Sudah menjadi naluri manusia untuk selalu berpikir dalam ruang. Di dalam dan di luar. Di sini dan di sana. Jauh dan dekat. Kita dan mereka.
Secara tidak sadar, pikiran kita membentuk sekat-sekat tak terlihat dalam dunia. Apakah mungkin karena kita, Homo sapiens, termasuk mamalia teritorial yang mengukuhkan ruang jelajah sebagai bentuk kekuasaan?
Saya berpikir mungkin itu jawabnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, tidak seperti mamalia lain yang menandai daerah kekuasaan dengan air seni, kita membangun gedung-gedung pencakar langit, permukiman, perkebunan monokultur, dan jalan-jalan beraspal. Di atas bumi, penanda-penanda wilayah kekuasaan kita inilah yang akhirnya memisahkan kita dari alam itu sendiri.
Di akhir 2019, wilayah kekuasaan kita mulai kebobolan. Bukan karena diterobos oleh mammoth ataupun mamalia besar lain yang pernah kita "singkirkan" dari bumi, tapi karena sebuah makhluk setengah hidup setengah mati yang tak kasat mata bernama virus SARS Cov2.
Karena kelihaian virus tersebut membajak sel-sel pernafasan kita, makhluk hidup lain mulai bebas menjelajah wilayah kekuasaan kita, setidaknya untuk beberapa hari. Beberapa ekor lumba-lumba berenang riang di kanal-kanal kota Venesia, kanguru melompat-lompat lincah di sebuah kota di Australia, ataupun sekawanan monyet yang menyeberang jalan dengan santainya di daerah Bogor.
Mardiyah Chamim, dalam bukunya Menjaga Rimba Terakhir yang diterbitkan ketika pandemi SARS Cov2 tengah melanda dunia, mengatakan bahwa sekarang adalah waktu yang pas untuk melakukan refleksi keberadaan kita dalam ruang semesta.
Virus SARS Cov2 berhasil meluaskan daerah jelajah mereka karena kita merusak alam dengan rakus. Hutan dibuka, satwa liar diperdagangkan. Sudah saatnya kita menyadari bahwa manusia adalah bagian dari alam itu sendiri. Menyakiti alam adalah tindakan menyakiti diri kita sendiri. Dan menyelamatkan alam berarti menyelamatkan seluruh umat manusia.
Dari awal hingga akhir, buku ini menggaungkan sebuah pesan penting dan mendesak: kembalikan manusia untuk menyatu kembali dengan alam. Keduanya akan saling merawat dan mengasihi.
Tiga dekade sebelum Chamim menuliskan buku ini, sekelompok anak muda di Sumatera menangkap pesan ini dengan jelas. Di bawah payung organisasi bernama KKI Warsi, mereka berjuang mengembalikan manajemen hutan --yang dahulu diatur oleh para "raja" di Jakarta--- ke kelompok masyarakat adat yang melihat hutan sebagai hidup itu sendiri.
Seperti pepatah Orang Rimba yang dituliskan Chamim berkali-kali dalam bukunya, "Piado rimbo, piado bungo. Piado bungo, piado dewo." Tiada hutan, tiada bunga. Tiada bunga, tiada dewa.
Atau, pepatah suku Dayak di Malinau yang mengatakan bahwa hutan bagaikan air susu ibu bagi umat manusia. "Lunang telang otah ine."
Setiap masyarakat adat memiliki nilai-nilai bijak dalam merawat alam. Bagi mereka, dewa-dewa ada di pohon-pohon, dalam bunga-bunga, di sungai, dan dalam hewan-hewan karismatik seperti harimau, tapir, dan burung enggang.
Bahkan, ketika masyarakat adat ini meninggalkan kepercayaan animisme dan dinamisme mereka sekalipun, agama-agama "langit" juga mengajarkan mereka pentingnya menjaga sumber daya alam seperti hutan.
Fachruddin Mangunjaya, seorang konservasionis di Universitas Nasional yang mengkaji hubungan antara Islam dan konservasi lingkungan, mengatakan bahwa konsep konservasi sudah "embedded" dalam ajaran islam.
Menurutnya, manusia diciptakan untuk menjadi khalifah di muka bumi yang telah diciptakan Tuhan dalam keseimbangan (Mizan). Konsep Islam dan konservasi begitu mengakar kuat di Sumatra Barat dan terbukti efektif menjaga kelestarian lingkungan di banyak "nagari".
Mungkin kebijakan-kebijakan inilah yang menyematkan kata sapiens dalam diri kita -- secara harafiah berarti bijak.
Sayangnya, seiring perkembangan industrialisasi dan sistem ekonomi kapitalisme yang mencengkeram umat manusia hingga saat ini, nilai-nilai ini mulai terkikis.
Manusia "modern" telah membuat penanda-penanda wilayah kekuasaan. Salah satunya pada hutan belantara, yang dilihat sebagai sesuatu yang berada di luar kita.
Bagi mereka yang seumur hidup menghirup udara perkotaan, hutan adalah objek. Ia adalah sumber daya berupa angka. Terpisah dari diri mereka. Mereka lupa bahwa di dalam dan sekitar hutan, juga ada kelompok manusia yang menjaga hubungan baik dengan alam.
Chamim mengutip perkataan Noam Chomsky, "It's phenomenal all over the world that those whom we call "primitive" are trying to save those of us whom we call "enlightened" from total disaster." (Sangat fenomenal, bahwa di seluruh dunia mereka-mereka yang kita sebut "primitif", justru tengah menyelamatkan mereka yang kita sebut "kelompok tercerahkan" dari bencana besar).
Alih-alih didukung kesejahteraannya, keberadaan masyarakat adat seringkali tidak diakui. Pada 1994, Bank Dunia melaporkan bahwa ada 670 orang Rimba yang "terusir" dari hutan mereka sendiri karena program transmigrasi pemerintah saat itu.
Lewat Menjaga Rimba Terakhir, Chamim menuliskan fakta ini sebagai titik awal perjuangan KKI Warsi dalam mengembalikan manajemen hutan ke masyarakat adat.
Dengan memadukan reportase sejarah konferensi lingkungan internasional, perubahan-perubahan dalam undang-undang nasional, dan juga cerita-cerita nyata para fasilitator Warsi di lapangan, Chamim menyajikan narasi yang begitu epik mengenai perjuangan lembaga ini selama 30 tahun. Juga perjuangan mereka yang jatuh bangun menjaga rimba terakhir. Ada yang berbuah pahit. Ada juga yang berbuah manis.
Satu hal yang mengesankan saya dari kinerja Warsi adalah pendekatan mereka terhadap masyarakat adat.
Para fasilitator benar-benar sabar dan telaten dalam meraih "kepercayaan" masyarakat setempat. Alhasil, kedua belah pihak saling bekerjasama dalam menjaga hutan sembari menggerakkan perekonomian setempat.
Beberapa gesekan tentu saja terjadi. Namun, karena kerja Warsi dimotori oleh pendekatan-pendekatan antropologis, gesekan-gesekan ini akhirnya bisa diselesaikan. Setidaknya itu yang dituliskan oleh Chamim berdasarkan wawancara dan riset jurnalistik yang mendalam.
Kurang lebih sepertiga isi buku Menjaga Rimba Terakhir diisi oleh kisah-kisah sukses masyarakat yang mengelola "hutan mereka sendiri", alias hutan desa, hutan adat, hutan sosial.
Hampir semua cerita datang dari Sumatra Barat, sebuah provinsi yang lebih dari setengah wilayahnya terdiri dari hutan hujan primer. Tak heran, saat saya terbang melintasi provinsi tersebut, warna hijau dan pegunungan terlihat indah dari atas. Apakah gerangan yang menjaganya?
Chamim menuliskan beberapa contoh kasus. Namun yang benar-benar mengesankan saya adalah bagaimana perkawinan teknologi dan kearifan lokal bisa kembali menyatukan manusia dan alam.
Pembatas-pembatas hutan adat atau ruang jelajah seperti sungai dan bukit --yang dulunya hanya diucapkan secara lisan dari generasi ke generasi-- sekarang dilukiskan menjadi landmark-landmark dalam peta yang dibuat berdasarkan data satelit dari Google Earth.
"Memiliki dokumen peta, membuat warga lokal punya alat untuk berunding dengan Bahasa yang diakui hukum positif," tulis Chamim.
Contoh lainnya adalah teknologi mikro-hidro yang menerangi masyarakat Nagari Karo Jaya Tuo dengan energi listrik berbasis aliran sungai.
Dengan teknologi ini, masyarakat memastikan bahwa hutan juga berarti terang bagi desa mereka. Konsep carbon trading, yang masih belum bisa dipahami oleh banyak masyarakat adat, kini membuat sejahtera masyarakat di sekitar hutan Bujang Raba.
Selain itu, alat deteksi pembalakan liar bernama "The Guardian " yang dipasang di Nagari Pakan Raaba, membantu masyarakat untuk menjaga hutan mereka.
Pandemi 2020. "The great moment of realization," tulis Chamim. Kita telah membuka berjuta-juta hektar hutan namun belum terlambat bagi kita untuk "bertobat".
Untuk mencegah munculnya pandemi selanjutnya yang bisa jadi lebih ganas dan lebih menular dari COVID-19, adalah wajib bagi kita untuk menjaga keseimbangan alam. Retorika para penguasa seringkali berkata kita tidak bisa memilih antara keselamatan ekosistem dan ekonomi masyarakat. Namun, perjuangan masyarakat adat menjaga di Sumatra, Kalimantan, dan Papua,--yang didampingi oleh KKI Warsi,-- meniadakan asumsi tersebut.
Sudah saatnya kita melihat hutan belantara sebagai bagian dari diri kita. Karena manusia dan alam adalah satu kesatuan.
Menjaga Rimba Terakhir
Kisah Masyarakat Lokal, Indigenous People, Berjibaku Menjaga Hutan
Penulis : Mardiyah Chamim
Penerbit : KKI warsi
Tebal: 31 Bab, 570 halaman