Red Hot Chili Peppers yang Masih Sama Meski Tak Lagi Muda
Aksi Red Hot Chili Peppers (RHCP) sebagai penutup Woodstock 1999 masih terbayang jelas. Flea telanjang bulat dengan rambut biru terangnya, berjingkrak-jingkrak di panggung, di depan lautan massa yang lelah tapi masih penuh adrenalin.
Namun Woodstock 1999 itu adalah Woodstock terakhir usai berujung bencana. Beberapa hari setelahnya, Chad Smith mengaku ia baru sadar bandnya itu dituding sebagai salah satu pemantik kerusuhan lantaran membawa Fire dari Jimi Hendrix.
Lihat Juga :REVIEW KONSER Nostalgia Nyaris Sempurna Bareng Westlife di GBK |
Dalam cuplikan penampilan RHCP di Woodstock '99 Trainwreck di Netflix, aksi Flea, Anthony Kiedis, Chad Smith, dan John Frusciante dalam festival musik itu memang begitu energik. Selain itu, album Californication (1999) mereka baru meledak di pasaran.
Maka tak heran RHCP dipilih sebagai band penutup dari line up luar biasa festival legendaris itu, seperti Korn, Bush, Rage Against the Machine, dan sederet nama besar solois dan band rock dekade '90-an.
Apalagi, penampilan live RHCP tak pernah cuma soal lagu, tapi physical.
Meski tentu tak terlalu banyak berharap, bayangan aksi RHCP itulah yang tertanam dalam benak saya saat berjalan memasuki National Stadium Singapura, Kamis (16/2) lalu.
Lewat sedikit dari jam 8 malam waktu lokal, RHCP membuka aksinya dengan Intro Jam seperti biasanya. Michael Balzary alias Flea melompat dengan bass di badannya, Frusciante di gitar, dan Smith duduk di kursi drum. Ya, formasi ini sama seperti pada 1999 usai Frusciante gabung lagi dengan RHCP pada 2019 kemarin.
Aksi opening RHCP itu disambut gemuruh, seolah mengobati kerinduan penonton Asia Tenggara yang setidaknya terakhir kali melihat mereka live saat Formula One 2019 di Singapura.
Kiedis kemudian masuk dengan Fake as F*ck dari album anyar mereka, Return of the Dream Canteen (2022), diikuti Dani California dari Stadium Arcadium (2006), lalu Universally Speaking dari album By the Way (2002).
RHCP memang menampilkan setlist acak malam itu. Mereka membawakan Soul to Squeeze dari Coneheads (1993); Aquatic Mouth Dance, The Heavy Wing, dan Black Summer dari Unlimited Love (2022); lalu Californication, Right on Time, dan Around the World dari Californication (1999).
Kemudian ada pula Hard to Concentrate dari Stadium Arcadium (2006); the Drummer, Tippa my Tongue, dan Reach Out juga dari Return of the Dream Canteen (2022); By the Way juga dari By the Way (2002), lalu ditutup dengan I Could Have Lied dan Give it Away dari Blood Sugar Sex Magik (1991).
Lihat Juga : |
Gembira rasanya mendengar kembali RHCP yang meski sudah genap menginjak milestone 40 tahun, tapi masih tetap rock, funky, dan menyenangkan. Apalagi dengan betotan bass Flea yang skillful dan vokal khas Kiedis di tengah lirik-lirik cepat karangannya sendiri.
Entah apa yang menjadi pertimbangan lagu Fake as F*ck dipilih jadi pembuka, karena seperti yang saya duga, tak banyak penonton yang hafal liriknya.
Dari 40 tahun jejak karier RHCP, mayoritas penonton konser malam itu yang saya duga kelahiran '80-an, mungkin paling akrab dengan album rilisan '90-an hingga 2000-an. Bahkan, bisa jadi berhenti di Stadium Arcadium (2006).
Pada masa itu, karya-karya RHCP memang laku keras dilahap pasar dan membuat band ini bolak-balik jadi nominasi dan menang di ajang penghargaan, termasuk Grammy Awards.
Namun justru banyak lagu hit mereka tak dibawakan pada malam itu. Padahal saya yakin mayoritas penonton --setidaknya saya-- berharap Flea cs melantunkan Can't Stop, Zephyr Song, Scar Tissue dan Under the Bridge.
Mungkin karena konser World Tour Unlimited Love ini memang dirancang dengan klausul membawakan lagu-lagu dari Return of the Dream Canteen (2022) dan Unlimited Love (2022).
Atau, mungkin juga karena band yang gonta-ganti personel lebih dari 10 kali ini ingin membuktikan mereka terus produktif dengan tembang baru, bukan cuma band yang bergantung pada hits lawas.
Lanjut ke sebelah...