Sementara itu Candra menyebut, meski terlihat lebih sederhana dan meyakinkan, sistem langsung juga memiliki kelemahan dibanding blanket licensing, yakni ketimpangan antara pencipta lagu populer dan non-populer.
"Sistem direct licensing mengandung resiko para pencipta kecil terabaikan, walaupun pencipta lagu top bisa memperbaiki nasibnya," kata Candra.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kalau sistem blanket tarifnya pasti, sedangkan sistem direct bisa bervariasi, membuat ketidakpastian di pihak pembayar dan penerima," lanjutnya.
Hal senada juga diungkap oleh pengacara dan musisi Kadri Mohamad. Ia menilai penerapan direct licensing akan memperumit akses penggunaan lagu secara luas, bukan cuma ke pencipta, tapi juga penikmat musik.
Dengan direct licensing, menurut Kadri, para penikmat musik akan semakin sukar mendengarkan lagu favorit masing-masing karena adanya limitasi dari penerapan sistem langsung itu.
"Ini ada dampaknya bukan hanya kepada komposer, tetapi ke ekosistem musik secara keseluruhan. Misal komposer kecil, komposer yang sudah senior, lalu penikmat musik juga," jelas Kadri.
"Misal, 'wah gue kepingin dengarkan lagu ini tapi cuma dibawakan sama si ini'. Kalau pakai yang biasa itu kan normal, nah kalau pakai direct licensing ya jadi enggak boleh lagi. Nanti disomasi lagi," imbuhnya.
Di sisi lain, akademisi hak kekayaan intelektual, Sahat Sidabukke, menerka adanya pemahaman yang tak selaras dalam memandang royalti milik pencipta lagu.
Melalui amatannya, Sahat melihat adanya celah dalam penerapan peraturan hak cipta yang diatur dalam UU Hak Cipta no. 28 tahun 2014 yang mudah untuk dimanfaatkan oleh penyelenggara konser.
"Musisi itu kalau masuk ke dalam suatu konser, dia kan mendapatkan suatu bayaran yang lain, iya kan? Sementara pencipta kan tidak," jelas Sahat yang merupakan dosen Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan itu.
Celah dalam penerapan peraturan tersebut, menurutnya, menjadi pemantik hingga akhirnya para pencipta lagu 'berteriak' tak menerima royalti yang layak dari hasil karya mereka.
Menurut Sahat, perlu diadakannya kajian ulang terkait konsensus bersama mengenai royalti yang berhak diterima oleh pencipta. Ia merasa, setiap karya lagu yang dinyanyikan oleh penyanyi, maka pencipta juga wajib menerima hak ekonomi dari penampilan tersebut.
"Ketika penyelenggara mempertunjukkan suatu penyanyi dari pencipta lagu berbeda, berarti dia juga harus ada suatu lisensi yang harus dibayarkan kepada pencipta," jelas Sahat.
"Jadi enggak cuma kepada para pelaku pertunjukan [penyanyi] saja," imbuhnya.
"Itu ada yang namanya hak dari pencipta, hak ekonomi dari pencipta. Yang salah satu poinnya itu adalah pertunjukan ciptaan, mengumumkan ciptaan, yang di mana untuk ini, dia [pencipta] dapat hak ekonominya." kata Sahat.
(far/end)