Jakarta, CNN Indonesia --
Salah satu rangkaian film yang jadi langganan tayang di TV kala menyambut peringatan hari kemerdekaan RI adalah Merah Putih (2009), Darah Garuda (2010), dan Hati Merdeka (2011).
Lukman Sardi merupakan pemain sekaligus saksi produksi trilogi film tersebut. Banyak cerita dibaliknya, sehingga membuat ketiganya masih sering diputar ulang.
Kepada CNNIndonesia.com, Lukman Sardi berbagi kisah dan pandangan terkait film berlatar sejarah kemerdekaan RI.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Apa yang jadi pembeda produksi film berlatar sejarah dan lainnya?
Nah kalau kita ngomong film berlatar belakang sejarah kan kalau kita ngomong sejarah berarti kan ada sesuatu yang sifatnya berdasarkan atau terinspirasi dari kisah nyata gitu ya.
Merah Putih itu kan ya based on dari ada kisah nyata tapi terus didramatisasi, dibuat karakter-karakter baru gimana pun juga tapi perlu research tentunya.
Kalau kita ngomong sejarah misalnya Merah Putih itu kan let say Indonesia di zaman kemerdekaan gitu kan pada saat itu kan tentu sangat berbeda ya dengan saat sekarang gitu dan bagaimanapun juga para aktor ini, kita harus melakukan riset tentang sejarah di masa itu.
Film sejarah tentunya harus lebih detail karena gimana pun juga sejarah ini kan sebuah yang tercatat ya sebuah yang tertulis gitu, kalau misalnya ada yang missed tentunya akan menjadi kurang bijak ya untuk film itu sendiri itu sih.
Bagaimana proses produksi saat itu? Ada latihan fisik?
Ini kan bicara tentang sejarah yang berhubungan dengan pergerakan atau berhubungan dengan perjuangan yang memakai perang lah istilahnya. Ini kisah tentang sekelompok rakyat Indonesia yang berjuang bersama memakai senjata untuk melawan penjajah ya otomatis kan kita harus terbiasa dengan hal seperti itu
Di sehari-hari kan kita tentu bukan orang yang berhubungan dengan militer jadi aktor-aktor ini kan memang murni aktor yang tidak paham bagaimana sih pakai senjata? Bagaimana sih suara ledakan yang aslinya dan segala macam. Nah, waktu itu kami ada dua minggu ditaruh di bootcamp sih dua minggu di boot camp di Bogor itu di Paspampres grup C.
Tiap hari itu kami ada latihan menembak dari segala macam senjata itu. Dari awalnya kita latihan itu kuping tuh sampai kayak berasa budek ya karena kan nggak biasa juga dengar suara senjata di kiri kanan budek. Benar-benar budek yang kayak: "aduh ngeri nih kebayang aduh kuping kita bisa balik dengar normal enggak ya?"
Kita selalu berpikir bahwa orang kadang-kadang berpikir untuk menjadi aktor itu simpel gitu ya. Tapi kadang-kadang mereka nggak tahu nih, proses yang kita hadapi itu sampai seperti itu dan tiap film itu beda-beda kalau film perang otomatis kita harus workshop reading seperti latihan perang, hal-hal itu yang memang kita harus menjalaninya sebagai aktor, gitu sih sebenarnya.
Simak lanjutan wawancara di halaman berikutnya..
Sempat ada tekanan?
Hari-hari pertama pasti tertekan lah ya. Kita kaget lah maksudnya tiba-tiba begitu datang langsung disuruh jalan jongkok gitu dan mayan jauh lewat aspal segala macem jadi kan mereka konsepnya gimanapun caranya mental kita dibikin jatuh banget dibikin jadi nol.
Dari situ, dibangun pelan-pelan kan karena kalau mentalnya dibikin jatoh banget, akhirnya ngebangunnya akan lebih gampang tapi buat aku sendiri malah aku ngerasa setelah beberapa hari itu ngerasa ini kalau aku bukan as an actor, cuma orang biasa nih.
Belum tentu aku bisa ngalamin hal seperti ini, dan akhirnya aku lebih menghargai pekerjaan aku as an actor gitu maksud aku kerjaan aku as an actor itu perlu effort, perlu tanggung jawab, komitmen, disiplin.
Tiga film memerankan Amir di Trilogi Merdeka, mana bagian yang berkesan?
Menurut aku prosesnya luar biasa itu adegan di mana aku sama Rifnu kalau nggak salah itu di bagian ke-3.
Rifnu itu habis yang film kedua kan dia dipotong lidahnya udah gak bisa ngomong nah Amir pada saat itu mau ditugaskan kembali tapi Amir punya prinsip kan dia nggak mau ngebunuh maunya itu ya udah kita udah bukan waktunya untuk perang ngebunuh.
Rifnu itu kan nggak bisa ngomong ya tapi akhirnya kita pakai bahasa isyarat aku cuma menyentuh mulut menyentuh kepala dan menyentuh hati dan tapi itu jadi scene yang ternyata sangat powerfull banget.
Pada saat itu juga kayak kru dan segala macem mereka sampa bener-bener diam gitu sampai ada yang nangis juga gitu momentnya jadi luar biasa banget sih di scene itu.
[Gambas:Youtube]
Jika ada tawaran lagi untuk film berlatar sejarah, tertarik?
Oh iya lah. Seperti tadi aku bilang bawa buat aku cerita sejarah atau film-film itu selalu menarik karena kita bicara tentang sejarah dalam arti bukan hanya ngomong sejarahnya, tapi orang-orang secara personal yang yang melakukan sejarah itu sendiri.
Film berlatar sejarah sering diputar ulang di TV, bagaimana Anda melihatnya?
Aku tuh merasa bahwa Merah Putih film yang akhirnya ada setelah sekian lama kita nggak produksi film seperti itu. Kita pernah punya Janur Kuning, kita pernah punya Serangan Fajar tapi habis itu nggak pernah ada film Indonesia yang seperti itu sampai muncullah film Merah Putih ini.
Seneng bangga juga gitu seneng terlibat di Merah Putih bangga gitu karena sampai sekarang setiap 17 Agustus Trilogi itu selalu diputar dan satu lagi itu berkat juga film sejarah itu kan bisa menjadi bukan hanya sekadar hiburan tapi juga bisa mengingatkan orang-orang di momen-momen tertentu pada saat momen-momen sejarah di sebuah bangsa kayak tadi proklamasi di film Soekarno, terus Merah Putih juga, Sang Pencerah, atau apa kan selalu diputar di saat kemerdekaan, itu menjadi alat untuk kembali mengingatkan perjuangan para pahlawan kita kita.
Komentar Anda tentang tren film berlatar sejarah di Indonesia?
Film sejarah itu memerlukan kecermatan gitu memerlukan hal-hal yang detail karena kita ngomongin sesuatu yang sifatnya pernah terjadi sehingga kalau sampai salah nanti sejarah itu akan jadi salah juga gitu kan nah ini kan yang perlu riset yang cukup panjang gitu.
Problemnya kita seperti di Indonesia itu beda sama mungkin di Eropa atau di mana bangunan-bangunan tuanya tuh masih dilestarikan, kalau di sini dikit-dikit dihancurkan dijadikan mal, itu loh problemnya. Jadi begitu kita mau bikin film sejarah susah mencari hal-hal yang seperti itu.