Jakarta, CNN Indonesia -- Jelang dua hari periode pertama
Joko Widodo berganti, sejumlah hal di dunia hiburan Indonesia masih belum selesai dikerjakan. Salah satunya adalah soal keterbukaan informasi atas performa perfilman Indonesia, atau yang dikenal dengan
box office.
Soal
box office ini menjadi penting bila menginginkan Indonesia masuk ke tahap industri perfilman yang maju. Box office menjadi landasan informasi yang dibutuhkan dunia usaha perfilman menggerakkan roda industri.
Perihal keterbukaan data ini juga sudah diatur dalam Undang-undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman alias UU Film.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pasal 33 menyatakan pengelola bioskop diharuskan melaporkan jumlah penonton setiap judul film baik Indonesia maupun asing kepada menteri, dalam hal ini Kemendikbud, secara berkala.
Implementasi UU tersebut sempat tak jelas sejak 2009.
Ketidakjelasan atas pengelolaan dunia perfilman semakin rumit ketika di masa Jokowi-JK ada tiga lembaga yang beririsan mengurus film, yaitu Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Badan Perfilman Indonesia yang sudah berdiri sejak 2009, dan Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) yang dibentuk Jokowi pada 2015.
 Box office menjadi landasan informasi yang dibutuhkan dunia usaha perfilman menggerakkan roda industri.(CNN Indonesia/ Rizky Sekar Afrisia) |
Di sisi lain, meski sudah diputuskan data dikelola Pusat Pengembangan Perfilman Kemendikbud, data perfilman itu tidak boleh disimpan sendiri. Pihak pemerintah mesti mengumumkan kepada publik dalam periode tertentu, bisa lewat situs resmi, media sosial, atau kepada media.
Pasal 34 kemudian menjelaskan bahwa ketentuan tersebut diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri (Permen), dalam hal ini Permendikbud. Tapi hingga kini Permen itu tak kunjung ada.
Pada Juli 2018, Mendikbud Muhadjir Effendi menyatakan siap meneken Permen dengan syarat mengikuti semua prosedur. Namun sampai saat ini , baru ada satu Permendikbud Nomor 39 Tahun 2017 tentang Pendaftaran Usaha dan Permohonan Izin Usaha Perfilman.
Padahal, UU Film mengamanatkan Kemendikbud mengeluarkan empat Permen yang berkaitan dengan film. Dengan begitu, masih ada tiga Permen yang belum dirilis, salah satunya yang mengatur
box office Indonesia.
Sementara itu, pada Maret 2018 Kepala Pusat Pengembangan Perfilman Kemendikbud Maman Wijaya mengatakan kepada
CNNIndonesia.com Permen sudah ada di tangan Dirjen Kebudayaan. Akan tetapi secara substansi masih dikaji.
Terlebih masih ada perbedaan pemahaman antara produsen film, bioskop selaku ekshibitor film, dan Kemendikbud terkait konsep pusat data box office. Padahal, Permen tersebut sudah 'ditagih' sejak 2009 saat UU Film disahkan.
 Kepala Pusat Pengembangan Perfilman Kemendikbud Maman Wijaya (CNN Indonesia/Endro Priherdityo) |
Pada Maret 2019, Maman menyatakan Kemendikbud akan menyampaikan secara rutin capaian perfilman Indonesia pada tanggal 15 setiap bulan lewat situs.
CNNIndonesia.com terus mengecek setiap bulannya di situs Kemendikbud dan Pusbang Film sejak saat itu hingga kini, data
box office tak pernah ada.
"Kemarin terkendala masalah teknis di
website. Kendala-kendala teknis di internet. Sedang disiapkan sistem pengamanan data," kata Maman, pada April 2019 lalu.
Sampai saat ini data itu masih tak ada.
CNNIndonesia.com sudah menghubungi Maman untuk bertanya lebih lanjut mengenai Perman dan
box office. Namun ia belum juga merespons.
'Takut' Soal PajakPermen yang mengatur
box office menjadi sangat penting agar implementasi UU Film tidak tumpang tindih. Selain Kemendikbud, Bekraf menargetkan Indonesia memiliki Integrated Box Office System (IBOS) sejak 2017.
Namun sama saja seperti Kemendikbud, rencana lembaga yang dipimpin Triawan Munaf ini hanya wacana. Sampai saat ini tidak ada IBOS. Salah satu alasannya, belum ada Permendikbud yang mengatur.
Pada akhirnya justru pihak swasta yang mengumumkan
box office secara berkala. Sejauh ini ada filmindonesia.or.id dan Cinepoint.
 Kepala Badan Ekonomi Kreatif, Triawan Munaf. (Detikcom/Ari Saputra) |
Rumah produksi juga merilis jumlah penonton, tapi demi kepentingan promosi film yang mereka produksi. Akan tetapi, pengamat perfilman Hikmat Darmawan menyebut
box office yang dirilis swasta atau rumah produksi hanya klaim dan tidak pasti.
Data
box office ini bukan hanya sekadar siapa film dengan penonton terbanyak, namun bisa mengukur perkembangan dan mengarahkan tujuan pengembangan industri.
Ada pemahaman yang salah soal
box office di Indonesia. Secara global
box office adalah informasi pendapatan dari penjualan tiket, seperti yang dilakukan Box Office Mojo. Bukan sekadar informasi jumlah penonton seperti di Indonesia.
"Ada hambatan untuk merealisasikan
box office. Salah satunya ada pihak yang keberatan soal pajak. Informasi ini saya dapat dari orang yang ada di dalam industri," kata Hikmat.
Box office yang berkesinambungan dengan pajak adalah
box office yang menginformasikan pendapatan dari penjualan tiket. Semakin besar pendapatan, semakin besar pula pajak yang harus dibayarkan.
Apalagi, dunia perfilman Indonesia berkembang dengan pesat dalam beberapa tahun terakhir. Hal itu bisa dilihat dari laporan asosiasi dagang Motion Picture Association of America (MPAA).
Asosiasi yang mewakili enam studio terbesar di Hollywood ini merilis merilis gambaran pasar perfilman di dunia, baik secara domestik maupun internasional. Dari data MPAA yang biasa rilis setiap April itu, pasar film Indonesia setiap tahunnya mengalami peningkatan.
 Dari data MPAA yang biasa rilis setiap April, pasar film Indonesia setiap tahunnya mengalami peningkatan. (CNN Indonesia/Fajrian) |
Pada 2014 MPAA mencatat Indonesia berhasil masuk 20 besar pasar
box office Indonesia dengan nilai US$0,2 miliar, menggeser Malaysia yang sebelumnya berada di posisi itu.
Indonesia terus berkembang, pada 2016 berada di urutan 15 dunia dengan nilai US$0,3 miliar. Dalam laporan terbaru yang dirilis April 2019, Indonesia berada di posisi 14 dengan nilai sebesar US$0,4 miliar, atau setara sekitar Rp5,6 triliun.
Di sisi lain pada Maret 2019, Maman pernah berkata ada peningkatan penonton film Indonesia. Maman menyebutkan, ada 16 juta penonton film Indonesia pada 2015. Angka tersebut naik drastis menjadi 36 juta pada 2016, 42 juta pada 2017 dan 48 juta pada 2018.
Bila mengacu pada angka dari Kemendikbud tersebut, pada 2018 saja, sebesar Rp1,6 triliun dihasilkan dari penjualan tiket jika per tiket seharga Rp35 ribu. Faktanya, beragam tiket terjual di Indonesia, mulai dari Rp35 ribu hingga ratusan ribu per tiket.
Triliunan rupiah yang datang hanya dari tiket ini pun tak jelas muaranya, berapa pajak yang dihasilkan, atau ke mana pajak tersebut mengalir. Itu baru dari tiket, jalur yang paling mudah untuk ditelusuri. Belum pendapatan film dari
streaming, lisensi, dan lain-lain.
Hikmat menjelaskan implementasi
box office di Indonesia tidak mudah. Selain harus melewati birokrasi yang panjang,
box office tidak hanya melibatkan Kemendikbud, harus melibatkan dan bekerja sama dengan kementerian atau lembaga terkait.
"Film bukan hanya karya seni, tapi juga industri," kata dia.
 Hikmat Darmawan menjelaskan implementasi box office di Indonesia tidak mudah. (CNN Indonesia/Safir Makki) |
(adp/asa)