Mengungkap Asal Usul Kata Suro
Malam ini, Kamis (26/6), adalah malam satu Suro yang bersamaan dengan malam 1 Muharram dalam kalender Hijriah. Banyak masyarakat Jawa menilai malam ini sebagai momen yang sakral dan nuansa spiritual begitu kental.
Masyarakat Jawa juga kerap menggelar sejumlah tradisi untuk memperingati malam satu Suro, mulai dari pencucian pusaka, kirab pusaka, hingga refleksi diri sebelum menjalani tahun baru.
Lihat Juga : |
Apa sebenarnya asal usul kata Suro?
Kata Suro sendiri berasal dari kata Asyura dalam bahasa Arab. Kata Asyura bermakna sepuluh, yang merujuk pada 10 Muharram. Hari Assyura memiliki makna historis dan religi yang mendalam bukan hanya bagi Islam, tetapi agama samawi lainnya, yaitu Yahudi dan Nasrani.
Muharram merupakan bulan pertama dalam kalender Hijriah. Dengan begitu, Suro digunakan sebagai nama bulan pertama dalam gabungan penanggalan Jawa dan Islam.
Gabungan penanggalan itu tak bisa terlepas dari sejarah ketika Sultan Agung, yang menguasai Mataram pada 1613-1645, membuat kebijakan revolusioner fundamental: menyatukan kalender Saka dan Islam Hijriyah.
Menurut Japarudin dalam tulisannya bertajuk Tradisi Bulan Muharram di Indonesia dan terbit di Jurnal Tsaqofah & Tarikh Vol 2 Nomor 2 Juli-Desember 2017, penanggalan Saka merupakan perpaduan dari Jawa asli dan Hindu.
Japarudin yang mengutip Hersapandi dalam Sejarah Perkembangan Tahun Baru Jawa dan Perilaku Sosial-Budaya Orang Jawa: Suatu Pengantar (2005), menyebut perubahan sistem kalender oleh Sultan Agung ini terjadi dan dimulai pada 1 Sura tahun Alip 1555 yang bertepatan pada 1 Muharam 1043 Hijriyah, atau 8 Juli 1633 Masehi.
"Jika dibandingkan dengan penyambutan tahun baru Masehi (malam 1 Januari) maupun tahun baru Cina (Imlek), yang umumnya disambut dengan euforia dan berbagai kemeriahan, akan tetapi tahun baru Suro disambut dengan renungan introspeksi diri dan berbagai ritual, satu aktivitas euforia yang berbeda," tulis Japarudin.
Keistimewaan 1 Suro semakin terasa kental dan keramat saat dua kerajaan peninggalan Mataram, Kraton Solo dan Kraton Yogyakarta, melestarikan tradisi menyambut 1 Suro dan menjadi perhatian publik.
Ada berbagai ritual hingga tradisi yang dilakukan dua kraton pusat budaya Jawa tersebut, mulai dari mengarak benda pusaka mengelilingi benteng kraton, ritual mubeng beteng yang melarang pesertanya berbicara seperti orang bertapa, hingga kirab malam yang dipimpin Kebo Bule Kyai Slamet.
Selain tradisi yang mengundang massa, tradisi jelang 1 Suro juga dilakukan secara individu oleh banyak orang Jawa.
Tradisi tersebut mulai dari tirakat atau kegiatan introspeksi diri, lek-lekan atau tidak tidur semalam suntuk, Kungkum atau berendam di sungai besar atau sumber air, hingga membersihkan keris.
Tradisi berkaitan dengan 1 Suro itu pun bukan hanya dilakukan oleh orang Jawa di kisaran Mataram seperti Solo dan Yogyakarta, tetapi juga menyebar hingga Cirebon juga Madura.
(end)