Narasi itu hanya ditampilkan riwayatnya secara singkat. Seolah penulis ingin fokus dengan konflik ibu-anak dan bagaimana mereka menghilangkan 'kutukan' panda merah tersebut.
Selain itu, legenda panda merah seperti yang ada di Turning Red juga terlihat menjadi formula yang sering digunakan oleh Pixar di film lainnya. Sebut saja Onward dengan konsep dunia sihir hingga Coco dengan konsep 'afterlife'.
Hal itu membuat formula Turning Red tidak terasa baru, meski karakter dan unsur budaya yang diangkat berbeda dari sebelumnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bicara soal unsur budaya, Domee Shi yang merupakan keturunan China-Kanada dengan jelas terlihat membawa warisan budaya leluhurnya dalam Turning Red.
Sebut saja narasi panda merah yang berasal dari China. Kemudian latar belakang keluarga Mei Lee yaitu peranakan Tionghoa yang tinggal di Toronto, sama seperti Domee Shi.
Berbagai kisah dan penggambaran interaksi antara orang tua dan anak ala masyarakat Asia, terutama Tionghoa, juga digambarkan dengan baik dalam Turning Red tanpa terasa tendensius.
![]() |
Unsur budaya Tionghoa juga terlihat dari aspek visual yang kental dengan warna merah dan oranye, serta kuil keluarga peninggalan leluhur yang ditempati keluarga Mei Lee.
Sayangnya, karakter dan unsur budaya yang kaya itu tidak didukung dengan eksekusi klimaks nan optimal. Sepertiga akhir dari Turning Red terasa biasa saja dan kurang berkesan.
Padahal, cerita yang dibangun selama satu jam pertama tampak meyakinkan dan menarik. Belum lagi dengan sejumlah referensi masa remaja dan unsur budaya yang ditampilkan.
Namun pada akhirnya, Turning Red sukses menyajikan cerita 'coming of age' yang personal dengan tetap membawa pesan universal.
Bagi penonton dewasa, film ini akan menjadi momen nostalgia lewat serangkaian cerita Mei Lee dan referensi budaya yang ditampilkan.
Bagi penonton anak-anak dan remaja, film ini menjadi cermin tentang apa yang sedang mereka alami sekaligus bisa jadi inspirasi untuk menjalani hidup sesuai keinginan namun bertanggungjawab.