Menurut laporan salah satu media Indonesia yang dirilis ulang oleh LIPI di laman resminya pada 2012, sebagian besar bujet produksi digunakan untuk pembuatan baju seragam dan ribuan baju figuran.
Namun biaya sebesar itu terbilang wajar mengingat film ini mengupayakan penggambaran seriil mungkin kondisi saat itu, mulai dari gaya berpakaian Soedirman, kondisi prajurit di tengah peperangan, dan situasi masyarakat kala itu.
Akan tetapi, film ini menuai kritikan berbagai pihak lantaran dianggap sebagai bahan pencitraan Soeharto sebagai tokoh sentral dalam momentum sejarah Indonesia tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain dari cerita yang berpusat pada Soeharto, berbagai teknik pencitraan lain juga digambarkan melalui film ini, salah satunya adalah penggambaran sosok Soeharto yang tinggi dan tampan, tenang, dan berwibawa oleh aktor Kaharuddin Syah.
"Film itu tidak obyektif. Peran Soeharto terlalu ditonjolkan. Film itu hanya berisi bagaimana sosok Soeharto yang begitu teguh. Berjuang sekuat tenaga, dan sebagainya. Sosok lain dikecilkan dalam film ini," kata peneliti LIPI, Asvi Warman Adam dalam artikel tersebut.
"Peran Sultan Hamengkubuwono IX hampir tidak terlihat dalam film ini. Padahal saat itu Sultan punya empat fungsi. Sebagai Gubernur, Sultan Yogya, Menteri Pertahanan dan diplomat yang dipercaya melakukan perundingan. Jadi bukan Soeharto," lanjutnya.
Digarap saat masa Orba dan menggambarkan pesona pemimpinnya, film Janur Kuning pun memenangkan penghargaan di masa tersebut.
Menurut laman filmindonesia.or.id, Janur Kuning mendapatkan nominasi Piala Citra pada Film Festival Indonesia 1980 untuk kategori Pemeran Pembantu Pria Terbaik oleh Amak Baldjun.
Film ini juga memenangkan Medali Emas PARFI yang masih menjadi rangkaian FFI 1980 untuk kategori Pemenang Harapan Pria, serta Plakat PPFI untuk kategori Produser Film yang Mengolah Perjuangan Bangsa atas nama Abbas Wiranatakusuma.