"Keduanya ini melebur menjadi satu. Nah ketika menjadi satu ini kemudian menjadi penting, tidak hanya bagi orang Jawa melainkan bagi umat Islam itu sendiri," lanjutnya.
Heddy menjelaskan, berbagai ritual juga adat yang dilakukan di atas dan kini dianggap sebagai tradisi jelang 1 Suro yang menambah nilai keramat dan mistik, sebenarnya sudah dilakukan sejak dulu kala jauh sebelum ide revolusioner Sultan Agung.
Akan tetapi, kata Heddy, tradisi-tradisi yang sebagian besar bermakna penyucian diri tersebut dilakukan terpisah karena belum bergabung antara penanggalan Islam dengan penanggalan Jawa.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lihat Juga : |
"Lalu kemudian momen disatukannya kalender Jawa dengan Islam itu yang menyisakan ritual-ritual ini akhirnya tetap ada dan terjadi hingga saat ini. Kita tidak bisa meniadakan itu, justru itu mengiringi," kata Heddy.
"Karena momennya ketika dulu disatukan kan memang tidak diperintahkan untuk 'menghilangkan itu semua', kalau memang mau disatukan, ya disatukan. Apakah perayaannya apa boleh dilakukan? Ya kenapa enggak boleh?" lanjutnya.
Lalu bagaimana dengan citra horor yang melekat pada 1 Suro? Hal ini juga tak bisa dilepaskan dari nilai keramat Muharam dan pemaknaan sebagian Muslim atas bulan pertama di kalender Hijriyah tersebut.
Dalam berbagai riwayat yang diwariskan turun-temurun dalam penganut agama-agama samawi, berbagai kejadian historis seperti peristiwa banjir bandang Nabi Nuh, perlawanan Nabi Ibrahim terhadap Namruj, duel Nabi Musa melawan Fir'aun, semuanya diyakini terjadi pada bulan Muharram.
Termasuk, peristiwa pembunuhan cucu Nabi Muhammad SAW, Husain bin Ali yang terjadi pada hari Assyura, 10 Muharram 61 Hiriyah. Peristiwa duka yang dikenal sebagai tragedi Karbala ini selalu diperingati oleh muslim Syiah setiap tahunnya.
![]() |
"Ini yang membuat orang akhirnya mengasosiasikan bulan ini sebagai bulan yang "keramat", sehingga ada nuansa mistisnya tadi, saya menangkapnya demikian," kata Heddy yang menegaskan asumsi ini akan sulit diuji secara empirik.
"Inilah yang akhirnya menjadi 'pamali', dan dianggap bukan bulan yang bagus. Sungguh tidak baik kan kalau kita bayangkan, Rasulullah sedang berduka dengan kematian cucunya, kok kita malah senang-senang, itu kan enggak pas to? Enggak mantes gitu lho," lanjutnya.
Sehingga, kata Heddy, kesan angker dan horor memang tampak disengaja disematkan pada perayaan 1 Suro sebagai langkah pengingat masyarakat untuk menahan diri dalam bergembira berlebihan serta 'memaksa' umat untuk taat.
"Kalau sudah angker kan orang enggak bisa berbuat apa-apa. Tapi angker ini kan juga tergantung masa dan waktunya, pada era tertentu kan akhirnya tidak menjadi angker lagi to? Di sinilah budaya pop akhirnya masuk." kata Heddy.
(far/end)