Review Film: All Quiet on the Western Front

Mohammad Farras Fauzi | CNN Indonesia
Rabu, 04 Jan 2023 20:50 WIB
Review: All Quiet on the Western Front mampu bikin penonton mempertanyakan kembali apakah Dunkirk dan Pearl Harbor masih bisa disebut film perang paling keren.
Review: All Quiet on the Western Front mampu bikin penonton mempertanyakan kembali apakah Dunkirk dan Pearl Harbor masih bisa disebut film perang paling keren. (Netflix/Reiner Bajo)
img-title Endro Priherdityo
5
All Quiet on the Western Front, tak hanya dapat dinikmati sebagai sajian sinematik bergengsi, tapi juga penampar pengingat diri.

Sebagai film yang mayoritasnya diproduksi dan dibintangi oleh orang Jerman, film ini bisa menjadi salah satu film Jerman 'paling ramah' untuk penonton Hollywood. Terutama, jika ditilik dari segi penokohan dan plot cerita.

Duet karakter beda generasi yakni Paul Bäumer serta Stanislaus 'Kat' Katczinsky (Albrecht Schuch) berperan penting dalam hal itu.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kisah persahabatan mereka membawa keduanya menjadi sosok 'protagonis' dan sisi penting yang dapat mengakomodir 'keramahan' film ini.

Belum lagi sosok negosiator Matthias Erzberger yang diperankan nyaris sempurna oleh Daniel Brühl dengan penuh ketenangan, sehingga memberikan penawar kehangatan untuk dingin dan kakunya kisah dalam All Quiet on the Western Front.

Im Westen nichts Neues atau yang dapat diartikan secara lepas sebagai 'tidak ada yang baru di Barat', merupakan narasi anti perang yang mengkritik pedas kebijakan perang Kekaisaran Jerman pada masa PD I.

Dalam sejarahnya, Im Westen nichts Neues menggambarkan sikap Jenderal Jerman Friedrichs (Devid Striesow) yang bersikukuh mempertahankan wilayah Jerman di dekat wilayah La Malmaison milik Perancis.



Selama musim semi 1917 hingga musim dingin 1918, jutaan nyawa pasukan perang dari kedua sisi melayang sia-sia untuk memperebutkan batas wilayah sepanjang ratusan meter saja.

Kembali kepada judul aslinya, interpretasi judul Im Westen nichts Neues juga disiratkan dengan ajaib oleh Berger di sepanjang 150 menit film ini berjalan.

Sejak adegan awal hingga akhir, terdapat beberapa adegan repetitif seperti adegan kumbang tanduk, mengumpulkan identitas jenazah perang, sampai kekakuan gaya komedi Jerman yang nyatanya tidak banyak berubah hingga saat ini.

Adegan-adegan berulang itu, bagaimanapun, menyiratkan pesan dalam judul aslinya: tidak akan ada hal yang baru, sekuat apapun kita berusaha.

Selain karakter Paul Bäumer dan para komradnya, Berger tidak menempatkan protagonis lain. Pola ini tentu berbeda dengan film-film peperangan lain yang memiliki unsur keberpihakan terhadap negara atau instansi tertentu.

Dalam film ini, Berger murni menyuarakan pesan anti perang yang menjadi tolak ukur utamanya.

Merujuk kepada kalimat pertama saya terkait selipan komedi dalam tragedi, saya menetapkan All Quiet on the Western Front sebagai salah satu produk satire paling mumpuni.

[Gambas:Youtube]



Bukan tanpa alasan, ketika menyaksikan film ini, kemunafikan, ego, hingga kepolosan umat manusia dengan polesan iri dan dengki masih tergambar nyata dalam kehidupan saat ini, nyaris satu abad usai tragedi dalam film ini terjadi.

Dengan amat yakin, saya bisa memprediksi jika All Quiet on the Western Front dapat berbicara banyak untuk mewakili Jerman dalam Academy Award for Best International Feature Film di Academy Awards ke-95.

(end)

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER