Slamet Rahardjo: Teater Tidak Boleh Mati
Teater Populer yang berada di bilangan Tanah Abang, Jakarta Pusat, terlihat sepi. Slamet Rahardjo hanya ditemani beberapa orang penjaga dan yang menyewa kamar kost.
Sanggar itu tidak lagi dipenuhi oleh orang-orang yang berlatih teater layaknya foto-foto yang memenuhi hampir seluruh sudut rumah itu.
Bingkai-bingkai foto yang dipajang di sanggar itu memperlihatkan Teguh Karya, hingga para pemain teater, seperti Slamet dan Christine Hakim, yang sedang melakukan pertunjukan di atas panggung.
Kondisi sanggar Teater Populer itu tampak tampak seperti menggambarkan kondisi teater Indonesia saat ini. Tidak gemerlap seperti di masa kejayaannya dulu.
"Teater itu tidak boleh mati, dan yang tidak mati adalah ilmunya," tegas Slamet saat berbincang dengan CNNIndonesia.com awal Agustus lalu.
Bagi Slamet Rahardjo yang menemukan jati dirinya setelah menginjakkan kaki di atas panggung, teater bakal tetap memiliki kharisma dan posisi yang lebih tinggi daripada film.
Ia bisa memperlihatkan kebolehannya berakting dan mendapatkan respons langsung dari para penonton. Berbeda dari film yang tidak bisa berinteraksi langsung dengan penontonnya.
"Misalnya, aku melakukan apa-apa sampai aku berkeringat. Kalau nanti habis main teater, orang datang ke belakang panggung, 'Aduh, keren Mas Slamet. Aduh, jelek Mas Slamet'," kata Slamet.
"Keringatku belum kering itu. Kalau aku bicara dari sudut kemanusiaan, bangga aku jadi aktor panggung," lanjutnya.
Meski demikian, aktor binaan Teguh Karya itu tetap bangga dengan perkembangan zaman yang akhirnya menghasilkan film dan serial. Ia tetap memandang film memiliki kelebihannya sendiri dibanding teater.
"Tetapi bagaimana dengan film? Jam 3 sore dibangunin aku sama telepon," ujar Slamet. "Aku tidur, dia nonton. Secara psikologis beda kan."
Kepopuleran teater seperti tergerus seiring munculnya medium-medium lain untuk menikmati aksi seni peran. Terutama, ketika kini merebak layanan over-the-top (OTT) yang menyediakan serial dan film untuk ditayangkan secara digital.
Namun keberadaan cara-cara lain bagi Slamet untuk menyalurkan kemampuan aktingnya yang mumpuni tidak lantas membakar semangatnya.
Di sisi lain, Slamet Rahardjo juga tidak merasa khawatir kehadiran teknologi canggih itu bakal "menghabiskan nyawa" teater. Slamet sekadar menilai bahwa ini tandanya peradaban berkembang.
Selain itu, tampaknya tidak mengherankan lagi jika perusahaan rokok sekarang cenderung menyokong komunitas teater untuk memperpanjang napasnya.
Slamet sendiri tidak merasa masalah jika rokok, yang memiliki banyak dampak buruk bagi kesehatan manusia, mendanai teater. Karena, katanya, belum tentu ada yang mau menggantikan posisi perusahaan rokok untuk memperpanjang umur teater.
Permasalahan teater yang tampak seperti mati suri ini harus digali hingga akarnya. Sehingga, menurut Slamet, solusinya tetap berada di tangan pemerintah.
"Andai kata pemerintah konsekuen, harus ada badan yang menggantikan rokok. Bagaimana seharusnya? Tanya pejabat kita, jangan tanya aku." tegas Slamet.
(pra/end)