Jakarta, CNN Indonesia --
Reality membuktikan bahwa film yang bagus tidak mesti bermegah-megah dan menggelontorkan biaya besar. Cerita yang matang dan penampilan impresif dari para aktor dalam film ini nyatanya mampu membuat saya terpukau.
Rasa penasaran sudah muncul sejak saya membaca premis film ini. Tentang bocornya dokumen intelijen Amerika terkait intervensi Rusia dalam Pemilu AS 2016.
Tina Satter, sang sutradara Reality, mengemas cerita yang berporos pada karakter Reality Winner (Sydney Sweeney), si pelaku yang membocorkan dokumen.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Satter juga secara spesifik mengemas cerita dengan fokus menampilkan momen interogasi Winner dengan dua agen FBI di rumahnya.
Dari situ, Satter mengemas cerita dengan cara yang cukup segar. Ia memakai transkrip asli interogasi di antara keduanya sebagai naskah film.
Pendekatan itu ditempuh agar kesaksian Winner, yang diterjemahkan menjadi film, sama persis dengan kejadian sebenarnya. Tanpa dramatisasi. Tanpa bumbu pemanis lainnya.
Hasilnya pun memuaskan. Interogasi itu berjalan dengan intens meski tidak ada twist-hanya berjalan lurus dari awal hingga akhir.
Interogasi Reality Winner dengan agen Taylor (Marchant Davis) dan agen Garrick (Josh Hamilton) itu juga menarik karena melahirkan banyak pertanyaan soal isu politik dan demokrasi.
Meski demikian, saya tidak menampik film ini bakal lebih mudah dicerna oleh orang Amerika sebagai pihak yang menjadi saksi peristiwa tersebut.
Di sisi lain, saya juga terkesan dengan cara agen FBI melakukan negosiasi untuk membongkar pertahanan Winner. Negosiasi itu berjalan "slow burn" yang semakin panas detik demi detiknya.
Saya bisa merasakan ketakutan Winner karena harus menutup rapat-rapat "dosa"nya. Sebaliknya, kedua agen FBI itu juga "menyerang" Winner dari berbagai sisi dengan pertanyaan yang menguji logika dan psikis.
[Gambas:Video CNN]
Lanjut ke sebelah...
Tak bisa dimungkiri, kengerian itu sangat terasa berkat penampilan menawan Sydney Sweeney. Ia berhasil membawakan karakter Winner yang resah dan rapuh karena menghadapi negara lewat keberadaan FBI seorang diri.
Sweeney juga menampilkan berbagai macam emosi yang terekam jelas lewat ekspresi mikronya, seperti ketika seolah bersikap santai sampai akhirnya benar-benar ketakutan.
Saya rasa film ini menjadi penampilan terbaik Sweeney sejak namanya melejit lewat Euphoria. Ia benar-benar membuktikan kapasitasnya sebagai bintang muda yang patut diperhitungkan.
 Film Reality menjadi penampilan terbaik Sydney Sweeney. (Tangkapan layar YouTube Max) |
Aktris 25 tahun itu juga seolah membungkam komentar miring soal dirinya lewat Reality. Sebab, ia mampu memikul peran besar yang berpengaruh dalam cerita, tidak menjadi pemanja visual semata.
Performa impresif Sweeney kemudian diimbangi dengan penampilan Marchant Davis dan Josh Hamilton yang menjadi agen FBI sekaligus interogator. Keduanya berhasil memerankan peran masing-masing, terutama sepanjang negosiasi yang meresahkan itu.
Saya tak bisa banyak bicara soal aspek visual. Karena, sinematografi yang disuguhkan biasa saja. Itu juga berlaku pada suguhan audio, mengingat tidak ada scoring atau musik yang signifikan sepanjang 82 menit film berjalan.
Aspek teknis itu hanya terasa cukup, bahkan seperti tak ingin ditonjolkan oleh Tina Satter. Reality juga sangat berpotensi menjadi tontonan membosankan karena hanya berisi tanya jawab antara interogator dan pelaku.
Namun, di balik itu semua, Reality menawarkan nilai lain yang tak kalah penting dari aspek sinematografi dan musik. Eksekusi yang terlihat biasa dan terkesan hambar itu justru melahirkan berbagai topik yang menarik untuk dibahas.
Seperti, nasib Reality Winner yang bisa saja dialami oleh orang lain-termasuk kita-jika negara menggunakan kuasanya terlalu jauh.
Eksekusi film ini yang menerjemahkan transkrip asli dari interogasi sebuah badan negara dengan seorang warga juga membuktikan bahwa kenyataan kerap lebih menyeramkan dan mencengangkan dibandingkan kisah fiksi.
[Gambas:Youtube]