Yang merekatkan semuanya dan membuat penonton betah berlama-lama adalah penceritaan yang kocak sekaligus sedih. Berkali-kali tawa penonton membahana dan kemudian sunyi ketika diam-diam sebagian menyeka air mata.
Ini memang film drama, bukan komedi. Sutradara dan penulis skenario Bene Dion (nama marga: Rajagukguk) menggunakan medium kultur Batak untuk menyampaikan kisah. Sebagian, bahkan mirip dengan hidupnya sendiri.
Seperti karakter Gabe yang nekat jadi komedian, Bene yang lahir di Dolok Masihul Serdang Bedagai Sumut adalah alumni Fakultas Teknik UGM. Meski lulus dengan predikat cum laude, Bene malah bolak-balik manggung sebagai stand-up comedian, mulanya di Yogyakarta dan kemudian Jakarta.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bukunya tentang pengalaman hidup yang keras dalam keluarga Batak berjudul Ngeri Ngeri Sedap terbit tahun 2014 juga kocak sekali. Namun, bukan jadi dasar penulisan skenario film ini.
Di kemudian hari, Bene banyak dilibatkan Ernest Prakasa --komedian senior, penulis dan produser-- dalam beberapa proyek miniseri dan film bergenre komedi mulai sebagai aktor figuran selintasan sampai jadi penulis skenario.
Dalam beberapa publikasi Bene mengaku, dari Ernest yang konsisten menggunakan latar kultur Tionghoa dalam filmnya, dia belajar menggunakan Batak untuk NNS.
Meski para pemain adalah aktor kawakan di panggung pertunjukan Indonesia, film ini tidak menjual muka-muka luar biasa cantik atau rupawan sebagai daya tarik. Modal utama NNS benar-benar kekuatan skenario dan akting pemain.
![]() |
Hasilnya pecah betul. Sampai hari ke-7 NNS sudah ditonton 503.181 penonton bioskop sejak diputar 2 Juni 2022. Pantas akhir pekan lalu saat saya nonton di sebuah bioskop Kota Bekasi, tidak ada kursi kosong satu pun.
Belum ada ulasan jelek dialamatkan pada NNS sejauh ini. Kolom rating dalam aplikasi seperti Letterboxd, dimana reviewer sering pelit memberi nilai, menyematkan poin 4,1 bintang untuk NNS - sangat menjanjikan untuk film produk Indonesia.
Satu-satunya yang masih saya sesalkan adalah: menonton NNS membuat saya cemas.
Tiap ingat adegan Mak Domu memeluk tiang penyangga depan rumah sambil tak lepas tersenyum menunggu saat anak-anaknya tiba, perasaan jadi kecut: gini amat ya jadi orangtua.
Bagaimana kalau anak-anak saya juga enggan pulang kelak?