Jakarta, CNN Indonesia -- Slamet Rahardjo menjadi tangan ke-dua yang menangani Teater Populer setelah pemimpin pertamanya, Teguh Karya, mangkat. Slamet sudah mengenal betul teater itu. Sejak pentas pertama pada 1968, ia sudah terlibat bersama Teguh.
Itu merupakan kelompok teater pertama di Indonesia, yang digagas Soekarno. Mulanya bernama Teater Populer Hotel Indonesia, lalu menjadi Teater Populer.
"Teater Populer sudah ada di Hotel Indonesia, sejak saya belum masuk. Namanya Teater Populer Hotel Indonesia. Ketika Pak Teguh jadi dosen di ATNI [Akademi Teater Nasional Indonesia] dan saya adalah muridnya," tutur Slamet.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Membuat pentas teater bukan satu-satunya pekerjaan Teguh saat itu. Ia juga membuka kelas akting. Banyak selebriti ternama yang dihasilkannya. Tapi Slamet termasuk yang tidak berani menjajal kelas akting itu.
“Karena tidak punya keberanian, major saya adalah
art directing," katanya.
Tapi Slamet terbilang cerewet. Ia sering melontarkan kritik pedas untuk kelas itu. Teguh akhirnya gerah dan meminta Slamet mencoba sendiri. Supaya ia bisa membuktikan mana yang lebih bagus. Ia ikut
casting. Ternyata malah diterima.
“Saya buktikan itu dengan membaca dan melakukan yang diminta, lalu saya diterima dan disarankan mengubah major saya. Tapi sampai sekarang saya tidak mengubahnya, saya tetap belajar art directing dan akting," kata Slamet lagi.
Teguh Karya, Sosok Guru KehidupanMeski Slamet tak mengikuti saran Teguh, ia tak bisa menampik betapa sang pelopor teater dan akting itu adalah guru baginya. Guru kehidupan.
"Dia sangat rendah hati, kami belum tahu apa-apa, dia ajarkan dari hal yang paling sederhana. Dia mengajarkan untuk mencintai pekerjaan. Mencintai itu harus intensif, menganalisis lebih dalam lagi," kenang Slamet.
“Dan akhirnya jadilah saya manusia yang terperangkap manis dalam kesenian. Ternyata seni itu kreativitas, bukan imitasi kehidupan," imbuhnya.
Dari Teguh ia belajar rendah hati. Sehingga ketika membawa pulang Piala Citra di usia masih sangat muda, Slamet tidak sombong. Bangga, tapi merasa masih terus harus belajar sebagai aktor. Terus belajar membuatnya tak sombong.
“Semakin kita tahu, semakin tak bisa banyak berbicara. Semakin malu, ngapain ngomong ini itu," kata Slamet penuh filosofis.
Artis lain yang juga belajar dari Teguh seperti Nano Riantiarno, Christine Hakim, mendiang Alex Komang, dan nama-nama besar lain di dunia perfilman.
Jejak Slamet di Jalur SeniSebagai murid Teguh yang dibawa untuk mendirikan Teater Populer, Slamet kala itu satu angkatan bersama Nano Riantiarno untuk sekolah di ATNI. Tapi dua tahun setelah perjalanan Teater Populer, Nano yang ditemui terpisah mengatakan dirinya memilih mundur dan mendirikan Teater Koma.
Menurut Nano itu karena Teater Populer mulai berubah haluan ke ranah film. Tak sejalan lagi dengan mimpinya di dunia teater. Namun kata Slamet, sebenarnya hanya dirinya yang ‘membelot’ ke film. Teguh malah mengejeknya.
"Suatu hari saya kecewa, ada suatu saat teater didekati sembarangan. Main teater tanpa belajar. Saya tersinggung dan bilang ke Pak Teguh, 'Saya mau ke film.’ Dia bilang, ‘Apa hebatnya?’” Slamet bercerita membuka kenangan.
Pada akhirnya, Slamet memulai karier sebagai aktor pada 1970. Ia membintangi
Wajah Seorang Laki-laki (Ballad of A Man), karya perdana Teguh jua.
Slamet mengaku bisa menyeimbangkan film dan teater. Dasar berfilm, main mimik dan detail wajah, didapatnya dari teater. Hanya mediumnya saja yang berbeda. Jika tidak di Teater Populer, ia mungkin tak belajar hal-hal seperti itu.
 Foto: (CNN Indonesia/ Denny Aprianto) Slamet Rahardjo menjadi pemain sekaligus sutradara dalam lakon 'Suara-suara Mati.' |
Sebagai sutradara, Slamet baru tampil pada acara Pekan Seni Mahasiswa Jakarta, pertengahan 1970-an. Ia menyutradarai
Rambut Palsu (The False Hair) karya Peter Karvas dan keluar sebagai Sutradara Terbaik.
Slamet juga tampil sebagai sutradara teater dan menyutradarai lakon
It Should Happen to A Dog karya Wolf Mankowitz,
Lady Aoi karya Mishima,
Perempuan Pilihan Dewa karya Bertolt Brecht, dan yang paling mendapat tanggapan baik dari para kritikus adalah
Dag Dig Dug karya Putu Wijaya.
Slamet Rahardjo tidak berhenti berkarya. Ia juga terlibat dalam
Antigone karya Jean Anouilh pada September 2006 dan
1001 Malam pada Mei 2009. Yang terakhir adalah ‘Pinangan dan Penagih Hutang karya Anton Chekhov, Maret 2011.
Rembulan dan Matahari (The Moon and The Sun) yang rilis pada 1980 merupakan film pertama yang disutradarai Slamet. Karya itu dicatat oleh para kritikus sebagai film alternatif karena menampilkan bentuk dan gaya penyutradaraan yang berbeda dengan film Indonesia lainnya saat itu.
Penghargaan demi penghargaan pun diterima Slamet, dari nasional maupun internasional. Ia bukan hanya aktor yang baik, tapi juga sutradara hebat.
Saat ini, Slamet masih terus berkarya bersama Teatar Populer dan berbagi ilmu dengan generasi muda penerus dunia seni teater Indonesia. Ia selalu berpesan pada mereka, seperti yang dipelajarinya dari sosok Teguh dan pengalaman, “Seniman itu modalnya hati nurani, tidak pernah membuat orang jadi galau.”
“Seniman membuat orang dalam kebahagiaan, jadi saya berpikir, bahwa kuncinya adalah membahagiakan ibu-bapaknya orang di sekitar," katanya.
Saking cintanya Slamet pada seni, ia sampai berangan, jika kelak ia diambil Tuhan dan dihidupkan kembali, tetap akan memilih seni sebagai jalan hidupnya.
(rsa)