Jakarta, CNN Indonesia --
Melantunkan ayat suci Al-Qur'an dengan cara yang indah dan 'nyeni' seperti para qari terbilang akrab ditemui di Indonesia. Biasanya, cara tersebut ditemukan saat acara Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) atau dalam acara tertentu.
Cara membaca ayat suci tersebut sejatinya dikenal juga sebagai seni membaca Al-Qur'an dengan lagu atau melagukan bacaan Al-Qur'an atau "an-nagham fil Qur'an", menurut buku Belajar Membaca Al-Qur'an dengan Lagu rilisan Lembaga Bahasa dan Ilmu Al-Qur'an DKI Jakarta pada 2010 dengan K.H. Muhsin Salim sebagai Editor.
Secara umum, lagu Al-Qur'an dimaknai sebagai "setiap lagu apa saja yang dapat diterapkan dalam ayat-ayat Al-Qur'an dengan berbagai variasi dan nada suara yang teratur dan harmonis, tanpa menyalahi hukum-hukum bacaan yang digariskan dalam ilmu Tajwid," tulis buku tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Cara membaca Al-Qur'an dengan seni lagu ini dijelaskan tak bisa dilepaskan dari pengaruh dari bangsa dan seni budaya Arab, sebagai lokasi asal penyebaran agama Islam. Cara itu juga tiba di Indonesia dan berkembang di Nusantara.
Hal itu masih terlihat masih terlihat hingga saat ini, yakni pelaksanaan MTQ yang berlangsung dari tingkat sekolah atau kelurahan hingga ke nasional juga internasional.
Dalam ajang MTQ yang biasanya dilangsungkan setiap tahun, berbagai muslim dan muslimah menunjukkan hasil kemampuan juga bakat mereka mengagungkan bacaan Al-Qur'an dengan irama.
Meski begitu, tidak ada catatan persis kapan cara melanggam bacaan Al-Qur'an ini dimulai. Namun ada dua pendapat soal asal usul kesenian ini menurut catatan Ibnu Manzdur dalam kitabnya, Lisanul Arab Jus 19 halaman 376.
 Ilustrasi. Menurut Lembaga Bahasa dan Ilmu Al-Qur'an DKI dalam bukunya, Belajar Membaca Al-Qur'an dengan Lagu (2010), belum diketahui secara jelas kapan seni baca Al-Qur'an dengan lagu ini berkembang di Indonesia. (CNN Indonesia/Andry Novelino) |
Pendapat pertama menyebut lagu Al-Qur'an itu berasal dari nyanyian budak-budak kafir yang tertawa ketika perang melawan muslimin. Pendapat kedua mengatakan lagu Al-Qur'an berasal darilanggam nenek moyang bangsa Arab yang selanjutnya digunakan untuk melagukan Al-Qur'an.
Meski tidak diketahui secara persis siapa yang pertama kali melagukan Al-Qur'an, Pakar Qiraat Saba dan Akademisi Institut PTIQ Jakarta K.H. Muhsin Salim mengatakan bahwa Nabi Muhammad SAW pada dasarnya mempraktikkan hal ini.
"Nabi Muhammad SAW sendiri membaca kitab suci Al-Qur'anul Karim dengan lagu yang begitu indah. Banyak riwayat yang menyebutkan bahwa Nabi saat salat Isya, Nabi membaca Surat At-Tin," kata KH Muhsin Salim kepada CNNIndonesia.com, beberapa waktu lalu.
"Makmum, para sahabat, mendengar lagu Nabi yang begitu indah. Dengan peristiwa itu, maka dapat dikatakan Nabi sendiri yang mempraktikkan lagu-lagu Al-Qur'an yang ada. Itu dasarnya," lanjutnya.
 Sejumlah warga binaan membaca Alquran saat mengikuti kegiatan Pesantren Ramadhan di Rumah Tahanan (Rutan) Kelas II B Serang, di Banten, Selasa (5/4/2022). Sebanyak 512 warga binaan Rutan Serang mengikuti Pesantren Ramadhan yang diisi dengan kajian tauhid dan fiqih guna meningkatkan keimanan dan ketakwaan. (ANTARA FOTO/Asep Fathulrahman/hp.) |
Melagukan lantunan ayat Al-Qur'an ini bukan sekadar memberikan irama saat membacakan ayat suci. Lagu-lagu kontemporer tidak bisa begitu saja diterapkan dalam kegiatan ini. Hal ini karena lagu-lagu Al-Qur'an punya pecahan nada/suara yang cukup banyak dan harus tetap terikat dengan kaidah tajwid.
Lembaga Bahasa dan Ilmu Al-Qur'an DKI dalam bukunya menyebut bahwa para sahabat Nabi dan Tabi'in juga imam-imam Qiro'at telah berijma atau bersepakat bahwa melagukan ayat suci Al-Qur'an ini adalah sunnah, menimbang beberapa manfaatnya.
Sejumlah manfaat itu adalah: ayat suci Al-Qur'an bisa lebih meresap ke dalam hati dan memberi bekas kepada jiwa pembaca maupun pendengarnya; memberikan dorongan kepada orang lain untuk mempelajari seni baca Al-Qur'an; dan salah satu metode dakwah yang cukup efektif di masyarakat.
Menurut Lembaga Bahasa dan Ilmu Al-Qur'an DKI dalam bukunya, Belajar Membaca Al-Qur'an dengan Lagu (2010), belum diketahui secara jelas kapan seni baca Al-Qur'an dengan lagu ini berkembang di Indonesia.
Meski begitu, ditengarai seni baca Al-Qur'an ini datang bersamaan dengan perkembangan Islam di Nusantara. Akan tetapi kala itu, belum banyak pengaruh dari budaya Arab soal gaya melanggam ayat suci ini.
Lanjut ke sebelah...
"Pengajian Al-Qur'an ini pada umumnya diselenggarakan secara individual dan dengan sukarela, lama kelamaan pengajian seperti ini menjadi besar dan berkembang dengan pesat," terulis dalam buku itu.
"Mereka membaca Al-Qur'an secara klasik dengan lagu dan irama khas di Indonesia. Keadaan seperti ini berlangsung selama beberapa abad sampai menjelang abad ke-20 Masehi," lanjutnya.
Dalam masa itu, perhubungan antara negara-negara Arab dengan Indonesia disebut semakin lancar. Salah satunya ditandai dengan banyak kiai dan ustaz yang pergi haji dan menimba ilmu ke Tanah Suci, seperti Makkah dan Madinah.
Usai mendapatkan ilmu di Tanah Suci, sebagian dari mereka kembali ke Indonesia dan menyebarkannya ke masyarakat lokal, termasuk cara membaca Al-Qur'an dengan nagham (lagu) yang diperoleh saat di Makkah. Gaya ini kemudian dikenal sebagai lagu Makkawi.
Seiring semakin banyak keberadaan qari dan hafiz alias penghafal Al-Qur'an sebagai buah keberadaan pesantren di Indonesia, maka mulai dibentuk pembinaan dan pengembangan baca dan hafalan Al-Qur'an. Pada dekade 1950-an, berdirilah Jam'iyatul Qurra wal Huffazh (Persatuan Qari dan Hafiz) di Surabaya yang kemudian di bawah naungan Nadhatul Ulama.
"Berdirinya organisasi ini merupakan salah satu faktor makin berkembang seni baca Al-Qur'an di Indonesia, walaupun kegiatannya waktu itu belum mengarah kepada musabaqah (perlombaan), melainkan dititikberatkan kepada pembinaan dan pengajaran membaca dan melagukan Al-Qur'an," tulis buku itu.
 Ilustrasi. Seiring semakin banyak keberadaan qari dan hafiz alias penghafal Al-Qur'an sebagai buah keberadaan pesantren di Indonesia, maka mulai dibentuk pembinaan dan pengembangan baca dan hafalan Al-Qur'an. (CNN Indonesia/Andry Novelino) |
Memasuki dekade 1960-an, Mesir dilaporkan mengirim sejumlah syekh qari dari negara itu ke sejumlah negara Islam, termasuk Indonesia, dalam rangka meramaikan Ramadan. Oleh pemerintah Indonesia kala itu, tujuh syekh asal Mesir yang datang kemudian disebar dan diajak keliling ke berbagai lokasi masjid.
Mereka adalah Syekh Abdul Basith Abdus Shamad, Syekh Thanthawi, Syekh Mahmud Mujahid, Syekh Mustafa Kamil, Syekh Mahmud Khalil Al-Hushari, Syekh Abdul Hayyi Zhahran, dan Syekh Abdul Qadir Abdul Azhim.
"Setiap malam mereka membaca Al-Qur'an dengan lagu yang amat merdu dan memukau para hadirin, berpindah-pindah dari satu kota ke kota lain sampai menjelang Idulfitri," tulis buku tersebut.
Lantunan yang mereka bawakan dengan gaya Mesir nyatanya berhasil memikat para qari Indonesia dan tergerak untuk mempelajari hingga menguasainya. Secara perlahan, gaya melanggam ayat Al-Qur'an yang kini dikenal dengan lagu Mishri itu jadi salah satu yang populer hingga saat ini.
Ada sejumlah alasan lagu Mishri menjadi gaya yang mendominasi cara melanggam ayat Al-Qur'an di Indonesia, salah satunya keberadaan Haflah Konferensi Islam Asia Afrika pada 1956. Di acara itu, KH A Aziz Muslim jadi pemenang utama dengan menggunakan lagu Mishri ala Syekh Abdul Basith Abdus Shamad.
Kemudian faktor lainnya adalah keberadaan MTQ yang digelar secara nasional oleh pemerintah Indonesia sejak 1968. Setiap tahun, MTQ digelar dan salah satu yang jadi poin penilaian adalah bidang lagu dan suara yang dasarnya menggunakan lagu Mishri.
 Peserta mengikuti lomba Musabaqah Tilawah Quran (MTQ) dan Musabaqah Qiraatil Kutub (MQK) di Kodim 0710 Pekalongan, Jawa Tengah, Rabu (23/3/2022). (ANTARA FOTO/Harviyan Perdana Putra) |
MTQ kemudian bukan hanya ada di tingkat nasional, melainkan berkembang hingga ke akar rumput, ke sekolah-sekolah, kelurahan, kecamatan, kota, hingga provinsi. Di tingkat internasional, MTQ juga digelar dan Indonesia terbilang rajin menjadi juaranya.
Keberadaan kompetisi MTQ ini kemudian semakin mempopulerkan keberadaan lagu Mishri yang berkarakter lebih lembut dan syahdu, dibanding lagu Makkawi yang lebih kental dengan dialek lokal Makkah.
"Di Indonesia sendiri, ternyata hampir dapat dipastikan, sekitar 99 persen orang membaca Al-Qur'an dengan lagu-lagu ala Mishri. Bahkan dalam MTQ hampir tidak ada sama sekali lagu-lagu Makkawi kecuali hanya sebagai variasi," tulis buku tersebut.
Selain dari MTQ, penggunaan lagu Mishri dan Makkawi juga semakin terjaga dengan pendirian Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur'an pada 1971 di Jakarta.
Perpaduan kedua lagu itu di lembaga pendidikan yang juga membina para qari, hafiz, dan akademisi Al-Qur'an ini kemudian dinilai memberikan pengaruh besar bagi perkembangan seni baca Al-Qur'an di Indonesia.
Hingga seiring berjalannya waktu, Indonesia menelurkan berbagai qari yang menjadi jawara baik tingkat nasional hingga internasional, seperti H Muammar ZA, Hj Maria Ulfah, Nasrullah Jamaluddin, Mirwan Batubara, H Ahmad Muhajir, dan masih banyak lagi.