi, urusannya bisa berujung pada gugatan sengketa --yang berarti menambah beban waktu, biaya, energi, dan pikiran.
Lalu Rahadian (27) pernah mengalami getirnya bertugas lebih dari 12 jam menjadi saksi Pileg 2014. Dia terpaksa menahan kencing selama satu jam karena saat itu perhitungan suara sedang berlangsung.
Rahadian, yang saat itu mahasiswa tingkat akhir di Yogyakarta, menerima tawaran jadi saksi karena butuh uang saku tambahan. Jatah bulanan dari orangtua habis digunakan bolak-balik mencetak revisi skripsi.
Pemuda kelahiran Jakarta itu dibayar Rp300 ribu untuk mencatat perolehan suara caleg NasDem di TPS Seluran, Sleman. Uang muka diberikan saat rapat teknis, sisanya diserahkan setelah Rahadian menyetor berita acara hasil perhitungan.
Keakurasian data saksi jadi perhitungan. Rahadian dituntut berjaga sedari pagi dan mengawal ketat perhitungan suara di TPS, rekapitulasi tingkat desa/kelurahan, hingga pengadministrasian di kecamatan.
"Setelah jam 8 malam, saya ke posko pemenangan NasDem menyerahkan berkas dan mengambil amplop putih," ujarnya.
Lain cerita dengan Muniarti (66), ibu rumah tangga asal Bekasi Timur yang bangga menjadi saksi karena menganggapnya sebuah kehormatan.
Muniarti rela tak dibayar. Padahal dia sudah ditawari honor saksi Rp150 ribu, juga tambahan Rp400 ribu jika mau membantu kampanye dari pintu ke pintu sebelum hari pemilihan.
Muniarti cukup akrab di lingkungan relawan Jokowi. Sehingga ketika koordinator saksi di Bekasi menawarinya menjaga TPS, Muniarti segera mengiyakan.
Perempuan berlogat kental Betawi itu kebagian menjaga suara pasangan TB Hasanuddin-Anton Charliyan di Pilkada Jawa Barat 2018. Dia mengawal rekapitulasi TPS Pondok Hijau, tak jauh dari rumahnya.
Muniarti menganggap suara pasangan Hasanah perlu diamankan karena mereka diusung PDI Perjuangan --partai yang turut memperjuangkan Jokowi jadi presiden.
"Kita lihat Jokowi-nya, pokoknya lihat Jokowi enggak kemana-mana," kata Murni dengan logat Betawi yang kental.
Kehadiran saksi seperti Rahadian dan Muniarti adalah bentuk proteksi partai maupun kandidat dalam mengamankan legalitas perhitungan suara di TPS hingga pengesahan rekapitulasi di KPU.
Gugatan sengketa Pilpres 2014 jadi bukti bahwa keberadaan pengawas independen dari KPU tak menjamin rekapitulasi bisa berakhir tanpa perselisihan.
Kubu Prabowo pada 2014 menggugat sejumlah kejanggalan proses perhitungan suara yang mereka duga sebagai bentuk kecurangan terstruktur, sistematis, dan masif.
Pihak Prabowo tak terima kemenangan Jokowi versi KPU. Data perhitungan tim pemenangan lantas disodorkan sebagai komparasi di persidangan Mahkamah Konstitusi. Pada tahap inilah catatan para saksi TPS menjadi pertaruhan.
Sidang melelahkan yang menjadi sorotan dunia itu berakhir dengan penolakan hakim terhadap dalil gugatan.
Sejarah yang kemudian tercatat sejak itu adalah Jokowi diarak ke Istana dengan kereta kuda, sementara Prabowo memenuhi janji patriotnya untuk menerima kekalahan secara ksatria.
Prabowo kini kembali terjun gelanggang politik melawan Jokowi di Pilpres 2019.
Laga yang membedakan saat ini adalah pemilihan presiden digelar serentak berbarengan pemilihan legislatif. Situasi tersebut memaksa pengurus partai memutar otak dalam menghadapi tuntutan dua mesin pemenangan.
Politikus senior Partai Golkar Firman Soebagyo (65), misalnya, kini dibebani tugas memperjuangkan kandidat calon presiden yang diusung partai beringin, sementara juga harus mengurus pemenangannya sebagai caleg di Dapil 3 Jawa Tengah.
Ini adalah kali ketiga Firman maju jadi caleg DPR. Dua periode sebelumnya dia dipercaya mengemban mandat sebagai anggota DPR mewakili suara masyarakat Pati, Blora, Grobogan, dan Rembang.
Dana minimum yang disiapkan Firman untuk modal kampanye kali ini mencapai lebih dari Rp3 miliar. Ongkos itu hanya untuk urusan pencalonannya sebagai kandidat di Pileg.
Di luar ongkos caleg, Firman sebagai pengurus pusat Partai Golkar terikat kontrak politik untuk turut menghidupkan mesin pemenangan Pilpres yang telah disepakati partai koalisi. Golkar dalam hal ini tergabung dalam koalisi pendukung Jokowi-Ma'ruf Amin.
"Tentunya ini menimbulkan satu biaya politik yang luar biasa besar," kata Firman.

Tak Ada Makan Siang Gratis

Ongkos mahal Pemilu serentak 2019 jadi kegaduhan di parlemen. Anggota dewan meminta pemerintah menyiasati beban dana saksi untuk partai dengan mengucurkan bantuan dari uang negara atau APBN.
Firman adalah salah satu pengusul saksi parpol dibayar negara. Dia beranggapan saat ini telah terjadi kesenjangan antarparpol dalam hal kemampuan membiayai saksi di TPS.
Parpol tak bisa melepas beban pengadaan saksi kepada kandidat atau kader di daerah. Firman mengatakan banyak konflik pemilu disebabkan ketiadaan saksi gara-gara caleg tak sanggup membiayainya.
Menghadapi Pilpres berbarengan Pileg, partai mau tak mau wajib turun tangan mengamankan pemenangan.
Semua fraksi yang mewakili partai di DPR sepakat dengan usulan itu. Agen-agen partai di parlemen dalam waktu singkat satu suara. Mereka sadar dihadapkan pada kebutuhan ongkos besar pemilu serentak 2019.
Dalam waktu singkat pula usulan itu menuai kontroversi. Publik mengkritisi pembiayaan saksi dari uang negara rentan disalahgunakan dan berpotensi pada penyelewengan dana. Pemerintah sejak itu menolak permintaan legislator.
Mada Sukmajati menyebut karakter pembiayaan partai politik Indonesia terbilang unik karena berbeda dengan mekanisme bantuan pemerintah di negara maju seperti Eropa dan Amerika.
Di Eropa, kata Mada, negara telah mengalokasikan dana atau subsidi kepada partai yang bisa dimanfaatkan untuk pembiayaan kampanye para calonnya. Sehingga kandidat bisa berkampanye tanpa keluar modal sedikitpun.
Lain lagi di Amerika. Negara turut mengalokasikan dana kampanye, tapi kandidat juga boleh melakukan penggalangan dana atau fundrising.
Sementara di Indonesia, kata Mada, partai mendapat subsidi dari negara, tapi suntikan dana itu tak boleh digunakan untuk kepentingan kampanye.
Bantuan dana dari negara untuk partai di Indonesia hanya boleh digunakan untuk kepentingan internal parpol seperti pendidikan politik, kaderisasi, dan pengelolaan birokrasi partai.
Terbatasnya serapan dana negara untuk partai, kata Mada, telah memaksa caleg mengakumulasi pemasukan modal dari berbagai sumber, termasuk sumbangan dari pihak ketiga.
Padahal dalam UU Pemilu disebutkan bahwa peserta Pileg itu adalah partai politik. Sehingga pihak yang nantinya mempertanggungjawabkan laporan keuangan kampanye adalah partai.
Menghadapi kondisi tersebut, partai biasanya meminta caleg melaporkan pemasukan dan pengeluaran biaya kampanye, untuk kemudian diakumulasi dan dibuat sedemikian rupa agar tidak menyalahi aturan.
Laporan dana kampanye PDI Perjuangan yang diserahkan ke KPU, misalnya, tercatat mencapai Rp106,14 miliar. Dana itu bersumber dari partai Rp2,39 miliar, sementara dari caleg peserta Pemilu 2019 sebesar Rp103,75 miliar.
Namun tak sedikit pihak menganggap pelaporan dana kampanye partai hanya akal-akalan belaka. Publik menganggap muskil Perindo, misalnya, hanya membutuhkan Rp1 juta untuk biaya kampanye pemenangan caleg partai milik bos media Hary Tanoesoedibjo itu.
Angka-angka yang muncul di KPU, kata Mada, tidak bisa menjadi tolok ukur realitas modal kampanye partai karena tak pernah teruji transparansinya.
"Mungkin angka sebenarnya bisa 10 kali lipat dari laporan minimum pengeluaran," kata Mada.
Kesadaran partai menghadapi kebutuhan dana kampanye yang terbilang masif secara otomatis membentuk wilayah abu-abu pada sistem yang sebelumnya disebut candidate-centered campaigns.
Pada tahap ini, partai turut pasang badan memberi bantuan modal kampanye kandidat karena ada irisan kepentingan dalam mengamankan hak perolehan suara Pileg maupun Pilpres.
Tapi lagi-lagi, mengutip istilah Siti Zuhro, tak ada makan siang gratis di dunia politik.
Ketua Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraeni mengatakan aktivitas partai pada akhirnya akan bergantung pada kontribusi keuangan anggotanya.
Hampir semua partai mewajibkan iuran bagi kandidat yang berhasil lolos Pemilu, baik tingkat legislatif maupun yudikatif. "Itu lumrah," kata Titi.
Iuran wajib itu biasanya diterapkan dengan cara memotong 10-30 persen gaji caleg terpilih. Itu belum termasuk iuran-iuran lainnya yang tak kasat mata oleh publik.
"Ini adalah momentum bagi partai untuk rekrutmen politik. Kontribusi dari para caleg sangat dibutuhkan untuk pembiayaan mesin politik sekaligus pengelolaan partai itu sendiri," ujar Titi.
Bukan hal mengejutkan, kata Titi, jika kemudian ada partai yang mematok tarif bagi kandidat untuk mendapat nomor urut tertentu.
Seorang caleg yang berhasil jadi pejabat dengan demikian dihadapkan pada dua tanggungan beban keuangan yang harus dilunasi, yakni kontribusi iuran kepada partai dan tuntutan balik modal biaya yang dikeluarkan selama kampanye pemenangan.
Pada tahap inilah para caleg terpilih memasuki ruang yang sangat longgar untuk berperilaku koruptif. Pengaruh kekuasaan dan kewenangan yang dimiliki anggota legislatif rentan disalahgunakan.
Mayoritas anggota dewan terjaring kasus suap, terutama kaitannya dengan pengurusan anggaran, pengesahan dan pembahasan APBD, hingga kewenangan pengawasan dan pemilihan pejabat yang menjadi kewenangan legislatif.
KPK tahun lalu sempat menjaring 41 anggota DPRD Malang terkait kasus suap berjamaah untuk memuluskan ketok palu persetujuan Raperda. Aktivitas parlemen di Kota Singo Edan itu lumpuh seketika.
Paling anyar, Kamis (28/3), Anggota DPR Fraksi Golkar Bowo Sidik Pangarso ditangkap setelah kedapatan menerima suap hasil meloloskan kerja sama pengangkutan distribusi pupuk.
Duit hasil suap Rp8 miliar disiapkan untuk serangan fajar Bowo di Jawa Tengah. Dia membeli suara pemilih dengan cara memecah uang hasil suap ke dalam 400 ribu amplop berisi pecahan Rp50 ribu dan Rp20 ribu.
Kekhawatiran Nesal rupanya tak mengada-ada. KPK mengamini mahalnya ongkos politik secara tidak langsung telah menjadi salah satu pemicu terjadinya tindak pidana korupsi.
Sejumlah kasus yang ditangani KPK telah mengungkap bagaimana pengurus partai ikut berperan dalam perkara yang menjerat anggotanya di legislatif. Beberapa tersangka bahkan memberi pengakuan soal aliran dana suap turut masuk kas partai.
"Kami melihat ongkos politik sebagai salah satu varian penting yang semestinya kita selesaikan segera," ujar Juru Bicara KPK Febri Diansyah.
Tanggungan ongkos politik pada akhirnya mengubah orientasi kinerja pejabat legislatif, yang seharusnya bekerja sebagai wakil rakyat malah terbelengu dengan kepentingan politik partai.
Tidak mengherankan jika sejumlah hasil survei kerap menempatkan DPR berada di posisi terendah dalam hal kepercayaan publik. Masyarakat tak lagi menganggap anggota dewan sebagai representasi rakyat. Lebih-lebih ketika Pileg 2019 turut membuka pintu bagi mantan napi korupsi bersaing dengan Zul dan puluhan ribu caleg lainnya.

Share

  • Naskah: Abi Sarwanto

  • Tim Redaksi: Gilang Fauzi, Vetriciawizach Simbolon, Yugo S Hindarto

  • Grafis: Timothy Loen

  • Tata Letak: Muhammad Ali, Timothy Loen

Artikel Sebelumnya

Laporan Mendalam - Punk Tak Pernah Mati
Laporan Mendalam - Punk Tak Pernah Mati
Laporan Mendalam - Metromini Terakhir
Laporan Mendalam - Metromini Terakhir
Kembali ke CNNIndonesia.com
Back to top