Review Film: Hijack 1971
Saya harus meminta maaf terlebih dahulu untuk Hijack 1971 karena sempat underestimate dengan film ini. Nyatanya, terlepas dari kelemahan yang ada, saya sangat hanyut akan cerita film yang dibintangi Ha Jung-woo tersebut.
Secara umum, kisah Hijack 1971 yang ditulis Kim Kyung-chan mungkin terbilang klasik, yakni soal pesawat yang dibajak. Ada beribu macam film soal pembajakan pesawat, dan sangat sedikit yang benar bisa saya menikmatinya.
Namun Kim Kyung-chan punya formula khusus dalam meramu Hijack 1971, yakni bumbu khas sinematik Korea yang kental akan unsur humanisme berbalut tradisi serta kultur Korea Selatan.
Bagi mereka yang terbiasa menyaksikan film-film Korea, mestilah merasakan 'bumbu' cerita tersebut sejak sepertiga awal film ini dimulai. Seperti saat merasakan ada bumbu gocujang atau wijen yang khas di setiap hidangan Korea.
'Gocujang' dalam Hijack 1971 tersebut tergambar dari profil 55 penumpang yang dibawa dalam pesawat Korean Air Flight F27 dengan nomor penerbangan HL5212 dan dikemudikan oleh Gyu-sik (Sung Dong-il) selaku kapten, serta Tae-in (Ha Jung-woo) sebagai kopilot.
Lima puluhan orang tersebut terdiri dari berbagai lapisan masyarakat, kelas bawah hingga atas, pedagang kecil hingga pengusaha, sampai pejabat pemerintah yang norak.
Dari anak yang berbakti, hingga anak yang malu akan orang tuanya juga ada di pesawat tersebut. Belum lagi dengan orang Korea yang sok ke-barat-baratan, hingga mereka yang masih menggenggam tradisi khas Korea Selatan.
Namun satu hal yang kentara terlihat dan ini juga disesuaikan dengan latar cerita pada dekade '70-an adalah 'perang' ideologi antar dua negara yang sebenarnya satu rumpun, Korea Utara dengan Korea Selatan.
Pada dekade '70-an, Korea Selatan masih diselimuti dengan kemiskinan, ketimpangan sosial, dan sentimen anti-komunis pasca Perang Korea 1950-1953.
Masalah sosial dan politik itu digambarkan dengan jelas oleh Kim Kyung-chan dalam mengurai cerita Yong-dae (Yeo Jin-goo) sebagai pelaku pembajakan, dan bagaimana lingkungannya berinteraksi dengannya.
Kim Kyung-chan dengan cerdas menggambarkan dua sisi Yong-dae, satu sebagai pelaku pembajakan yang egois, tak berperikemanusiaan, dan bikin penonton emosi, serta sisi lain adalah korban dari diskriminasi sosial dan kemiskinan yang membuat iba.
Gambaran akan Yong-dae itupun ditampilkan menawan oleh Yeo Jin-goo. Sejak awal, karakter Yong-dae memang mudah tertanda. Namun Yeo Jin-goo berhasil membawakan sisi lain yang tak terungkap dari Yong-dae hingga menyempurnakan pesan dari Kim Kyung-chan.
Perubahan karakter dan emosi kisah Yong-dae juga terlihat dengan jelas, yang sanggup membuat penonton berada dalam posisi gamang menentukan sikap, segamang Tae-in yang ditampilkan Ha Jung-woo.
Seperti pada kebanyakan film Ha Jung-woo lainnya, tak banyak perbedaan yang bisa saya rasakan dalam penampilannya di film ini. Padahal, karakter Tae-in mestinya bisa dimainkan dengan lebih sempurna oleh Ha Jung-woo yang merupakan aktor papan atas Korea.
Namun karakter Tae-in, dengan segala kemalangan hidup yang ia alami akibat prinsip kebenaran serta kemanusiaan yang ia anut, terkesan tak memiliki taji yang berarti dalam film ini.
Memang, peran Tae-in sebagai pahlawan dalam Hijack 1971 tak akan terbantahkan. Namun saya merasa penampilan Ha Jung-woo membawakan Tae-in cuma "ala kadarnya", tak berbeda saat ia membawakan saga Along With The Gods (2017-2018), atau Ashfall (2019), atau bahkan The Closet (2020).
Ha Jung-woo yang 'semestinya' menjadi penampil utama yang menyita perhatian cerita justru tersaingi dengan penampilan pemain lainnya, seperti Yeo Jin-goo, Sung Dong-il, atau bahkan Lee Han-bong yang menjadi bocah penumpang di pesawat itu.
Beruntungnya, aksi Ha Jung-woo yang tak terlalu spesial itu tergantikan dengan thriller di atas pesawat yang sukses ditampilkan Kim Seong-han selaku sutradara.
Ketegangan itu tersampaikan dengan cukup baik, mungkin karena faktor latar lokasi yang sempit, terbatas, dan tak menggambarkan pesawat modern dengan segala kecanggihan fitur keamanannya.
Hal ini juga yang membuat saya ingin mengapresiasi tim desainer produksi Hijack 1971. Mereka sukses membuat mesin waktu berupa pesawat dan mengirimkan penonton ke masa 50 tahun lalu dengan berbagai detail yang tak terlewatkan pada zaman itu.
Meski begitu, terlepas dari kemampuan Kim Seong-han dalam menampilkan ketegangan pembajakan di dalam pesawat, saya justru menyayangkan selera dan hasil supervisinya atas efek visual film ini.
Efek visual Hijack 1971 seolah dibuat dengan software untuk Windows 95 dan ditampilkan dalam layar yang menuntut standar software abad 21. Apalagi, Kim Seong-han sok-sokan menggunakan efek time freeze yang bagi saya malah jadi lawak dan norak di film ini.
Namun saya bersyukur Kim Seong-han tak banyak melakukan modifikasi cringe seperti itu, dan sejak pertengahan hingga akhir Hijack 1971, saya menikmati terbajak dalam naskah yang ditulis Kim Kyung-chan.