Sindiran hingga Pembuktian Diri di Balik Tradisi Mudik
Tradisi pulang ke kampung halaman atau yang dikenal sebagai mudik, bagi sebagian masyarakat Indonesia seperti yang dari suku Jawa, bukan sekedar kembali ke tempat orang tua.
Bahkan lebih dari sekadar pulang bertemu sanak saudara, mudik atau bagi masyarakat Jawa disebut sebagai "mulih" memiliki sindiran kepada mereka yang merantau untuk ingat akan asal-usulnya.
"Mulih dihubungkan dengan minggat, dan istilah 'ora gelem mulih' itu enggak enak banget," kata Guru Besar Antropologi Budaya Universitas Gadjah Mada Heddy Shri Ahimsa-Putra, kepada CNNIndonesia.com, beberapa waktu lalu.
Lihat Juga : |
"Seolah-olah dia [perantau] sudah sangat salah, dia menjadi orang yang sombong, tidak peduli. Enggak ngerewes, enggak peduli lagi. Karena itu mulih jadi sangat penting [bagi perantau asal Jawa]," lanjutnya.
Selain daripada memiliki makna yang lebih menohok, masyarakat Jawa disebut Heddy lebih sering menggunakan kata "mulih" dibanding "mudik" karena faktor geografi.
Heddy mengatakan kata "mudik" berasal dari bahasa Melayu yaitu "udik" yang berarti hulu sungai.
Orang Melayu menyebut orang yang biasa tinggal di daerah hulu sungai atau tepi sungai dengan sebutan "orang udik". Sehingga, "mudik" disebut juga sebagai "kembali ke hulu".
Sementara di Tanah Jawa, kondisi amat berbeda. Di pulau dengan populasi manusia terpadat di dunia ini, kondisi sungai tidak seperti di pulau Sumatra atau Kalimantan yang dulu adalah lokasi utama sebaran orang Melayu.
"Karena di Jawa itu enggak banyak sungai, jadi orang [Jawa] lebih familiar dengan perjalanan darat. Jadi istilah mudik juga dipakai untuk merujuk ke situ," kata Heddy.
"Nah mudik ini mengalami perluasan makna, dan akhirnya juga dipakai oleh orang-orang yang tidak tinggal di hulu sungai saja. Karena bahasa melayu jadi bahasa Indonesia, jadi dipakai semua orang," katanya.
Perluasan penggunaan itu pula yang membuat "mudik" memiliki perluasan makna bahkan bisa dianggap sebagai kegiatan menjalin kembali silaturahmi dengan sanak saudara di tempat asal.
Lihat Juga : |
"Orang yang tinggal di kota, [lalu] pulang ke asalnya ya dia bilangnya mudik. Walau dia pulangnya tidak lagi ke hulu sungai, dia tetap bilangnya mudik, karena mudik kembali ke tempat asal," kata Heddy.
"Mudik yang awalnya berarti kembali ke tempat asal, sekarang juga bermakna kembali ke orang tua, ke sesuatu yang sudah lama ditinggalkan, dari situ muncul silaturahmi," lanjutnya.
Namun kini, mudik bukan hanya sekadar menjalin silaturahmi atau melepas rindu. Pulang ke kampung halaman juga berarti menunjukkan hasil kerja keras para perantau di tanah seberang.
Dorongan untuk bisa menjadi kebanggaan atau penghargaan bagi orang tua itu pula yang membuat tradisi mudik selalu menjadi hal yang menghebohkan setiap tahunnya, kecuali saat pandemi dua tahun terakhir.
"Mereka enggak banyak berpikir lagi, pokoknya jalani [mudik]. Karena kalau tidak terpenuhi, ada yang hilang." kata Heddy.
(nly/end)