Jakarta, CNN Indonesia -- Jalan panjang harus ditempuh sastrawan Pramoedya Ananta Toer sebelum menerbitkan
Bumi Manusia. Buku yang menjadi pembuka Tetralogi Buru itu ditulis Pram ketika dirinya ditangkap dan ditahan di Pulau Buru pada 1965-1979.
Kepada
CNNIndonesia.com, Astuti Ananta Toer, putri Pramoedya Ananta Toer, menceritakan sedikit kisah di balik penerbitan buku yang sempat menjadi barang terlarang puluhan tahun lalu.
Kisah dimulai dari persahabatan Pram dengan Joesoef Ishak dan Hasyim Rahman. Ketika Pram masih mendekam di Pulau Buru bersama tahanan politik lainnnya, Joesoef dan Hasyim sudah berencana membuka usaha penerbitan apabila Pram sudah dibebaskan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun kenyataan tak seindah rencana. Usaha penerbitan tak langsung terealisasi setelah Pram bebas dan kembali ke Jakarta pada akhir Desember 1979.
"Tapi setelah pulang ke Jakarta, Pram tidak mau buat penerbitan," kata Astuti.
Sikap Pram membuat Hasyim dan Joesoef gelisah sebab tak sesuai dengan janji dan rencana. Mereka akhirnya menemui Astuti dengan keyakinan hati sang ayah akan luluh bila anaknya langsung yang membujuk.
"Iya ya kok bapakku begini. Janjinya tidak dipenuhi," ucap Astuti.
Dengan perasaan tidak enak kepada Hasyim dan Joesoef, Astuti mengajak ayahnya berdiskusi mengenai penerbitan. Namun Pram hanya memberikan satu pesan kepada Astuti.
"Kau pelajari dulu siapa orang-orang itu," tutur Pram kala itu ditirukan Astuti.
Astuti tak terlalu mendengarkan pesan ayahnya itu. Ia hanya berteguh pada prinsip janji harus ditepati. Hal itu membuat Astuti mendesak Pram untuk menepati janji mendirikan penerbitan bersama Hasyim dan Joesoef.
Hati Pram sebagai seorang ayah akhirnya luluh mendengarkan desakan dan prinsip anak.
"Oke saya mau. Tapi nanti kalau ada apa-apa kau yang bertanggung jawab," jawab Pram kala itu.
Pram, Hasyim dan Joesoef akhirnya membentuk Hasta Mitra dan menerbitkan
Bumi Manusia pada 1980.
Bumi Manusia sempat 10 kali dicetak ulang pada 1980-1981.
 Naskah Pramoedya Ananta Toer yang ditulis di atas kertas semen masih disimpan rapi oleh Oei Hiem Hwie di Perpustakaan Medayu Agung, Surabaya. (CNN Indonesia/Rizky Sekar Afrisia) |
Meski telah terbit, Pram dan
Bumi Manusia harus menghadapi tantangan baru. Jaksa Agung saat itu melarang peredaran Bumi Manusia karena dianggap membahayakan Pancasila sebagai ideologi negara.
Pram saat itu dicap sebagai pendukung komunisme karena menjadi anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), organisasi kebudayaan sayap kiri di Indonesia yang berdiri atas inisiatif petinggi Partai Komunis Indonesia D.N Aidit, Nyoto, MS Ashar dan A.S Dharta.
Pram, Hasyim dan Joesoef tak tinggal diam. Mereka berkumpul di rumah Pram untuk membahas penerbitan.
Saat itu, Pram mengatakan dirinya yang akan menjadi penanggung jawab penerbitan Bumi Manusia selanjutnya. Keberanian itu muncul sebab ia merasa bukunya tidak mencederai ideologi bangsa.
"Pak Hasyim tolong bikin surat. Pak Joesoef yang bicara ini dan itu. Pak Pram yang mengarahkan 'kau ke sana, ke sana', ke Kejaksaan," kata Astuti.
Buku
Bumi Manusia pun akhirnya tetap dijual secara sembunyi-sembunyi. Sebab, penjual buku
Bumi Manusia harus berhadapan dengan hukuman penjara minimal lima tahun karena dianggap menyebarkan ideologi baru.
Hal itu terus menerus dilakukan hingga sekitar 2000-an, orang-orang mulai sedikit 'bebas' bahkan bangga membawa novel Pram.
Namun, tiga sekawan ini harus menelan pil pahit karena salah satu anggotanya, Hasyim Rahman, meninggal. Pram dan Joesoef akhirnya memilih membuat penerbitan baru Lentera Dipantara, di mana anak-anak Pram juga terlibat di sana hingga kini.
"Itu kemauannya Pram. Hasta Mitra punya Pram. Lentera juga ada ikatan dengan Pram. Karena dia mau keluarga saja yang menerbitkan. Tidak usah yang lain," tutur Astuti.
Hal itu dikonfirmasi salah satu orang terdekat Pram, Mujib Hermani yang juga terlibat penerbitan buku Pramoedya sejak era
Pembebasan. Seluruh karya-karya sastra Pramoedya Ananta Toer dipastikan akan terbit melalui Lentera Dipantara.
"Iya di Lentera seterusnya. Karena di situ kan juga ada anak dan cucu Pram ya. Jadi di sana," kata Mujib.
Astuti bahkan menjadi editor untuk
Bumi Manusia. Pada 1995, buku itu telah diterbitkan dalam 33 bahasa.
Bumi Manusia yang kini telah diangkat ke layar lebar juga telah dicetak 33 kali sejak 1980 hingga Agustus 2019.
(chri, agn/end)