Setelah beberapa tahun tidak merilis karya, Silampukau kembali dengan Dendang Sangsi. Sebuah lagu bergenre dangdut yang merangkum kekalutan di Bumi dalam beberapa bulan terakhir.
Tentu bukan hanya pagebluk virus corona yang menyusahkan banyak orang. Tetapi juga sejumlah kejadian menakjubkan di negara lain yang menjadi perhatian Silampukau, salah satunya kudeta Myanmar.
Lewat Dendang Sangsi band asal Surabaya ini menangkap satu isu dalam berbagai kejadian tersebut lewat Dendang, yakni distrust alias ketidakpercayaan. Titik beratnya pada ketidakpercayaan masyarakat terhadap pengelola negara.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Silampukau merasa bahwa dangdut adalah salah satu lagu yang menjadi medium untuk bertahan hidup bagi orang banyak. Masalah seakan selesai ketika dangdut menghentak yang diiringi jogetan sesuai ketukan kendang.
Memang tidak akan menyelesaikan masalah dan bukan melupakan masalah, tetapi setidaknya untuk meringankan kecemasan. Sekadar berbahagia sejenak.
"Jadi, bagi kami, jika ada lagu yang akan bercerita tentang tema ini, lagu itu haruslah lagu dangdut," pernyataan Silampukau kepada CNNIndonesia.com melalui email akhir pekan lalu.
Mereka melanjutkan, "Tapi sebetulnya tidak ada alasan khusus, kami sekadar suka bermain-main dengan estetika dangdut, seperti banyak orang lainnya."
Dendang Sangsi sebenarnya tidak murni dangdut meski diiringi gendang dan suling yang identik dengan genre itu. Ada elemen lain seperti musik Latin dari lick gitar akustik, dan musik tradisional Jawa dari kocokan ukulele. Bahkan ada pula elemen musik Timur Tengah.
"Sebetulnya, jika ada elemen yang kami hindari dalam lagu ini, itu justru adalah keroncong. Ritme kocokan kentrung malah mencoba untuk jaranan di bagian tertentu, dan jaipongan di bagian lain," kata Silampukau.
Dendang Sangsi hanyalah pembuka dari karya-karya Silampukau yang akan datang. Selama pandemi duo melayu ini kerap bekerja di studio untuk menyelesaikan album terbaru.
(adp/bac)