Nasib Legasi Kho Ping Hoo di Era Internet

Naely Himami | CNN Indonesia
Minggu, 28 Mar 2021 15:43 WIB
Tak banyak permintaan Kho Ping Hoo di penghujung usianya sebelum meninggal pada 22 Juli 1994.
Ilustrasi buku cersil Kho Ping Hoo. (iStockphoto/simarik)
Jakarta, CNN Indonesia --

Tak banyak permintaan Kho Ping Hoo di penghujung usianya sebelum meninggal pada 22 Juli 1994. Pada saat itu, penulis peranakan asal Sragen ini hanya menginginkan karyanya bisa dibaca oleh siapapun, tanpa pandang bulu.

"Dia berharap semua orang baca tulisannya. Enggak cuma orang yang bisa beli buku," kata putri keempat Kho Ping Hoo, Tina Asmaraman, kala bercerita kepada CNNIndonesia.com.

Leo Suryadinata, peneliti cerita silat (cersil) dan pernah berkorespondensi dengan Kho Ping Hoo mencatat setidaknya ada 118 cerita silat yang telah ditulis oleh Asmaraman, belum termasuk dengan 30 novel di luar silat.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Itu baru dari segi judul. Leo dalam Cerita Silat Tionghoa di Indonesia: Ulasan Ringkas (Sastra Peranakan Tionghoa Indonesia, 1994) menulis, setiap terbitan cersil Kho Ping Hoo bisa mencapai 10-15 ribu jilid dan dalam sebulan terjual habis di masa kejayaannya.

"Menurut perkiraan Kho Ping Hoo, di seluruh pelosok Indonesia ada banyak tempat menyewakan buku-buku silat, terutama karya Kho Ping Hoo. Bila setiap jilid dibaca oleh 25 orang, maka setiap edisinya kira-kira ada 1,6 juta pembaca," tulis Leo dalam esainya, mengutip informasi dari Kho Ping Hoo kepadanya.

Tina tidak menyangka bahwa berpuluh tahun kemudian, cerita-cerita silat Kho Ping Hoo bisa bertebaran di dunia maya. Semenjak ada internet, Tina menemukan banyak tautan yang membahas atau membagikan cerita silat Kho Ping Hoo secara bebas.

Buku silat  Kho Ping Hoo, Jakarta, 24 Maret 2021. (CNN Indonesia/ Adhi Wicaksono)Leo Suryadinata, peneliti cerita silat dan pernah berkorespondensi dengan Kho Ping Hoo mencatat setidaknya ada 118 cerita silat yang telah ditulis. (CNN Indonesia/ Adhi Wicaksono)

Internet adalah media yang mewujudkan doa Kho Ping Hoo menjadi nyata: tulisannya dibaca lintas generasi dan oleh siapa pun, tanpa harus membeli atau mencari bukunya yang kini terbilang sulit ditemukan di toko buku umum.

"Papa pesannya semua orang bisa baca tulisannya, yang enggak mampu, enggak tahu beli atau menyewa, pokoknya bisa baca. Semua rakyat bisa baca tulisan dia," kata Tina.

Bukan hanya itu. Keistimewaan cerita Kho Ping Hoo juga banyak menginspirasi orang lain untuk membuat karya berdasarkan karyanya.EnsiklopediaKemendikbud menyebut beberapa cersilKho Ping Hoo pernah diangkat ke pentas ketoprak berjudul Siswo Budoyo pimpinan Cokrojiyo.

RRI Yogyakarta dahulu juga sering menyiarkan sandiwara radio dari kisah-kisah Kho Ping Hoo. Tak sampai di situ, beberapa juga sudah pernah dibuat dalam versi film yaitu Dendam si Anak Haram, Darah Daging, dan Buaian Asmara (dalam film judulnya diganti menjadi Cintaku Tergadai).

Termasuk dua judul lain yakni Badai Laut Selatan (1991) dan Perawan Lembah Wilis (1993) yang diangkat sebagai cerita sinetron di saluran Televisi Pendidikan Indonesia (TPI).

Sejumlah penulis naskah serial televisi lainnya juga pernah mengaku kepada keluarga Kho Ping Hoo bahwa mereka mengadaptasi gaya silat dan cerita karya penulis legendaris itu ke sebuah serial yang tayang hit di televisi beberapa tahun lalu.

Pihak keluarga yang menyadari akan hal itu sempat menegur sang penulis skenario. Merasa bersalah, si penulis konon berniat memberikan honornya sebagai pembayaran royalti. Namun keluarga menolak. Alasannya, mereka berkaca pada tindakan ayah mereka yang selalu menolong tanpa berharap pamrih.

Kho Ping HooTak banyak permintaan Kho Ping Hoo di penghujung usianya sebelum meninggal pada 22 Juli 1994. (Arsip Pribadi)

Sementara itu, seiring dengan perkembangan teknologi, karya Kho Ping Hoo itu juga menghadapi masalah lain: pembajakan. Pihak keluarga pun sejatinya masih berdebat terkait keberadaan karya-karya bajakan dari Kho Ping Hoo.

Pihak keluarga memang sudah mematenkan karya dari sang maestro. Apalagi, cersil-cersil yang diterbitkan di bawah CV Gema yang dibangun Kho Ping Hoo pada 1964 masih tetap mencetak dan menjual bukunya secara daring di laman mereka.

Namun wasiat Kho Ping Hoo yang memang ingin ceritanya tersebar luas serta perangainya yang dikenal sedari dulu kerap memberi dan membantu orang lain membuat keluarga tak ingin terlalu merumitkan masalah hak cipta ini.

Meski begitu, Tina memastikan banyak cerita Kho Ping Hoo masih dihargai secara layak. Pihak-pihak yang ingin menggunakan karya ayah mereka pun masih memberikan royalti kepada keluarga.

"Papa walau sudah enggak ada masih meninggalkan rezeki buat anak-anaknya," kata Tina. Itulah bentuk cinta kasih dari Kho Ping Hoo.

"Langit, Bulan dan Lautan kalian mempunyai Cinta kasih namun tak pernah bicara tentang Cinta kasih! Kasihanilah manusia yang miskin dan haus akan Cinta Kasih, bertanya-tanya apakah Cinta Kasih itu?"

"Bilamana tidak ada ikatan tidak ada pamrih dan rasa takut tidak memiliki atau dimiliki tidak menuntut dan tidak merasa memberi. Tidak menguasai atau dikuasai tidak ada cemburu, iri hati tidak ada dendam dan amarah tidak ada benci dan ambisi. Bilamana tidak ada iba diri tidak mementingkan diri pribadi, bilamana tidak ada "Aku" barulah ada Cinta Kasih........" (Bu Kek Siansu oleh Kho Ping Hoo, 1973)

(end/bac)


[Gambas:Video CNN]
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER