Sejumlah poin plus itu menjadi komplit dan terasa memuaskan berkat penampilan gemilang Christian Bale sebagai villain. Bale dalam film ini memerankan Gorr the God Butcher, makhluk yang dikhianati Dewa Rapu dan berambisi membasmi dewa-dewi di seluruh semesta.
Karakter itu berhasil dieksekusi dengan nyaris sempurna di semua lini. Secara penampilan fisik, Christian Bale rela menurunkan berat badan secara cukup drastis demi peran ini.
Riasan dan prostetik juga mendukung transformasi Bale sebagai Gorr the God Butcher. Wujud Bale dalam film ini jauh berbeda dari peran-peran lainnya, dengan kulit putih pucat serta tubuh yang begitu kurus.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
Transformasi itu lalu disempurnakan dengan penampilan Bale yang dikenal memiliki 'acting range' luas. Gorr sebagai makhluk pendendam bengis yang menyimpan trauma besar begitu tercermin lewat gestur hingga cara Christian Bale bertutur.
Teror mengerikan juga begitu terasa di setiap kehadiran Gorr the God Butcher dalam film ini. Nuansa komedi yang ringan itu seolah langsung berbalik menjadi horor ketika sang villain muncul.
Hal itu sekaligus menjadi penyeimbang yang membuat Thor: Love and Thunder terasa komplit. Ia tak hanya menyajikan tontonan menyenangkan, tetapi juga tetap menyelipkan ketegangan pada sejumlah bagian cerita.
Sayangnya, porsi karakter Gorr the God Butcher dalam film ini masih terlalu sedikit. Gorr punya potensi besar untuk lebih digali perjalanannya, tetapi hal itu tampak disia-siakan oleh sang sutradara.
Sang villain sejatinya punya peluang untuk mendulang lebih banyak simpati penonton karena latar belakang yang emosional. Taika Waititi juga seperti melewatkan kesempatan untuk menggambarkan bagaimana perjalanan Gorr sebagai sang penjagal Dewa.
Tak pelak film ini memiliki alur dengan tempo cepat, sehingga dapat dimaklumi jika ada beberapa penonton yang merasa kurang terikat dengan cerita. Alasan itu juga yang menjadikan Thor: Love and Thunder, bagi saya, belum bisa menandingi Thor: Ragnarok.
![]() |
Namun, Thor 4 tetap saja memberikan pengalaman menonton film MCU yang akhir-akhir ini hilang. Film ini seperti membawa kembali penonton ke masa MCU yang dipenuhi film solo superhero tanpa banyak embel-embel crossover atau cerita yang kompleks.
Kesan tersebut juga bisa diartikan sebagai sinyal bagi Marvel Studios, bahwa film dengan premis ringan pun masih banyak diminati penggemar.
Jika ingin mempertahankan basis penggemar MCU, terutama penggemar yang awam, studio rasanya harus menyiapkan lebih banyak film sejenis Thor: Love and Thunder.