Bagaimana memfilmkan salah satu lembaran sejarah paling kelam dan kejam dalam sejarah Asia? Di tangan sutradara Cheng Er, potret itu ditampilkan dalam cara yang dingin, mewah, dan tanpa histeria dalam suatu film bergenre action-thriller.
Hidden Blade (2023) bercerita tentang satu periode dalam sejarah China, tepatnya pada masa 1938-1945 atau Perang China-Jepang (Sino War) kedua, ketika Jepang sukses menduduki berbagai kota penting dan wilayah Manchuria.
Tony Leung (Tuan He), Wang Yibo (Tuan Ye), dan Wang Chuanjun (Tuan Wang) adalah tiga orang yang bekerja pada organisasi di bawah pemerintahan Presiden Wang Jiwei -- tokoh politik yang dijadikan pemerintahan boneka oleh Jepang. Mereka bekerja menggali informasi, memata-matai, hingga mengeksekusi kelompok yang berseberangan dengan mereka, yaitu partai nasionalis Kuomintang di bawah Chiang Kai-shek dan Partai Komunis.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Film ditampilkan dengan cara tak biasa yaitu berupa fragmen layaknya potongan-potongan puzzle, dengan penonton yang akan merangkainya jadi gambaran utuh di akhir film
![]() |
Kerumitan pertama muncul karena film merujuk pada lini masa sejarah yang memang tak begitu familiar bagi saya. Sementara kerumitan kedua adalah alur waktu yang dibuat bergerak maju-mundur, sehingga saya pun tak bisa menebak ke mana titik akhir film ini bahkan hingga separuh jalan.
Gaya non-linear seperti ini adalah ciri khas sutradara Cheng Er yang merupakan seorang auteur. Ia menulis naskah, menyutradarai, hingga mengedit filmnya sendiri sehingga hampir seluruh aspek berada dalam kendali tangannya.
Beruntungnya perjalanan menikmati kerumitan ini tak membosankan. Salah satunya adalah karena level estetika yang patut diacungi dua jempol, bahkan tiga jika memungkinkan.
Mulai dari kostum, aksesoris, sinematografi, setting lokasi, hingga permainan cahaya dan bayangan nyaris tanpa cela sepanjang 128 menit durasi film. Ada banyak sekali potongan gambar yang sangat amat disayangkan jika tidak dilihat dalam layar lebar.
Ini pun terjadi dalam skala mikro dan makro. Mulai dari asap yang menyelimuti kota Guangzhou yang baru saja dibom Jepang, getaran kelopak mata Nyonya Chen (Zhou Xun), hingga ekspresi mata Tuan Ye dalam banyak adegan, rasanya takkan memberikan efek yang sama jika Hidden Blade dilihat secara online.
Keindahan film ini pun sampai hingga telinga. Lagi-lagi, saya akan memberikan nilai nyaris sempurna untuk pengaturan efek suara dan music scoring yang bukan hanya melengkapi adegan, tapi acap kali digunakan menggambarkan pergolakan batin. Betapa nyalakan anjing-anjing buas serta teriakan lantang tentara Jepang yang menghitung mundur eksekusi mati sekelompok orang tak berdaya membuat saya hanya bisa menatap nanar layar lebar.
Uniknya latar suara yang demikian dramatis ini kontras dengan emosi yang ditampilkan oleh para karakter utama. Di bawah polesan sutradara Cheng Er, semua aktor dan aktris bermain dalam 'frekuensi' yang sama: dingin dan tenang walau menghadapi kengerian kematian.
Keran-keran emosi dan intensitas cerita ini pun baru ditinggikan ketika film mendekati sepertiga akhir. Mungkin sebuah kompromi karena sutradara yang ingin menyamarkan identitas dan memberikan efek kejutan di akhir cerita.