Olah Ego Hadapi Kritik, Bekal Sineas Lahirkan Karya

CNN Indonesia
Minggu, 29 Agu 2021 09:45 WIB
Menjadi pilihan bagi filmmaker, melibatkan kritik untuk bekal ia berkarya atau sekadar mengabaikannya saja.
Piala Citra, salah satu parameter keberhasilan film di Indonesia (Foto: Dok. Panitia Festival Film Indonesia)
Jakarta, CNN Indonesia --

Film komersil tentu saja akan sendirinya menjadi entitas wacana di ruang publik. Penonton akan memaknai, menilai, bahkan mengutarakan tanggapan pada film yang ditonton.

Sebagian dari mereka memilih tampil, memaparkan interpretasi dan penilaiannya dalam sebuah karya tekstual bernama review film.

Ada yang netral, ada yang penuh puja-puji, dan tentu saja ada yang 'pedas'. Menjadi pilihan bagi sineas untuk melibatkan wacana alternatif tersebut dalam gayanya berkarya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kiritikus film Eric Sasono menyebut, baiknya filmmaker atau sineas mengabaikan timbal balik yang diterima atas karyanya, baik itu pujian maupun kritikan. Konteksnya, dalam berkarya.

"Tapi menurut saya filmmaker harus belajar untuk hal itu (pujian dan kritik) atau mengabaikannya sama sekali. Abaikan saja." tutur Eric pada CNNIndonesia.com, baru-baru ini.

Eric menilai bahwasanya menjadi hal baik bagi filmmaker untuk punya kecenderungan berpikir tentang diri, atau ego. Kreativitas dinilai bisa timbul dari ego.

"Mana ada filmmaker yang egonya kecil? Salah satu syarat untuk menjadi filmmaker kan egonya harus besar karena mereka bekerja dengan orang kreatif semua, pada pintar-pintar, pandangan artistik yang relatif baku," tutur Eric.

"Kalau sutradara egonya kecil, kalah nanti sama krunya." lanjut Eric, yang pernah dua kali meraih Piala Citra untuk kritik film.

Mengendalikan titik keseimbangan ego dipilih oleh salah satu sutradara Indonesia, Andibachtiar Yusuf. Dalam berkarya, ia mengatakan selalu terfokus pada apa yang ia mau, ia pikirkan.

"Enggak juga sih," jawab Andibachtiar Yusuf pada CNNIndonesia.com, di lain kesempatan ketika ditanya soal pengaruh kritik pada gaya berkarya.

"Soalnya secara umum gue kalau bikin [film] tuh ya bikin saja. Struktur dan apa yang mau gue ceritakan saja [jadi hal] yang penting. Logika-logika, dan lain sebagainya." lanjut pria yang kerap disapa Ucup ini.

Dengan cara memandang kritik seperti itu, Ucup telah melahirkan sejumlah karya film antara lain Romeo & Juliet (2009), Love For Sale (2018), Love For Sale 2 (2019), Hari Ini Pasti Menang (2013), Pariban: Idola dari Tanah Jawa (2019), Bridezilla (2019), dan lainnya.

Meski tidak cukup berpengaruh terhadap proses penggalian ide film, review dan kritik film disebut Ucup membuat dirinya sadar pada apa yang tengah ia jalani sebagai sineas.



"Review yang baik bisa membuat gue sadar apa yang sebenarnya gue sedang buat." ujarnya.

"Sering ternyata reviewer menangkap lebih banyak hal daripada gue dan membuat gue merasa 'Oh ternyata bisa ya gue beginiin nih', 'Oh ternyata gini ya yang orang rasakan soal cerita ini', dan seterusnya"

Di industri film, keberadaan filmmaker dan reviewer atau kritikus bak hubungan timbal balik. Argumen dari kedua pihak tak ayal jadi wacana, dan mesin penggerak industri.

(chri/fjr)


[Gambas:Video CNN]
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER