Review Film: The Exorcist: Believer

Endro Priherdityo | CNN Indonesia
Jumat, 06 Okt 2023 20:45 WIB
Review film: The Exorcist Believer susah payah mempertahankan 'nyawa' The Exorcist yang legendaris di tengah selera horor yang sudah berubah.
Review film: The Exorcist Believer susah payah mempertahankan 'nyawa' The Exorcist yang legendaris di tengah selera horor yang sudah berubah. (dok. Universal Pictures via IMDb)
img-title Endro Priherdityo
3
Review film: The Exorcist Believer susah payah mempertahankan 'nyawa' The Exorcist yang legendaris di tengah selera horor yang sudah berubah.

Dengan riasan dan kostum yang saya acungi jempol, Green dan Sattler mempertemukan dilema orang tua menghadapi 'dosa' terpendam yang jadi senjata setan memprovokasi manusia dan muncul dari anak yang mereka cintai.

Belum lagi latar belakang para karakter yang dibuat lebih kompleks juga beragam. Untuk hal ini, saya memberikan apresiasi mengingat kesempatan untuk hal tersebut belum ada pada industri Hollywood pada 50 tahun lalu.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Selain itu, Green dan Sattler juga terlihat mempertahankan nilai-nilai dan ajaran Kristiani yang muncul dalam novel karangan Blatty. Bahkan, saya merasa nilai ajaran Kristiani dalam Believer lebih kental dibanding sepantarannya, meski disajikan dengan cara yang tersirat.

Akan tetapi, nilai itu mungkin akan bertentangan dengan jumlah penonton film yang kini lebih beragam, liberal, serta sekuler dibanding 50 tahun lalu. Maka saya pun tak heran The Exorcist: Believer yang terlihat lebih konservatif ini mendapatkan kritik soal nilai-nilai itu.

Namanya juga film, semua pihak bebas menanggapi dan menginterpretasikan.

The Exorcist: Believer, digarap oleh sutradara David Gordon Green.Review film The Exorcist Believer: Titik krusial film ini adalah bagaimana David Gordon Green dan Peter Sattler menangkap horor dalam diri manusia dalam kemelut saat itu. (dok. Universal Pictures)

Dengan semua yang saya rasakan itu, saya akui film The Exorcist: Believer bukan untuk semua orang. Dan rasanya menjadi sebuah pertaruhan berbahaya bagi Universal Pictures menggelontorkan ratusan juta dolar mengembangkan waralaba ini bila hanya ingin keuntungan.

Seperti adaptasi dalam bentuk serial yang menuai pujian, kisah The Exorcist sejatinya tidak cocok untuk dibuat mengikuti jejak horor pop yang sudah 'mencuci' selera banyak orang sejak 2010-an.

The Exorcist yang asli tidak akan membuat penonton berteriak karena jumpscare, atau penasaran kenapa boneka bisa kerasukan setan, ataupun berbagai fantasi lainnya yang hilir mudik di film horor kontemporer saat ini.

Maka dari itu, ketika David Gordon Green dan Peter Sattler sengaja memasukkan dramatisasi yang hiperbola ala pop dalam The Exorcist: Believer sementara mereka juga susah payah menghadirkan rasa film 50 tahun lalu, nyawa cerita film horor ini bagai terpanggang di neraka, garing kegosongan.

[Gambas:Youtube]



Meski begitu, saya menyadari kondisi Green dan Sattler. Nasib akan selalu dibandingkan dengan sang legendaris The Exorcist dan William Peter Blatty dan beban menampilkan pembuka proyek trilogi yang menghasilkan cuan, jelas memaksa mereka untuk berkompromi.

Toh mungkin memang formula tepat untuk bisa dengan pas mengikuti jejak The Exorcist (1973) belum ditemukan, termasuk oleh Blatty sendiri seperti saat menggarap The Exorcist III (1990). Perlu uji coba tanpa terlalu jauh lari dari esensi kisah aslinya, perjuangan ibu melepaskan anak sematawayangnya itu dari cengkeraman si 'pencuri'.

Saya harap uji coba yang lebih baik dari ini bisa terwujud saat kelanjutan The Exorcist: Believer, Deceiver, tayang pada 2025. Besar harapan saya studio bisa membiarkan sineasnya untuk terlepas dari beban komersil bila ingin secara kreatif menghasilkan penerus sejati The Exorcist yang legendaris.

(end)

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER