Guru Besar Antropologi Budaya Universitas Gadjah Mada Heddy Shri Ahimsa-Putra menilai, selain dari mitologi, pemilihan burung Garuda sebagai lambang negara juga tak bisa dilepaskan dari kebudayaan Jawa, khususnya priyai, kelas sosial dalam golongan bangsawan.
Hal tersebut terlihat dari lima hal yang diyakini menyempurnakan pria Jawa, yakni wismo (rumah), wanito (istri), turonggo (kuda), kukilo (burung), dan curigo (senjata).
Terpisah, pusat pemerintahan Hindia Belanda dan tokoh pergerakan nasional kala itu juga berkecimpung di Jawa.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Dalam orang Jawa, salah satu harta yang ideal itu kan kukilo. Kan ada wismo, wanito, turonggo, kukilo, dan curigo. Salah satunya itu burung. Karena dalam dunia orang Jawa itu penting. Saya kira kita tidak bisa lepas dari konteks itu," kata Heddy pada CNNIndonesia.com.
"Jadi kenapa burung Garuda? Karena itu jelas sekali dalam konteks Ramayana dan masyarakat secara tradisional menyukai burung, kelas priyai salah satu simbol statusnya kan burung."
Berdasarkan kedua hal itu lah ia meyakini para Panitia Lencana Negara sepakat mengadopsi nilai-nilai Garuda menjadi lambang negara.
"Kalau melihat konteks Indonesia saat itu ya sangat pas. Indonesia sedang berjuang melawan penjajah. Saat itu penjajah kan orang dari luar, dalam konteks tertentu Belanda disebut seperti raksasa, itu seperti Rahwana. Makanya itu dinilai cocok," kata Heddy.
Pemakaian Garuda Pancasila sebagai lambang negara pertama kali secara resmi dalam Sidang Kabinet Republik Indonesia Serikat pada 11 Februari 1950.
Bentuknya pun seperti yang dikenal saat ini yakni kepala menoleh ke kanan, simbol-simbol Pancasila di badannya, serta semboyan Bhinneka Tunggal Ika tertulis di atas pita yang dicengkeram kaki Garuda.
Burung Garuda memiliki 17 helai di sayap, 8 helai bulu ekor, 19 helai bulu pangkal ekor, dan 45 helai bulu leher yang melambangkan kemerdekaan Indonesia yakni 17-08-1945.