
Review Film: Suzume

Namun alih-alih hanya sekadar menampilkan berbagai cerita fantasi keluar dari reruntuhan bangunan tak terpakai, Shinkai sebenarnya ikut menyoroti pil pahit yang mesti diterima ia dan masyarakat Jepang lainnya: kemusnahan secara perlahan.
Ancaman tersisih karena seleksi alam itu terlihat dari bagaimana Suzume dan Souta menghadapi hal yang keluar dari pintu ajaib tersebut, mulai dari marabahaya hingga kenangan dari manusia yang sempat hidup di sana sebelumnya.
Kenangan akan kebahagiaan, haru, sedih, adalah hal manusiawi yang dialami manusia dalam menjalani kehidupan. Shinkai seolah menegaskan, benda-benda mati seperti bangunan itu adalah saksi bisu yang sesungguhnya dari kehidupan manusia.
Dari pintu itu juga, Shinkai seolah memberikan kesempatan para saksi bisu untuk berbicara, mengisahkan cerita manusia yang mereka lihat saat mereka belum tersisih oleh alam.
Shinkai pun seolah menggambarkan melalui perjuangan yang dilakukan oleh Suzume dan Souta, bahwa manusia akan tetap berusaha maksimal demi bertahan hidup. Sama seperti bagaimana Jepang membuat sistem mitigasi gempa yang begitu canggih.
![]() |
Di luar aspek permasalahan sosial yang dihadapi Jepang, film Suzume tetap menampilkan ciri khas film anime mereka, yakni sebuah sajian visual yang megah tapi tetap terasa romantis.
Film ini masih menggunakan animasi kombinasi antara komputer dan manual, yang mana tetap menjadi sebuah oase di tengah gempuran kecanggihan animasi dan efek visual di era saat ini.
Tak lupa, dramatisasi visual seperti tone hingga silver lining adalah garnis favorit penonton yang wajib dipasang dalam film-film anime Jepang. Jepang memang jagonya dalam membuat dramatisasi dari sebuah animasi.
Meski secara tampilan mungkin terasa tak jauh berbeda dari Weathering with You, Suzume masih menjadi sajian yang berbeda dan patut untuk masuk daftar tonton berikutnya, apalagi bagi penggemar Makoto Shinkai.