Review Film: Dark Waters

Endro Priherdityo | CNN Indonesia
Jumat, 29 Nov 2019 18:44 WIB
'Dark Waters' menampilkan ironi ketika kelompok kapitalis secara tamak mengeruk keuntungan dengan menggadaikan hidup umat manusia.
'Dark Waters' menampilkan ironi ketika kelompok kapitalis secara tamak mengeruk keuntungan dengan menggadaikan hidup umat manusia. (Dok. Participant via IMDb)
Jakarta, CNN Indonesia -- Saya masih ingat suatu ketika lebih dari sedekade lalu, media massa penuh dengan kabar bahwa teflon bisa menyebabkan kanker. Namun saya tak mengira, kisah di balik berita itu bisa amat mengusik kemanusiaan kala diangkat lewat film "Dark Waters".

Film ini bukan hanya apik dalam hal estetis dan naratif, melainkan membuka mata dan pikiran bahwa pada akhirnya yang melindungi setiap insan demi bertahan hidup adalah individu itu sendiri.

Kisah Dark Waters diangkat dari laporan mendalam The New York Times yang dirilis pada 2016, The Lawyer Who Became DuPont's Worst Nightmare.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Laporan itu menggambarkan perjuangan pengacara Robert Bilott melawan perusahaan kimia raksasa DuPont atas kasus pencemaran senyawa kimia PFOA alias C-8 sejak 1998 dan diungkap ke publik pada 2001.

Artikel panjang itu kemudian digarap ulang jadi naskah oleh Mario Correa, Matthew Michael, dan Carnahan, serta diarahkan oleh Todd Haynes. Aktor Mark Ruffalo menjadi produser sekaligus memerankan sosok Robert Bilott.

Secara nuansa dan eksekusi cerita, Dark Waters sebenarnya tak jauh berbeda dengan film thriller bernuansa investigasi lainnya, seperti Spotlight (2015) dan the Post (2017).

Namun, film ini memiliki rentang waktu yang jauh lebih panjang sehingga menjadi tantangan bagi penulis Dark Waters untuk memadatkan cerita dalam 126 menit. Kisah asli dari masalah pencemaran PFOA alias C-8 oleh DuPont sebenarnya sudah dimulai sejak dekade '50-an.

Atas tantangan tersebut, trio Mario Correa, Matthew Michael, dan Carnahan patut mendapatkan apresiasi.

Ketiganya mampu menampilkan kisah enam dekade -lengkap dengan latar masalah hingga drama konflik antar karakter- tanpa kehilangan esensi. Walaupun, cerita Dark Waters didominasi era 1998 hingga 2001, era awal ketika Robert Bilott menangani masalah ini.

Mereka juga fokus pada masalah yang dihadapi Robert dengan konsekuensi cerita dituturkan cukup lambat sehingga menuntut penonton untuk fokus. Meski begitu, film ini terbilang masih bisa diikuti oleh mereka yang tak terbiasa menyaksikan film investigatif atau pun konspirasi.
Review Film: Dark WatersSalah satu adegan di Dark Waters. (dok. Participant via IMDb)

Bukan hanya sekadar menggambarkan masalah hukum yang dihadapi Robert, Dark Waters menampilkan masalah kemanusiaan yang lebih mendalam, yaitu ketika kelompok kapitalis secara tamak mengeruk keuntungan dengan menggadaikan hidup umat manusia.

Ironisnya, masyarakat mampu dibuat tak berdaya dan tak bisa melawan dengan janji manis "memudahkan kehidupan" dalam iklan di media massa hingga 'suap' berupa kompensasi fasilitas kesejahteraan.

Mereka tahu, masyarakat akan anteng bila perut, kesehatan, dan pendidikannya terpenuhi. Dengan begitu, masyarakat tak akan kritis atau pun peduli meski perusahaan telah membuat mereka meregang nyawa tanpa disadari.

Naskah yang kuat dan apik tersebut kemudian dieksekusi cukup baik oleh sutradara Todd Haynes. Haynes terlihat berusaha keras menampilkan visual yang relevan dengan latar cerita, meski dalam sejumlah bagian tetap ada kekurangan.

Sedikit catatan, Haynes tampaknya kurang teliti atau kesulitan menyesuaikan situasi faktual saat pengambilan gambar dengan latar cerita. Sehingga, ada bagian yang tak logis bila diperhatikan secara detail.

Aksi Mark Ruffalo menjadi sosok pengacara Robert Bilott juga terbilang prima dan mampu menampilkan kapasitasnya sebagai aktor sejati. Meski secara personal saya lebih suka aksinya di Spotlight dibanding dalam film ini.

Dark Waters juga menjadi film ke-delapan Ruffalo duduk dalam tataran produser ataupun eksekutif produser. Dibanding film Sympathy for Delicious yang diproduseri dirinya sembilan tahun lalu, Dark Waters jelas kemajuan bagi Mark Ruffalo.

Di sisi lain, Dark Waters akan terasa membosankan tanpa kehadiran Anne Hathaway yang menjadi istri Robert, Sarah.

Anne Hathaway -dengan wig dan tatanan rambut yang up-to-date dengan latar waktu- mampu memainkan porsinya dalam Dark Waters secara ciamik dan pas sehingga bisa jadi sosok yang penting meski bukan di pusat cerita.

[Gambas:Video CNN]

Secara umum, meski bukan tergolong film berbujet besar alias blockbuster atau pun komersil, Dark Waters amat layak mendapatkan atensi dari penonton luas.

Tak ada alasan untuk melewatkan film ini, baik dari segi cerita, pesan, drama, hingga eksekusi sinematik. Apalagi bagi mereka yang mengaku peduli kemanusiaan dan lingkungan.

Akhirnya, akan menjadi sebuah kejutan yang menyenangkan bila nanti bisa melihat Dark Waters di jajaran nominasi ajang penghargaan seperti Academy Awards, entah dalam kategori naskah bahkan tak mustahil di bagian film terbaik.
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER