Muhammad Andika Putra
Muhammad Andika Putra
Menggemari klub sepakbola Juventus dan menggemari fotografi sejak kecil. Suka dengan band 90an seperti Oasis, Radiohead dan Nirvana

Api di Balik Lirik Patah Hati Didi Kempot

Muhammad Andika Putra | CNN Indonesia
Selasa, 05 Mei 2020 18:50 WIB
THE GODFATHER OF BROKEN HEART DIDI KEMPOT. (Didi Kempot Official)
Didi Kempot selama berkarya telah melahirkan lebih dari 700 lagu. Ia meninggal dunia di Solo pada Selasa (5/5) pagi. (Didi Kempot Official)
Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNNIndonesia.com
Jakarta, CNN Indonesia -- "Patah hati boleh, tapi jangan patah semangat."

Frasa tersebut diungkapkan oleh seorang yang menciptakan ratusan lagu patah hati. Banyak yang mengenalnya dengan nama Didi Kempot, meski nama aslinya Dionisius Prasetyo.

Hari ini sosok yang selama 35 tahun terakhir melahirkan ratusan karya itu meninggal dunia pukul 07.45 WIB di Surakarta. Ia tidak akan pernah menciptakan lagu patah hati lagi untuk menemani mereka-mereka yang putus cinta.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tapi saya yakin, semangat dan spirit Didi akan terus dikenang lewat lirik dan lagunya.

Saya pribadi akan selalu mengingat semangat Didi, terutama yang ia tularkan langsung dalam pertemuan kami. Tepatnya ketika saya mendapat kesempatan wawancara tatap muka di salah satu hotel di Solo, Jawa Tengah, pada pertengahan Juli tahun lalu. Pengalaman itu membuat saya merasa sebagai salah satu orang beruntung.

Perjalanan saya untuk bisa mewawancarai Didi Kempot tidak bisa disebut mudah. Pasalnya kala itu nama Didi tengah melambung di kalangan anak muda kekinian. Bahkan ia juga mendapat julukan Bapak Lara Ati Nasional atau Godfather of Broken Heart dan menjadi ikon. Banyak media nasional berlomba-lomba mewawancarainya.

Ketika mendapat konfirmasi, tanpa pikir panjang saya langsung terbang dari Jakarta ke Solo. Saya pun menyiapkan diri untuk untuk mewawancarai salah satu musisi legenda Indonesia.

Tetap saja, ada rasa gugup ketika pertama bertemu.

"Ayo, duduk...duduk."

"Di Solo berapa hari?"

"Ayo, pesan makan dan minum"

Sambutan dari Didi kala itu masih terekam jelas di benak saya, membuat saya berpikir bahwa dia adalah orang yang gemar mengobrol. Bila prediksi itu benar, tentu wawancara akan berjalan lebih mulus. Beda halnya jika basa-basi semata.

Tak perlu waktu lama untuk mendapatkan jawaban. Dalam waktu 30 menit saja, Didi sudah mau membuka dirinya dan antusias memberikan pernyataan. Ketika saya melemparkan tiga pertanyaan, ia memberikan enam jawaban. Benar-benar mempermudah pekerjaan saya, bukan?

Selama wawancara Didi bercerita banyak hal. Mulai dari bagaimana ia tumbuh di keluarga yang kental dengan darah seni, putus sekolah, memulai karier sebagai pengamen jalanan, sampai inspirasi menulis lagu-lagu patah hati.

"Saya mulai ngamen sekitar tahun 1984-1986, masih remaja. Belajar gitar otodidak, gitar saya beli dari penjualan sepeda pemberian bapak. Akhirnya bisa jadi karya sampai sekarang," kata Didi sembari tersenyum.

Waktu tidak terasa berlalu begitu saja ketika kami asyik bercengkerama. Saya sendiri terkejut ketika menyadari tanda waktu pada alat perekam suara tertulis 120 menit. Wawancara ini melewati rencana yang semula hanya 60 menit.

Tentu ini keberuntungan sendiri bisa berbincang dan mendapat informasi dari Didi. Saat itu saya berpikir dalam hati, 'Kapan lagi bisa mewawancarai Didi kalau tidak sekarang?' Terlebih tidak semua orang memiliki kesempatan seperti ini.

Setelah wawancara selesai, saya bisa menarik kesimpulan bahwa Didi adalah orang yang memiliki semangat tinggi. Memang saya baru pertama bertemu, hanya sekitar dua jam, tapi waktu itu cukup bagi saya untuk mengenalnya.

Ia orang yang sangat jarang patah semangat. Sesulit apa pun hidup yang pernah dialami, ia selalu memiliki cara untuk bangkit dari keterpurukan. Bahkan usia yang telah mencapai kepala lima tidak ia jadikan halangan untuk terus berkarya.

Meski sudah membuat kurang lebih 700 lagu, saat itu bercerita masih tetap ingin membuat lagu bergenre campur sari dengan lirik bahasa Jawa. Di bulan-bulan terakhir hidupnya pun Didi tengah merencanakan konser akbar di Stadion Gelora Bung Karno, yang sayangnya tertunda karena wabah corona.

Soal kekaryaan, Didi mengaku terinspirasi dari Waljinah yang dikenal sebagai penyanyi keroncong asal Solo.

"Bu Waljinah, sudah sepuh gitu masih (berkarya). Yang membuat kita mengidolakan ya. Namanya selalu disebut, kalau ada orang datang pasti nyebut bu Waljinah kalau ke Solo," kata Didi.

Pernyataan tersebut tidak panjang dan terbilang sederhana, tapi sebenarnya memiliki makna yang dalam. Dari situ saya merasa Bahwa Didi adalah mestro patah hati yang tidak pernah patah semangat.

Didi memang musisi yang seperti itu.
(vws)


[Gambas:Video CNN]
LEBIH BANYAK DARI KOLUMNIS
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER