Film itu kemudian beralih menjadi kisah Laras dan David berhadapan dengan dunia yang tak adil. Di titik ini, saya semakin yakin Dear David gagal mengemas premis di awal menjadi cerita yang solid.
Perasaan itu terbukti jelang akhir cerita. Adegan yang seharusnya menjadi klimaks puncak perlawanan Laras malah terasa klise dan memaksa, sehingga tidak terlalu berkesan.
Rangkaian adegan penutup itu tak pelak terasa sangat utopis karena sikap seluruh siswa berubah 180 derajat hanya dengan satu orasi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di samping eksekusi premis yang tak optimal, beberapa dialog dalam film ini juga terkesan kaku. Sejumlah aktor terlihat kurang luwes dalam memerankan karakter mereka, meski dialog yang dibawakan relatif sederhana.
Imbasnya, chemistry antar karakter terutama trio Laras, David, dan Dilla (Caitlin North Lewis) kurang terbangun dan tidak begitu membekas.
Meski begitu, sejumlah aspek dalam film ini tetap layak diapresiasi. Sinematografi dan scoring terasa sesuai dengan mood film yang menggambarkan lika-liku anak remaja.
Dear David juga menawarkan gambaran ideal orang tua sebagai sosok yang paling aman dan nyaman bagi anak. Hal itu terlihat dari Hana (Maya Hasan) yang tetap berpihak kepada Laras meski rahasia putrinya terbongkar.
Penggambaran karakter Hana sebagai sosok ibu yang tidak judgemental itu menjadi salah satu aspek terbaik yang paling saya suka dari film ini.
![]() |
Pada akhirnya, eksekusi premis yang kurang optimal itu memicu kontroversi di kalangan penonton. Perdebatan muncul karena Dear David gagal mengakhiri konflik dengan kesimpulan yang tegas.
Keputusan sutradara menyelami berbagai isu secara tak terarah juga membuat film ini sulit diurai. Imbasnya, reaksi penonton terbelah dengan argumen dan pembenaran masing-masing.
Namun terlepas itu, Dear David cukup berhasil melahirkan diskursus hangat yang sanggup bertahan di media sosial selama beberapa hari.