Sesungguhnya ketiadaan identitas dari banyak tokoh ini sedikit mengganggu dalam menikmati film. Acap kali informasi diberikan sekelebat lewat detail-detail properti atau dialog panjang yang sangat mudah terlewat jika penonton lengah.
Bahkan pembunuhan salah satu tokoh --yang insidennya menjadi salah satu titik balik penting dalam film ini-- pun tak digambarkan gamblang siapa yang memberikan perintah. Penonton harus menebak sang eksekutor lewat detail-detail adegan sebelum dan sesudah plot tersebut.
Dalam hal ini, bagi saya Cheng Er beruntung karena semua kompromi ini terbayar oleh penampilan para aktor-aktornya yang memang lihai menyampaikan emosi lewat mata dan gestur tubuh. Bagi saya, tak ada satupun yang gagal menjalankan perannya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pujian juga patut diberikan kepada aktor muda Wang Yibo yang memerankan Tuan Ye, sosok yang perannya sentral di paruh kedua film.
Baik ketika berhadapan dengan Tony Leung dalam adu jotos brutal fenomenal berdurasi lama, atau vis a vis dengan Mori Hiroyuki dalam berdialog, ia menunjukkan kematangan dalam berakting dan tak kalah dari dua seniornya. Ia pun berhasil mengeksekusi salah satu adegan klimaks dengan senyum dingin bak seorang psikopat dari atas truk.
Tak heran sutradara memberikannya paling banyak adegan emosional dalam film yang bernuansa dingin.
![]() |
Lagi-lagi saya ingin menekankan kata "dingin" karena sutradara rasa-rasanya memang tak ingin memeras emosi dengan menjual terlalu banyak kengerian, atau menjadikan cerita sejarah sebagai alat katarsis penonton.
Sebagai catatan, perang China-Jepang merupakan perang paling berdarah di Asia di abad ke-20. Hanya dalam waktu delapan tahun, total korban tewas di pihak China lebih dari 20 juta orang dengan mayoritasnya adalah penduduk sipil.
Kengerian ini acap kali digambarkan dalam literatur lewat kalimat "ada darah di setiap jengkal kota-kota yang diduduki Jepang saat itu".
Namun lewat bahasa film Cheng Er, bau amis darah itu tak pernah gamblang. Kebengisan Jepang justru digambarkan lewat dialog pilot pengebom yang mulai kebosanan melihat lanskap alam yang indah dari dalam pesawat, kontras dengan mayat-mayat berserakan pada kota yang baru saja mereka luluhlantakkan.
Atau bagaimana tragedi pemerkosaan puluhan ribu perempuan di kota Nanjing (Rape of Nanjing) dituturkan lewat cara yang paling banal: Tuan Wang yang sembari melahap sarapan bercerita pada Tuan Ye tentang enam perwira Jepang memerkosa dua perempuan di hadapan orang tua korban.
Pada akhirnya, meski dengan narasi yang maju-mundur, saya rasa penonton takkan kesulitan untuk merangkai cerita, atau menangkap alasan film ini dinamai Hidden Blade.
Kerumitan berbalut estetika yang indah dan akting yang mempesona pun berhasil mengajak saya menonton untuk kali kedua.
(end)