Ilustrasi wayang yang diproduksi oleh Sanggar Bima milik Ki Manteb Soedharsono. (CNN Indonesia/ M Andika Putra)
Jakarta, CNN Indonesia -- Wayang dan dalang sejak awal, adalah satu paket. Tidak bisa berjalan sendiri, terutama dalam pertunjukan langsung. Terlebih, merunut sejarah yang disampaikan turun temurun, dalang mutlak memegang peranan penting di pertunjukan wayang.
Dalang tidak sekadar menggerakkan wayang. Ia harus menguasai dan memahami betul makna di balik cerita yang dituturkan. Apalagi kisah-kisah itu memiliki nilai moral dan keluhuran yang tinggi, sehingga tidak bisa sembarangan disampaikan.
Dosen Jurusan Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Prapto Yuwono menjelaskan bahwa tidak ada kejelasan tentang masuknya wayang ke Indonesia. Namun menurutnya, proses tersebut tak lepas dari warisan budaya Hindu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lambat laun wayang berevolusi, menyesuaikan dengan ragam geografis dan kebudayaan setempat.
"Jadi ketika pengaruh Hindu sudah mulai datang dengan cerita wayang yang begitu populer, orang Jawa justru men-Jawa-kan. Yang tadinya bahasa Sanskerta, [diubah] jadi bahasa Jawa kuno. Bahkan cerita Mahabarata, Ramayana tuh di-Jawa-kan," tutur Prapto kala ditemui CNNIndonesia.com di Universitas Indonesia, Depok, beberapa waktu lalu.
Prapto memberi contoh, tentang Pandawa di kisah Mahabarata. Dalam versi asli, Drupadi melakukan poliandri dengan kelima Pandawa. Tetapi karena adat Jawa menganggap hal itu tidak pantas, maka cerita tersebut diubah, disesuaikan dengan kultur setempat.
Untuk perkembangan wayang kulit, Prapto menyebut Walisongo punya peranan besar. Saat itu, wayang kulit dipakai sebagai media penyebaran agama Islam. Dari sana, dalang mulai dikenal. Bahkan, dipercaya para Walisongo sendiri yang mendalang wayang.
"Dalang ini menjadi orang yang sangat penting di dalam filosofi [wayang] yang sudah Islam. Difilosofikan, dalang adalah Tuhan. Jadi, nonton wayang sebenarnya adalah nonton kehidupan manusia yang digerakkan oleh Tuhan," ujar Prapto.
Dengan personifikasi dalang sebagai Tuhan, kata Prapto, maka moral cerita perwayangan bisa disampaikan. Hal itu membuat pedalang menanggung beban tersendiri, bahwa dirinya adalah gambaran Tuhan.
Prapto Yuwono, dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia. (CNN Indonesia/ M Andika Putra)
"Dia [dalang] harus menyampaikan sesuatu yang benar. Bahkan kalau dalang salah ucap saja dia takut. Karena dia mengajarkan moral, mengajarkan kebenaran," tuturnya.
Dalang songgo buwono disebut yang paling tak boleh 'sembarangan'. Berfungsi sebagai dalang ruwat, ia dianggap sangat spiritual. Untuk menjadi dalang songgo buwono pun memerlukan ritual tertentu yang membedakan pelakunya dari dalang biasa.
Permasalahan Dalang
Dari generasi ke generasi, dalang terus melakukan fungsi mereka, kebanyakan secara turun temurun. Bangsa ini tampak tak pernah kehabisan dalang.
Persatuan Pedalangan Indonesia (PEPADI) menyatakan sampai 2019, mereka memiliki anggota ribuan dalang, tersebar dari Sumatera, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan, Sulawesi, sampai Papua. Data mencatat ada 2,656 dalang PEPADI.
Sekretaris PEPADI DKI Jakarta, Adri Yudha Prawira menyatakan perkembangan pedalangan di Indonesia terhitung pesat. Terlebih, di era digital seperti hari ini.
"Memang semua orang yang bukan di bidang seni, atau punya keturunan seni, yang masyarakat umum, bisa tahu tentang dunia pedalangan. Dia bisa nonton lewat streaming atau YouTube," kata Adri kepada CNNIndonesia.com melalui sambungan telepon.
Adri tak khawatir dengan perkembangan pedalang Indonesia. Justru, ia mengaku lebih khawatir dengan minimnya minat untuk mengundang atau menanggap pertunjukan wayang.
Ia menilai, kondisi ini membutuhkan perhatian lebih dari pemerintah karena sifatnya lebih urgen.
"Perkembangan dalang di Indonesia itu pesat, hanya saja tidak diimbangi dengan minat orang untuk mengundang dalang-dalang tersebut. Sehingga yang sudah belajar mendalang, akan jadi pesimis [karena tidak ada undangan]. Itu yang bahaya," kata Adri.
Adri memaparkan persoalan lain dari pertunjukan wayang saat ini, yakni nilai hiburan yang lebih disukai daripada cerita perwayangan itu sendiri.
Misalnya, kata dia, penonton akan menonton untuk melihat sinden yang seharusnya jadi pendamping pertunjukan. Atau bagaimana penonton meminta cerita tertentu, membuat dalang tak punya banyak pilihan selain menurutinya.
Adri Yudha Prawira, dalang muda sekaligus Sekretaris PEPADI atau Persatuan Pedalangan Indonesia. (dok. Pribadi)
Adri menyebut pertunjukan wayang pernah mengalami masa jaya di bawah pemerintahan Presiden Soeharto. Hal ini turut diungkapkan oleh dalang senior Ki Manteb Soedharsono yang telah beberapa kali merasakan langsung pasang surut popularitas pertunjukan wayang dalam beberapa dekade terakhir.
"Saya mengakui. Wayang itu ramainya zamannya Pak Harto. Bukan saya memuji atau manja [ke] Pak Harto," kata Ki Manteb saat dijumpai CNNIndonesia.com di kediamannya di Karanganyar, Jawa Tengah.
Menurut Ki Manteb, ia pernah berdialog dengan Presiden Joko Widodo tentang hal ini. Saat itu, Jokowi menetapkan Hari Wayang mulai 7 sampai 30 November.
Sang presiden, kata Ki Manteb, meminta lebih banyak digelar pertunjukan wayang, serta agar para pejabat turut mendukung rencana tersebut.
Kondisi tersebut terbilang ironi, mengingat mata dunia amat mengagumi pertunjukan wayang dan peran dalang. Pada 2003, UNESCO bahkan menobatkan wayang kulit sebagai Masterpieces of the Oral and Intangible Heritage of Humanity.
Ki Manteb pun sempat menyambangi Amerika Serikat dan sejumlah negara di Eropa dan Asia untuk menampilkan pertunjukan wayang. Ia mengklaim selalu mendapat sambutan meriah, dengan antusiasme amat tinggi.
Untuk mengatasi permasalahan ini, Adri menilai pemerintah harus berperan lebih aktif.
"Harusnya pemerintah menaikkan kualitas tontonan masyarakat, mengarahkan masyarakat untuk menonton wayang, sehingga dalang-dalang yang belum punya kesempatan maju bisa punya kesempatan itu," katanya.
Adri menambahkan, "Pemerintah kan punya banyak akses, punya program dan anggaran yang cukup besar. Tinggal dibuatkan saja kampanye atau sosialisasi. Jadi bukan tentang hiburannya saja."