Jakarta, CNN Indonesia --
Film dokumenter dikenal luas memiliki pasar yang tak sebesar film-film fiksi apalagi blockbuster macam film superhero. Namun sejumlah sineas masih memilih film dokumenter untuk mewujudkan visi kreatif mereka.
Ada banyak alasan mengapa seorang sineas bisa memilih jenis film yang pasarnya kecil dan dianggap "berat" tersebut. Menurut akademisi film Institut Kesenian Jakarta, Satrio Pamungkas, intuisi adalah jawaban utamanya.
"Kalau menurut pandangan saya itu intuisi sih. Jadi intuisi dari si kreator dan intuisi itu peka terhadap sebuah kondisi sosial yang terjadi," kata Satrio saat berbincang dengan CNNIndonesia.com, beberapa waktu lalu. "Itu berarti kepekaan dari si kreator melihat sudut pandang lain terhadap keadaan itu semua, baik budaya, sosial, politik, alam,"
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Uniknya dokumenter adalah sudut pandang. Itu yang membuat sebuah dokumenter menjadi lebih berkualitas atau tidak, itu dari sudut pandang si kreator atau filmmaker," kata Satrio.
Satrio menyebut, sudut pandang dari sineas penggarap inilah yang membuat sebuah karya dokumenter memiliki ciri khasnya sendiri. Masing-masing sudut pandang dan karakter sineas membuat film dokumenter memiliki keberagaman yang tinggi.
Apalagi, tujuan utama dokumenter dijabarkan Satrio adalah memberikan sebuah sudut pandang lain dari pandangan umum atas suatu hal.
"Dokumenter itu menawarkan cara pandang lain dan membuka cara berpikir lain dari cara pandang umum. Kalau dokumenter memperlihatkan sebuah cara pandang yang sama dengan umum, itu tidak akan menjadi sebuah dokumenter yang menarik," kata Satrio.
Secara khusus, sejumlah sineas memiliki kisahnya masing-masing saat memutuskan membuat film dokumenter. Berikut kisah mereka saat disambangi CNNIndonesia.com dalam kesempatan berbeda-beda.
 Amelia Hapsari pernah membuat sejumlah film dokumenter sebelum dirinya diajukan oleh komunitas sineas dokumenter Asia Tenggara untuk menjadi anggota the Academy of Motion Pictures Arts and Sciences (AMPAS). (Dok.Pribadi) |
Amelia Hapsari
Juri Academy Awards dan Sutradara Fight Like Ahok (2012)
Amelia Hapsari pernah membuat sejumlah film dokumenter sebelum dirinya diajukan oleh komunitas sineas dokumenter Asia Tenggara untuk menjadi anggota the Academy of Motion Pictures Arts and Sciences (AMPAS).
Beberapa di antara karya Amelia adalah Fight Like Ahok (2012) dan Rising from Silence (2016).
Amelia mengaku bahwa semula ia tertarik dengan film dokumenter adalah pada masa reformasi. Ia sadar bahwa ada banyak cerita yang disampaikan ke publik sudah direkayasa sedemikian rupa.
Hingga ketika dirinya terjun sendiri menggarap film dokumenter, nyatanya ada beberapa hal yang mendasari keputusan Amelia Hapsari menggarap dokumenter.
"Mungkin ada dua hal, satu karena kepepet," kata Amelia Hapsari.
"Kepepet" yang dimaksud olehnya adalah semasa dirinya aktif menggarap dokumenter adalah ia tak memiliki banyak akses dan kolega untuk mengerjakan hal tersebut, karena ia berkuliah di luar negeri dan kerap berpindah antar negara.
"Jadi yang bisa dilakukan kalau [situasinya] agak sendirian itu [ya] film dokumenter, jadi itu [maksudnya] segi kepepet," kata Amelia.
"Medium yang tidak harus krunya banyak, memungkinkan bisa eksplor suatu isu meskipun cuma satu atau dua orang saja, itu sisi kepepetnya," lanjutnya.
"Sisi lainnya, ya ternyata saya suka. Saya suka melihat hal-hal yang tidak banyak terekspos, ternyata saya menemukan kegembiraan ketika menyelami kehidupan-kehidupan yang dulunya tidak saya ketahui," kata Amelia Hapsari.
[Gambas:Youtube]
Jay Subyakto
Penulis dan Sutradara Banda the Dark Forgotten Trail (2017)
Terkenal kerap menjadi pengarah pertunjukan hingga sutradara iklan, Jay Subyakto juga memiliki film dokumenter soal sejarah Indonesia yang hingga kini masih tayang di Netflix.
Banda the Dark Forgotten Trail (2017) merupakan film dokumenter pertama Jay Subiakto yang langsung mendapatkan Piala Maya sebagai Film Dokumenter Panjang Terpilih 2017 dan nominasi Piala Citra kategori Film Dokumenter Panjang Terbaik.
"Jadi saya mau bahwa dengan dokumenter, kita jangan melakukan kesalahan lagi dengan mengetahui sejarah," kata Jay Subyakto soal alasan dirinya membuat Banda the Dark Forgotten Trail.
"Sekarang banyak orang yang alpa dengan sejarah. Generasi muda kita banyak sekali yang tidak tahu tentang sejarah Indonesia. Tidak usah yang 350 tahun, yang tahun 1998 saja ketika reformasi mereka sudah tidak tahu," lanjutnya.
Namun ada alasan lebih personal mengapa Jay Subyakto memilih sejarah yang berkaitan dengan Banda. Hal itu tak lepas dari pengaruh mendiang pamannya, Muhammad Hatta alias Bung Hatta.
lanjut ke sebelah...
"Waktu itu kebetulan paman saya, Muhammad Hatta, pernah bilang ke saya 'Kamu harus ke Banda Neira, karena di Banda Neira itu saya dapat konsep bagaimana membentuk suatu negara kepulauan Indonesia yang beragam, sangat heterogen kebudayaan maupun agamanya'," kata Jay Subyakto.
"Nah, itu yang banyak saya rangkum dan kebetulan saya juga banyak dapat masukan dari buku peninggalan Bung Hatta. Bahwa Banda itu harus benar-benar dibuat film yang jelas karena di situ kolonialisme pertama terjadi di Indonesia," lanjutnya.
"Di situ pertama kali perbudakan terjadi di Indonesia, di situ juga pertama kali genosida atau pembunuhan massal dilakukan oleh Belanda," kata Jay Subyakto.
"Dan sampai sekarang kita itu selalu jadi negara yang menghasilkan hasil bumi yang dibutuhkan seluruh dunia, tetapi kita selalu tidak pernah jadi negara yang makmur, malah dibohongi oleh negara lain dan dikeruk habis hasil buminya." lanjutnya.
[Gambas:Youtube]
Dandhy Laksono
Jurnalis dan pendiri Watchdoc
Dua film karya Watchdoc sempat menggegerkan media sosial. Sexy Killers (2019) dan The EndGame (2021) menjadi pembahasan netizen bahkan hingga ke level para pemangku kepentingan di pemerintahan dan politik Indonesia.
Sexy Killers mengungkap keterlibatan elit politik dalam bisnis batu bara, sementara The EndGame menampilkan sejumlah kesaksian beberapa mantan penyidik KPK saat tidak lolos Tes Wawasan Kebangsaan.
Dandhy Laksono, jurnalis investigasi yang juga orang di balik Watchdoc menyebut bahwa tujuan awal mereka menggarap dokumenter adalah "mengangkat isu agar tidak ada di pinggiran".
"Kenapa dokumenter? Karena kami anggap ini dua kombinasi dari sisi visual dan sisi konten yang bisa dikawinkan. Kontennya mungkin perlu dalam dan mungkin dianggap berat dibandingkan dengan konten hiburan," kata Dandhy.
"Kalau dikemas dalam bentuk jurnalistik atau magazine atau depth reporting mungkin agak membosankan dan kalah bersaing dengan tontonan audio visual yang lain. Tidak cukup menarik perhatian sehingga kami kombinasikan dengan sinematografi, dengan art secara visual, ada penokohan seperti halnya film," lanjutnya.
"Dokumenter kami pilih sebagai format yang kami anggap ideal agar orang bisa menonton format panjang tetapi tidak terasa seperti sedang mengikuti laporan jurnalistik." katanya.
[Gambas:Youtube]
Lamtiar Simorangkir
Penulis dan Sutradara Invisible Hopes (2021)
Lamtiar Simorangkir dan film dokumenter pertamanya, Invisible Hopes (2021), menarik perhatian pada tahun lalu. Film itu keluar menjadi Film Dokumenter Panjang Terbaik dalam ajang Piala Citra FFI 2021.
Invisible Hopes mengisahkan kehidupan para narapidana perempuan di penjara yang terpaksa harus mengandung, melahirkan, dan membesarkan anak mereka di balik jeruji besi.
Lamtiar menyebut dirinya memutuskan menggarap dokumenter akan kisah tersebut adalah karena begitu tersentuh saat melihat dengan kepalanya sendiri atas fenomena itu.
"Karena saya tidak menemukan banyak literatur tentang hal tersebut terutama di Indonesia. Bahkan, jarang ada film yang membahas anak-anak ini [besar dalam penjara] di negara lain," kata Lamtiar.
 Lamtiar Simorangkir dan film dokumenter pertamanya, Invisible Hopes (2021), menarik perhatian pada tahun lalu. Film itu keluar menjadi Film Dokumenter Panjang Terbaik dalam ajang Piala Citra FFI 2021. (dok. Tiar Simorangkir) |
Ketika dirinya riset ke sebuah penjara di Semarang, ia bertemu seorang anak perempuan yang besar di balik jeruji besi. Saat sedang mengobrol, bel penjara berbunyi dan anak itu dengan riang pamit kepada Lamtiar untuk kembali ke sel.
"Begitu dengar bunyi itu, si anak ini 'kiss bye' ke saya, lalu dia melambai, lalu dia pergi, saya jadi bingung," kata Lamtiar.
"Lalu saya tanya ke petugas dan ibunya. Ibunya hanya tertawa dan dia bilang, 'Iya kak dia sudah pintar', maksudnya bagaimana. Dijawab lagi, 'Iya, dia sudah tahu kalau itu tandanya masuk sel, untuk dikunci'," lanjutnya.
"Ibunya cerita sambil tertawa, saya yang menangis. Kenapa? karena anak ini kan berarti memposisikan dirinya narapidana." kata Lamtiar.
[Gambas:Youtube]