Komisioner Komnas Perempuan Mariana menilai perlu adanya kode etik profesi seniman demi mencegah pelecehan seksual di lokasi syuting terjadi di masa mendatang.
Hal itu dinilai memerlukan partisipasi aktif dari produser selaku penyuplai dana serta pemegang kepentingan dalam produksi film tersebut.
"Seharusnya itu ada pengawasan, sama dengan misalnya kode etik dalam seni atau banyak karya di mana orang tidak boleh plagiat misalnya dan lain sebagainya," kata Mariana.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jadi bukan cuma urusan sensor dan lainnya yang justru sebenarnya mengekang kebebasan ekspresi. Tapi yang penting adalah kode etik profesionalisme mereka sebagai pekerja film."
Ia juga menekankan pentingnya kesadaran profesionalisme di lokasi syuting. Hubungan yang terjalin di lokasi syuting merupakan profesionalitas kerja, bukan pribadi terlebih jika tanpa persetujuan.
Senada, Satrio juga menekankan setiap pelaku industri film Indonesia seharusnya bisa selalu menjunjung tinggi etika dan fokus berkarya.
"Jangan kotori ruang kita berkarya yang menurutku sangat sakral dengan tindakan pidana, baik itu pelecehan seksual maupun lainnya," ujar Satrio.
Sebelumnya, Sutradara Gina S Noer mengusulkan industri perfilman membentuk dewan etik terkait pelecehan seksual di lokasi syuting. Usulan itu disampaikan menyikapi kasus kru film Penyalin Cahaya yang diduga terlibat pelecehan seksual.
"Semoga setelah kejadian memilukan ini, industri film bisa bersama membentuk dewan etik," kata Gina S Noer dalam kicauan di media sosial, Selasa (11/1), yang diizinkan untuk dikutip CNNIndonesia.com, Rabu (12/1).
"Jelas: standar kerja, jalur pengaduan dari skala pembuatan film hingga industri, juga pendampingan hukum & psikologis untuk korban, termasuk pemulihan nama bila tersangka ternyata tak bersalah," lanjutnya.
(fby/chri)