Terus terang, saya sampai menonton dua kali, berusaha keras memahami pesan film I'm Thinking of Ending Things.
Plot yang mengalir bikin bingung. Itu kesan pertama yang saya rasakan menonton genre film thriller psikologis karya sutradara Charlie Kaufman.
Peringatan keras, ulasan film ini sarat spoiler. Pilihan pembaca untuk melanjutkan atau tidak meneruskan artikel review ini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Percobaan pertama, saya merasa ingin segera menyudahi hubungan 'aneh' antara indera penglihatan dan pendengaran dengan film 'absurd' tersebut. Thinking of ending things, persis seperti judulnya.
Di sisi lain, saya masih saja penasaran untuk mengikuti adegan demi adegan. Lagi-lagi untuk sekadar mengerti pesannya. Bisa juga karena kecele jebakan-jebakan situasi horor atau thriller. Sebuah dilema aneh yang saya rasakan.
Saya pun memutuskan untuk memutar ulang film yang tayang di Netflix tersebut. Namun, tampaknya usaha untuk memahami intensi dari sang sutradara film tetap sia-sia.
Dalam batin saya lagi, mungkin tipe penonton seperti saya yang suka berspekulasi di setiap adegan untuk menebak ceritanya, terlalu awam memahami pesan I'm Thinking of Ending Things.
![]() |
Mungkin tak akan terjadi bagi mereka yang sudah pernah membaca novel Iain Reid. Film ini memang diangkat dari novel Reid dengan judul yang sama.
Latar musik terdengar suram dan 'dingin' mengawali film tersebut, disertai narasi suara perempuan dengan nada datar. Lucy, sang wanita itu bercerita tentang pengalaman bersama Jake pergi berkunjung untuk kali pertama ke rumah orang tua kekasihnya tersebut ke pinggiran kota kecil, Tulsey Town.
Lucy diperankan oleh aktris Jessie Buckley dan Jake dimainkan oleh aktor Amerika Serikat, Jesse Plemons.
Tertangkap semacam kegalauan soal hubungan yang dialami Lucy di awal-awal film. Beberapa kali dia bergumam ingin segera menyudahinya.
Hubungan Lucy dan Jake baru berjalan sekitar tujuh pekan. Mungkin belum terlihat kejanggalan saat Lucy menanti jemputan mobil Jake untuk perjalanan panjang ke rumah orang tua Jake.
Namun, saya melihat ada sedikit kejanggalan ketika adegan berubah. Seorang pria tua yang hanya tampak punggung, tengah mengintip Lucy dari jendela. Lucy balik mengamati jendela flat tersebut dengan tatapan 'interogatif'.
Sejurus kemudian sosok pria tua itu berganti menjadi lelaki yang jauh lebih muda, tengah memandang ke luar melalui jendela.
Keganjilan lain ketika Lucy bergumam dalam hati di perjalanan menuju tempat tujuan seolah bisa terdengar oleh Jake.
Begitu pula ketika Lucy bertemu orang tua Jake di rumahnya. Ayah dan ibu Jake seperti amat segan dan takut dengan sang anak. Ada sebuah situasi ketika ibunda Jake amat berhati-hati melontarkan banyolan kepada anaknya sendiri. Dia seperti tak mau menyinggung perasaan anaknya.
Belum lagi keadaan orang tua Jake yang mendadak berubah dari setengah baya, menjadi sangat tua, kemudian muda. Perubahan itu terjadi dengan set waktu dan tempat yang sama. Ada pula adegan ketika sang ayah amat sulit mengingat sesuatu layaknya penderita demensia.
Ada lagi keganjilan lain kala Jake berubah-ubah memanggil nama kekasihnya dalam sejumlah adegan: Lucy, Louisa, Lucia, hingga Amy.
Empat tokoh dalam film tersebut seolah satu benak yang sama. Karakter mereka seperti berasal dari pikiran seorang lelaki tua.
Sosok pria tua petugas kebersihan sekolah memang beberapa kali sempat dimunculkan dalam plot sisipan di film ini.
Lelaki tua ini lah yang pada akhir-akhir cerita menjadi kunci cerita film tersebut. Singkat cerita karakter Jake, Lucy, ayah dan ibu Jake, merupakan khayalan dari sosok lelaki tua petugas kebersihan sekolah.
Tanpa mengetahui cerita dari novel Reid, mungkin kita kesulitan memahami maksud film tersebut. Sisanya bak adegan-adegan dan alur enigmatik yang sulit sekali dipahami.
Termasuk adegan-adegan ketika Jake muda menari dengan Lucy muda di sekolah. Adegan Jake tua menikam Jake muda dengan pisau, mewujud dalam sebuah tarian pula.
Ada juga scene ketika Jake dewasa yang terlihat sukses berpidato sebagai penerima hadiah Noble.
Belum lagi di akhir cerita ketika Jake tua dalam keadaan bugil dipandu babi berbentuk animasi berjalan menuju sekolah. Rangkaiannya cukup membingungkan untuk disulam menjadi kesatuan makna yang utuh.
Bagi saya pribadi, tak ada pilihan selain mengetahui penjelasan naratif novel Reid untuk sedikitnya keluar dari kekacauan pikiran di film itu.
Dalam novel Reid, pria tua itu digambarkan sebagai sosok kesepian tanpa pasangan hidup. Dia diceritakan pernah menjadi seorang mahasiswa biokimia yang amat menonjol dan melakukan penelitian akademik.
Pria itu kemudian gagal dalam kariernya karena gangguan psikologis. Ambisinya untuk mendapat hadiah Noble dan beristri pasangan yang pintar nan cantik, berakhir di sebuah sekolah sebagai tukang bersih-bersih.
Karakter Lucy dalam film itu pun merupakan proyeksi dari ingatan kelam Jake belasan tahun silam pernah menyukai seorang wanita di sebuah kafe tapi tak diacuhkan. Sementara karakter kedua orang tuanya yang segan dan takut, adalah imajinasi ideal Jake yang kerap mendapat kekerasan dalam rumah tangga.
Dalam novel itu, Jake tua kemudian dikisahkan mengakhiri hidupnya. Akhir tragis ini coba diterjemahkan Kaufman dengan adegan tarian Jake muda tewas ditikam Jake tua saat mencoba merebut kembali kekasihnya.
Melihat karya-karya Kaufman sebelumnya, tentu tak heran sejumlah filmnya sarat daya khayal tinggi dan 'njlimet'. Sarat pula kejutan plot twist dan alur cerita tak biasa dalam film-filmnya. Sebut saja Eternal Sunshine of the Spotless Mind, Anomalisa, Being John Malkovich, dan Synecdoche New York.
Khusus I'm Thinking of Ending Things, tak jarang situasi ketegangan layaknya film-film horor. Namun, itu rupanya hanya jebakan-jebakan karena tak terjadi apa-apa. Padahal, penonton telanjur tergiring ke dalam nuansa horor.
Sebut saja ketika Lucy mengotot masuk ke dalam ruang bawah tanah yang sempat dilarang keras Jake. Dia kemudian hanya menemukan baju-baju seragam petugas kebersihan di dalam mesin cuci.
Anehnya, Kaufman merasa tidak terlalu peduli berupaya memberi 'guncangan pikiran' kepada para penonton di film-filmnya.
"Saya tidak tertarik dengan [plot] twist di film. Saya juga tidak terlalu tertarik menjaga suspense [ketegangan dalam film]. Bagi saya itu upaya yang terlalu bodoh."
"Saya hanya mencoba menyusun ulang dalam pikiran saya sebagai eksplorasi karakter dari sebuah hubungan dengan ide-ide tentang ingatan, keinginan, kesepian, dan isolasi sebagai sesuatu yang menggerakkan Anda melalui cerita," kata Kaufman dikutip dari LATimes.
Kaufman pun pernah menyebut, karyanya merupakan film horor psikologis. "Ini bukan genre film. Ini tentang kengerian berbagai elemen psikis manusia, kehidupan manusia itu sendiri," ujarnya.
Kaufman juga tidak mau terlalu menggiring imajinasi penonton pada sebuah gagasan yang dia paksakan dari awal sampai akhir filmnya. Sebaliknya, dia ingin membiarkan penonton membebaskan setiap pikiran, khayalan, bahkan pengalaman batin unik di filmnya.
Bagi saya menonton I'm Thinking of Ending Things sempat membuat saya terjebak dalam situasi gamang: terus meladeni rasa penasaran saya, atau menyudahinya karena terlalu berat.
(bac/end)