"Waktu itu kebetulan paman saya, Muhammad Hatta, pernah bilang ke saya 'Kamu harus ke Banda Neira, karena di Banda Neira itu saya dapat konsep bagaimana membentuk suatu negara kepulauan Indonesia yang beragam, sangat heterogen kebudayaan maupun agamanya'," kata Jay Subyakto.
"Nah, itu yang banyak saya rangkum dan kebetulan saya juga banyak dapat masukan dari buku peninggalan Bung Hatta. Bahwa Banda itu harus benar-benar dibuat film yang jelas karena di situ kolonialisme pertama terjadi di Indonesia," lanjutnya.
"Di situ pertama kali perbudakan terjadi di Indonesia, di situ juga pertama kali genosida atau pembunuhan massal dilakukan oleh Belanda," kata Jay Subyakto.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Dan sampai sekarang kita itu selalu jadi negara yang menghasilkan hasil bumi yang dibutuhkan seluruh dunia, tetapi kita selalu tidak pernah jadi negara yang makmur, malah dibohongi oleh negara lain dan dikeruk habis hasil buminya." lanjutnya.
Dua film karya Watchdoc sempat menggegerkan media sosial. Sexy Killers (2019) dan The EndGame (2021) menjadi pembahasan netizen bahkan hingga ke level para pemangku kepentingan di pemerintahan dan politik Indonesia.
Sexy Killers mengungkap keterlibatan elit politik dalam bisnis batu bara, sementara The EndGame menampilkan sejumlah kesaksian beberapa mantan penyidik KPK saat tidak lolos Tes Wawasan Kebangsaan.
Dandhy Laksono, jurnalis investigasi yang juga orang di balik Watchdoc menyebut bahwa tujuan awal mereka menggarap dokumenter adalah "mengangkat isu agar tidak ada di pinggiran".
Lihat Juga : |
"Kenapa dokumenter? Karena kami anggap ini dua kombinasi dari sisi visual dan sisi konten yang bisa dikawinkan. Kontennya mungkin perlu dalam dan mungkin dianggap berat dibandingkan dengan konten hiburan," kata Dandhy.
"Kalau dikemas dalam bentuk jurnalistik atau magazine atau depth reporting mungkin agak membosankan dan kalah bersaing dengan tontonan audio visual yang lain. Tidak cukup menarik perhatian sehingga kami kombinasikan dengan sinematografi, dengan art secara visual, ada penokohan seperti halnya film," lanjutnya.
"Dokumenter kami pilih sebagai format yang kami anggap ideal agar orang bisa menonton format panjang tetapi tidak terasa seperti sedang mengikuti laporan jurnalistik." katanya.
Lamtiar Simorangkir dan film dokumenter pertamanya, Invisible Hopes (2021), menarik perhatian pada tahun lalu. Film itu keluar menjadi Film Dokumenter Panjang Terbaik dalam ajang Piala Citra FFI 2021.
Invisible Hopes mengisahkan kehidupan para narapidana perempuan di penjara yang terpaksa harus mengandung, melahirkan, dan membesarkan anak mereka di balik jeruji besi.
Lamtiar menyebut dirinya memutuskan menggarap dokumenter akan kisah tersebut adalah karena begitu tersentuh saat melihat dengan kepalanya sendiri atas fenomena itu.
"Karena saya tidak menemukan banyak literatur tentang hal tersebut terutama di Indonesia. Bahkan, jarang ada film yang membahas anak-anak ini [besar dalam penjara] di negara lain," kata Lamtiar.
![]() |
Ketika dirinya riset ke sebuah penjara di Semarang, ia bertemu seorang anak perempuan yang besar di balik jeruji besi. Saat sedang mengobrol, bel penjara berbunyi dan anak itu dengan riang pamit kepada Lamtiar untuk kembali ke sel.
"Begitu dengar bunyi itu, si anak ini 'kiss bye' ke saya, lalu dia melambai, lalu dia pergi, saya jadi bingung," kata Lamtiar.
"Lalu saya tanya ke petugas dan ibunya. Ibunya hanya tertawa dan dia bilang, 'Iya kak dia sudah pintar', maksudnya bagaimana. Dijawab lagi, 'Iya, dia sudah tahu kalau itu tandanya masuk sel, untuk dikunci'," lanjutnya.
"Ibunya cerita sambil tertawa, saya yang menangis. Kenapa? karena anak ini kan berarti memposisikan dirinya narapidana." kata Lamtiar.