Penyelenggaraan Jazz Gunung 2021 tampak bisa menjadi contoh bagi pergelaran musik lain di tengah pandemi. Tentu dengan menyesuaikan lokasi serta kondisi karena setiap pergelaran musik bisa berbeda.
Namun, sebenarnya tantangan menggelar acara musik di tengah pandemi tidak selesai sampai mendapat izin pemerintah, menjaga prokes, dan tidak ada kasus positif sampai akhir konser.
Tantangan lain yang tidak kalah sulit adalah bisnis. Penyelenggara wajib putar otak agar bisa mendapat keuntungan dari pergelaran musik. Keuntungan akan sulit didapat karena jumlah penonton yang menjadi sumber pemasukan berkurang drastis.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sigit sendiri tidak segan mengaku kalau Jazz Gunung Bromo 2021 sama sekali tidak untung. Ia memutuskan tetap menyelenggarakan acara ini karena merasa perlu dan mendapat dukungan sponsor yang setia.
Ketua Asosiasi Promotor Indonesia (APMI) Dino Hamid juga sadar sekali akan potensi kerugian dari menggelar acara musik di tengah pandemi. Tidak pandemi saja bisa rugi, apalagi saat pandemi.
"Acara musik itu memang sangat berisiko rugi, walau banyak juga yang untung. Kalau promotor menggelar konser terus penonton sedikit, kelar sudah. Kita harus cari cara supaya bisa untung di tengah pandemi," kata Dino.
Dino yang memimpin Berlian Entertainment sudah melakukan eksperimen dengan menggelar konser drive-in pada Agustus 2020 lalu. Ia menampilkan Kahitna, Afgan Syahreza, dan Armand Maulana.
Meski digelar secara langsung, konser itu bisa disaksikan secara online dengan harga tiket yang lebih murah. Dengan begitu promotor juga mendapatkan uang dari penonton online, bukan hanya penonton di lokasi yang menyaksikan secara langsung.
"Alhamdulillah (untung). Itu karena kerjasama dengan banyak pihak untuk berbagi risiko, tetapi untung juga bagi-bagi. Sekarang di era pandemi gini (promotor) sudah enggak egois. Saya share ke teman-teman apa yang berlian lakukan," kata Dino.
Atas eksperimen itu Dino merasa bahwa konsep konser hibrida bisa menjadi solusi pertunjukan musik selama pandemi. Promotor bisa untung, musisi kembali mendapat pekerjaan. Solusi saling menguntungkan.
Walau sebenarnya belum diketahui pasti sampai kapan konsep hibrida itu bisa bertahan. Pasalnya, yang dijual dari konser musik bukan sekadar penampilan musisi, tetapi juga pengalaman.
![]() |
Menonton konser drive-in memang merupakan pengalaman unik, tetapi rasanya ini hanya momentum sementara yang akan segera berlalu. Pada akhirnya pecinta musik tetap ingin menonton konser secara langsung.
Dino menyadari itu. Ia bersama APMI berusaha menjawab hal tersebut dengan menggelar acara musik percontohan yang masih dalam tahap rencana. Acara musik itu dijadwalkan terselenggara di Jakarta.
"Mudah-mudahan pemerintah memberikan kita kepercayaan, kalau percontohan ini sukses ke depan akan lebih enak. Jazz Gunung Bromo juga sukses tapi kurang mendapat eksposur," kata Dino.
Dino beranggapan ada tiga hal yang dibutuhkan untuk membuat semua itu berhasil: inovasi, adaptasi, kolaborasi. Inovasi dalam arti promotor harus melakukan terobosan dan adaptasi dalam arti beradaptasi di tengah pandemi.
"Kolaborasi ini semua, promotor, penampil, pemerintah, juga penonton. Kita semua harus komitmen untuk menjaga protokol kesehatan agar industri pertunjukan, bukan hanya musik ya, bisa kembali lagi," katanya, serupa dengan penjelasan Miko.
(adp/end)