Evolusi Anime: Propaganda, Aliansi, Hingga Pemenuhan Fantasi

Christie Stefanie | CNN Indonesia
Minggu, 28 Jun 2020 10:00 WIB
Anime Astro Boy
Ilustrasi. Astro Boy. Digemari banyak orang, anime yang kini beredar ternyata berbeda jauh saat awal-awal kelahirannya di Jepang. (dok. Tezuka Productions via YouTube)
Jakarta, CNN Indonesia --

Anime menjadi salah satu hiburan yang amat digemari banyak orang saat ini. Namun, anime yang kini beredar ternyata berbeda jauh saat awal-awal kelahirannya di Jepang.

Anime pertama yang dirilis komersial di Jepang adalah Dekobo Shingacho- Meian no Shippai pada 1917 . Anime tersebut hanya berdurasi lima menit, tak sampai 20-30 menit seperti saat ini.

Tak hanya itu, anime dulu juga dibuat melalui gambaran dengan kapur di atas papan, dihapus dan penggambaran ulang ketika kamera merekam dan biasanya tanpa suara. Percakapan antar karakter disampaikan lewat tulisan di layar.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Jalan ceritanya pun sangat sederhana seperti kisah-kisah rakyat dengan pesan seputar budaya, etika, serta leluhur. Hal tersebut bertahan hanya sampai Perang Dunia II.

"Awalnya ngomongin folklore aja seperti pesan moral," kata Roberto Masami Prabowo, akademisi Sastra Jepang Universitas Bina Nusantara kala berbincang dengan CNNIndonesia.com, beberapa waktu lalu.

"Tapi ketika perang dunia kedua, anime itu berbau propaganda atau orang Amerika bahkan menyebutnya propaganda. Jadi perlahan folklor disisipi propaganda," lanjutnya.

[Gambas:Youtube]

Momotaro: Sacred Sailors menjadi contoh nyata hal tersebut. Momotaro digunakan angkatan laut Jepang untuk membangun semangat anak-anak saat itu.

Film anime yang dirilis sekitar 1945 ini sesungguhnya menceritakan bocah laki-laki yang lahir dari buah persik raksasa. Ia memiliki teman binatang yang membantunya mengalahkan iblis dan mengambil harta curian.

Sosok iblis digambarkan seperti orang-orang kulit putih seperti stigma yang beredar, yakni memiliki hidung dan mata yang besar serta badan bongsor.

Gambaran seperti itu dijadikan sebagai 'balasan' setelah Amerika Serikat juga merilis kartun propaganda Bugs Bunny Nips the Nips. Dalam kartun itu, orang Jepang digambarkan miskin, berkulit kuning, mata sipit, dan gigi yang sangat besar.

Pada Perang Dunia II, Jepang bergabung dengan Blok Poros untuk melawan Amerika dan Sekutu. Hubungan Jepang-Amerika memanas setelah serangan Pearl Harbor dan memuncak pada pengeboman di Hiroshima serta Nagasaki yang membuat Jepang mengaku kalah, sekaligus menandai akhir dari Perang Dunia II.

[Gambas:Youtube]

'Permusuhan itu Tak Ada'

Peristiwa itu memengaruhi perkembangan anime, bahkan hingga ke jalan cerita. Roberto menyatakan sebagian besar anime Jepang memiliki benang merah narasi yaitu membangun aliansi ketika berhadapan dengan masalah.

"Misalnya Dragon Ball. Itu aliansi. One Piece juga aliansi. Jadi jangan sampai bunuh lawan. Kita aliansi. Pesan moralnya, permusuhan itu enggak ada, yang ada hanya beda kepentingan. Gambaran anime itu rata-rata persuasif," Roberto menjelaskan.

Ia turut mencontohkan pengaruh Perang Dunia II dalam anime hit, Doraemon. Ia menggambarkan Giant dan Suneo yang kerap mengusili Nobita berulang kali.

"Tapi Nobita tetap bersahabat dengan Giant kan meski berulang kali diusili. Enggak pernah benar-benar bermusuhan. Anime Jepang kebanyakan begitu terus," tuturnya.

Doraemon: Nobita's Chronicle of the Moon Exploration (2019).Kisah Doraemon disebut terpengaruh suasana pasca Perang Dunia II. (dok. Fujiko Productions/TV Asahi/Shin Ei Animation via IMDb)

"Nobita juga terus lari ketika diusili. Itu tipikal orang Jepang yang kalau ada masalah, jangan dilawan. Karena sudah merasakan kalah saat Perang Dunia II. Ketika melawan malah jadi seperti itu," lanjutnya.

Selain sejarah, isu-isu sosial politik juga menjadi salah satu hal yang tak bisa dilewatkan dari anime. Permasalahan politik juga kerap disisipkan seperti Gundam, Attack on Titan, serta Gintama.

Film-film Studio Ghibli juga termasuk yang menjadi paling sering menyisipkan hal tersebut dengan kemasan yang bagus sehingga terlihat begitu simbolis, seperti mengungkap kelamnya eksploitasi seksual anak di bawah umur dalam Spirited Away, anime yang menjadi Film Animasi Terbaik Oscar 2003.

Kehidupan sehari-hari masyarakat Jepang juga tergambar lewat anime. Kepedulian terhadap alam serta lingkungan tetap menjadi salah satu tema yang diangkat di sebagian besar anime.

"Anime itu lebih menggambarkan persahabatan dan ekologi. Gundam bahkan Kamen Rider itu juga bicara soal ekologi. Doraemon juga menyisipkan ekologi di dalamnya," kata Roberto.

[Gambas:Youtube]

"Astro Boy dan Alita juga ngomongin ekologi walau dia robot. Robot yang dibuat dari barang rongsokan. Jadi ini seperti bagaimana mengatasi barang rongsokan,"

Hal itu terlihat dari banyak hal, seperti menjaga keutuhan Bumi, atau membuat koloni baru kala kondisi Bumi 'tak layak lagi ditempati'.

Selain itu, pesan soal ekologi juga datang dari detail-detail dalam anime, seperti suara aliran air, kicauan burung, serta adegan yang fokus pada situasi alam sekitar.

Sehingga, Roberto menilai terdapat empat hal yang selalu ditemukan dalam anime, yakni altruisme atau mengutamakan orang lain, kolektivisme atau rasa memiliki secara bersama, prinsip hidup, dan egoisme.

"Itu untuk mengingatkan kehidupan manusia bahwa [manusia] tinggal di Bumi. Itu yang membuat mindset-nya berbeda," tuturnya.

Koleksi GundamIlustrasi Gundam. (Dok. Pribadi)

Fantasi demi Otaku

Meski kerap mengangkat kehidupan sehari-hari, anime juga tak lupa menonjolkan unsur fantasi, mulai dari jalan cerita dan juga penampilan dari para karakter.

Roberto mengatakan hal tersebut yang kadang membuat orang-orang di luar Jepang salah persepsi mengenai warga Negeri Matahari Terbit itu.

Ia menekankan sebagian besar karakter yang tampil dalam anime, terutama hentai, merupakan bentuk fantasi kreator belaka.

"Itu hanya male fantasy. Bukan karena tidak tersalurkan, tapi [anime] itu yang menjadi media [untuk] dependable," Roberto menjelaskan.

Fan service juga satu hal yang tak bisa dilepaskan dari anime. Hal tersebut bahkan dinilai menjadi faktor yang membuat banyak orang bertahan menyaksikan anime.

Fan service merupakan adegan atau penampilan yang sengaja disisipkan untuk menyenangkan hati penonton meski kadang tak relevan dengan cerita atau perkembangan karakter.

Hal tersebut bisa berupa tampilan lucu, menggemaskan, mendebarkan seperti adegan bertarung yang sangat panjang, bahkan kadang ke arah seksualitas.

"Bukan soal pakaian seksi saja ya. Tapi dulu Doraemon juga ada fan service seperti ketika Shizuka lagi mandi," ungkapnya.

Demi memanjakan para penggemar, pelaku anime kerap mempertimbangkan ambassador otaku dalam proses produksi. Ambassador otaku merupakan 'perwakilan' para penggemar anime yang kerap dikenal sebagai otaku.

Pengunjung dapat berfoto bersama pengunjung yang bercosplay karakter anime di Jak Japan Festival, Gelora Bung Karno, Jakarta Pusat, Sabtu, 3 September 2016. Festival budaya Jepang digelar dari 3-4 September 2016. CNN Indonesia/Gautama Padmacinta.
Ilustrasi. Demi memanjakan para penggemar, pelaku anime kerap mempertimbangkan ambassador otaku dalam proses produksi. (CNN Indonesia/Gautama Padmacinta)

Ambassador otaku menjadi salah satu hal penting dalam perkembangan anime. Roberto menjelaskan ambassador otaku berperan sebagai mediator dari pecinta anime kepada kreator.

Mereka disebut kerap memberi tahu kepada kreator atau perusahaan penaung anime soal kondisi bahkan jalan cerita yang diinginkan para penggemar anime.

Tak hanya itu, masukan ambassador otaku bahkan bisa langsung memengaruhi kebijakan pembuat merchandise resmi.

"Biasanya mereka diundang dan ditanya. Merchandise bahkan dikasih tahu, misalnya zaman sekarang sudah enggak bisa lagi kalau cuma gantungan kunci. Mereka [ambassador otaku] jadi mediator".

Oleh sebab itu, kehadiran ambassador otaku menjadi faktor penting selain karakter anime yang bisa membuat animasi asal Jepang tersebut tetap mendapat tempat di hati banyak orang hingga kini.

(end)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER