Saw X menunjukkan langkah kembali ke resep asli yang sederhana nan autentik adalah kunci menghidupkan kembali waralaba film tersebut yang telah lama lesu.
Sempat jadi film horor-thriller paling ditunggu di era 2000-an, Saw terasa mengalami kelesuan usai Jigsaw tewas dalam Saw III (2006). Waralaba film sadis itu berlanjut dengan ceritanya seakan hilang arah dan menonjolkan aksi gore tanpa alur berarti.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun rasa optimis mulai muncul dalam benak saya setelah melihat trailer Saw X yang dirilis beberapa waktu lalu. Apalagi kalau bukan cerita film ini yang fokus pada kisah balas dendam John Kramer alias Jigsaw.
Berlatar setelah Saw I (2004), kembalinya John Kramer di Saw X ini jadi daya tarik tersendiri setelah sekian lama ia tak jadi sorotan. Apalagi dulu ia dikenal dengan permainan mematikannya dalam menghukum penjahat.
Riwayat Jigsaw yang seolah bagai wakil Tuhan menghukum penjahat memang pernah membuat bimbang kompas moral. Namun dalam Saw X, hal itu tak terjadi. Penonton melepas rindu pada Jigsaw dan tampaknya solid mendukung ia melaksanakan rencana.
Rencana Jigsaw dalam permainan yang keras menantang insting bertahan hidup para target tetap jadi sajian utama dalam Saw X. Akan tetapi, Saw X juga menampilkan sisi lain dari Jigsaw yang selama ini dikenal dingin.
![]() |
Hal itu terlihat dari bagaimana penulis Peter Goldfinger dan Josh Stolberg, serta sutradara Kevin Greutert, berusaha menggugah emosi penonton atas kondisi teranyar Jigsaw di awal film.
Alur emosi penonton yang mulus dimainkan di awal itu secara tidak langsung mengantarkan penonton untuk berada di barisan Jigsaw secara emosional.
Cerita sederhana tentang aksi balas dendam personal dalam Saw X inilah yang saya anggap justru membuat film ini menarik. Kisah itu juga membawa angin segar setelah belenggu kompleksitas tidak jelas alur film sekuel-sekuel Saw sebelumnya.
Pilihan Peter Goldfinger dan Josh Stolberg menempatkan objek jebakan kali ini adalah orang yang pernah menyakiti John Kramer, juga merupakan keputusan yang tepat.
Bagi saya, keputusan itu membuat penonton bisa ikut dalam aksi 'balas dendam' yang dirasakan John saat menguji para korbannya.
Bukan hanya itu. Sejumlah kejutan dalam cerita yang berbeda dari saga Saw lainnya juga jadi keunggulan Saw X. Apalagi, nilai humanisme yang diusung dalam cerita secara tidak langsung mendekatkan penonton pada si karakter utama, John Kramer.
Meski ceritanya sederhana, Saw X tak melepaskan berbagai aksi sadis yang sudah jadi DNA waralaba ini. Bahkan, kesadisan dalam film ini saya rasa sanggup membuat perut penonton bergejolak.
Belum lagi dari alat-alat yang dirancang oleh John untuk menyiksa targetnya. Berbagai alat seperti perangkap sumsum tulang, perangkap bedah otak, dan perangkap terapi sinar radiasi, secara aneh bisa menghasilkan adegan memuaskan bagi penonton.
Bagi saya, durasi 118 menit dari Saw X dikemas dengan padat dan tak membuang-buang waktu. Alur film ini jelas terasa padat, tak bertele-tele, dan membuat semua adegan terasa penting.
![]() |
Sementara itu, Tobin Bell memerankan John Kramer dengan sempurna. Aktor 81 tahun itu berhasil menampilkan sosok Jigsaw yang sadis, tapi juga nelangsa. Meski begitu, tak bisa dipungkiri John jadi terlihat lebih tua dari karakternya yang berusia 50-an.
Selain itu, Shawnee Smith sebagai Cecilia juga sangat mencuri perhatian saya berkat akting bermuka duanya yang berhasil membuat saya jengkel.
Dengan semua keunggulan yang Saw X miliki, film ini sebenarnya masih menyisakan tanda tanya bagi saya. Ada bagian inkonsisten yang rasanya tertinggal begitu saja yang cukup berpengaruh pada alur cerita.
Meski demikian, balik lagi, film ini sangat-sangat layak untuk dinikmati dan jadi obat kangen sajian film gore 'bermoral' yang tak asal-asalan.