Cara film ini membangun konflik juga terasa begitu tergesa-gesa. Lihat saja ketika Asha mengungkapkan angannya kepada bintang, lalu dijawab dengan turunnya bintang bernama Star, kemudian langsung mengubah Magnifico menjadi orang jahat.
Eskalasi itu terasa begitu tiba-tiba, padahal memiliki peluang untuk semakin mencampur aduk perasaan penonton. Kondisi semacam itu pun terjadi dalam beberapa bagian cerita lainnya, terutama pada adegan yang seharusnya dapat terasa lebih emosional.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Wish juga penuh dengan referensi dari film ikonis ciptaan studio besar tersebut selama seabad terakhir. Referensi itu muncul dalam wujud easter egg yang jumlahnya amat banyak dan tersebar sepanjang cerita.
Berbagai referensi itu membuat saya antusias memburu easter egg yang muncul dalam adegan, dialog, atau desain visual. Namun, keseruan itu ternyata cukup membuat saya terdistraksi dari cerita utama.
Saya rasa kecenderungan semacam ini bisa saja dialami orang lain. Apalagi ketika cerita yang disuguhkan punya banyak kelemahan dan tidak membuat betah penonton.
Easter egg yang bergelimang itu pun menjadikan Wish lebih terasa seperti film penghormatan atas perjalanan 100 tahun studio anak-anak itu, daripada film animasi yang berdiri sendiri.
Jika diibaratkan dalam dunia musik, film ini mungkin seperti lagu spesial yang liriknya diambil dari lagu-lagu ikonis sang musisi dalam album terdahulu.
Namun, segala kritik itu rasanya tak terlalu berarti saat menyadari bahwa Wish sejak awal ditujukan untuk anak-anak. Narasi dan pesan yang dibawa dalam film ini memang murni, pas dengan target penontonnya.
Saya juga merasa familier dengan sentuhan-sentuhan cerita, musik, hingga visual yang disuguhkan. Mungkin karena film ini mampu menghidupkan lagi memori masa kecil semasa banyak menyaksikan film anak.
Kenyamanan ini rasanya cukup untuk membuat Wish pantas ditonton anak-anak, atau bagi orang dewasa yang ingin bernostalgia sambil berburu easter egg Snow White, Cinderella, Peter Pan, dan kawan-kawannya.
(end)