Kemewahan film Tjoet Nja' Dhien (1988) dapat dirasakan dari restorasi film ini oleh Eye Film Museum Amsterdam dan IdFilmCenter Foundation Jakarta. Kualitas audio dan visual yang lebih jernih menunjukkan begitu kolosalnya Perang Aceh (1873-1904). Sehari pada 17 Agustus 2021, Mola menayangkannya secara gratis untuk memperingati HUT Kemerdekaan Indonesia.
Film ini bercerita mengenai perang Aceh dengan mengikuti sosok pemimpinnya, Tjoet Nja' Dhien. Ia selalu berada di sisi sang suami, Teuku Umar, sejak awal Perang Aceh periode ketiga (1881-1896) berkecamuk. Usau Teuku Umar tewas dalam sebuah serbuan mendadak di Meulaboh, Tjoet Nja' pun mengambil alih peran memimpin pasukan.
Perang berpindah, dari kota ke kampung, hingga akhirnya gerilya di hutan. Gempuran Belanda dan pengkhianatan perjalanan perang ini akhirnya menyudutkan pasukan Tjoet Nja' di hutan, memberi hanya sedikit sekali pilihan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
Tjoet Nja' yang diperankan oleh Christine Hakim, tampil sebagai perempuan pemimpin yang kuat dan tegas saat menggantikan Teuku Umar, yang diperankan oleh Slamet Raharjo. Akting aktris senior Christine menangkap kuasa, amarah, hingga kesedihan Tjoet Nja' dengan apik.
Dukungan aktor lain seperti Pietrajaya Burnama sebagai Pang Laot, panglima di samping Tjoet Nja' juga cukup epik. Dia selalu memprioritaskan keselamat sang pemimpin, termasuk ketika dirinya melakukan pengkhianatan terhadap Tjoet Nja', Pang Laot tetap ingin Tjoet Nja' selamat dan mendapat perawatan atas sakitnya.
Di tengah perang gerilya yang dijalani, Tjoet Nja' sakit-sakitan. Saat ditangkap, dia menderita rabun mata dan encok sehingga harus ditandu. Kebebasannya terenggut, tapi tidak dengan hati Tjoet Nja'
Kemampuan Eros Djarot selaku sutradara dalam film ini sangat mumpuni. Dia menangkap detail dari setiap perjalanan Perang Aceh dengan begitu cermat, salah satunya lewat penggambaran penangkapan Tjoet Nja' saat hujan deras, yang ternyata sesuai dengan catatan dokumentasi milik Belanda.
![]() |
Selain itu, audio dan visual jernih hasil restorasi semakin meneguhkan bahwa di setiap bagian film ini digarap serius dengan mempertimbangkan dokumentasi.
Sebut saja pada adegan pembantaian di Kuto Reh di Gayo pada 1904, persis dengan dokumentasi foto Belanda, memperlihatkan tentara marsose berpose di atas hamparan mayat penduduk yang usai dibantainya.
Yang tak dapat disangkal selanjutnya adalah akting Rudy Wowor yang cukup memukau sebagai Veltman, seorang perwira Belanda. Dia bisa menggambarkan perubahan siasat Belanda menjalani Perang Aceh ini.
Tak ayal jika Tjoet Nja' Dhien berhasil menyabet delapan Piala Citra pada Festival Film Indonesia 1988 dan menjadi film Indonesia pertama yang diputar di Festival Film Cannes pada 1989.
Faktanya, produksi film ini menghabiskan dana Rp1,5 miliar, angka fantastis pada masa itu. Belum lagi tingkat kesulitan yang tinggi karena pada saat pembuatan film, Aceh tengah dalam status Daerah Operasi Militer.
Christine Hakim pun mengungkapkan rasa syukur karena akhirnya film Tjoet Nja' Dhien dapat ditonton masyarakat bertepatan dengan Hari Kemerdekaan Indonesia yang ke-76 tahun.
"Semoga kehadiran film Tjoet Nja' Dhien di Mola bisa menjadi inspirasi, motivasi dan menambah kekuatan serta semangat di tengah ujian menghadapi pandemi," ucap Christine.
(rea)