Jakarta, CNN Indonesia --
Tahun Baru Islam dan kehadiran bulan Muharam seringkali diisi dengan berbagai ritual, terutama oleh umat muslim Jawa. Sejatinya, ritual dan tradisi bulan Suro mulanya diyakini sudah dilakukan masyarakat Timur Tengah sejak era sebelum Islam, ribuan tahun lalu.
Dalam sebuah artikel bertajuk Muharam dan Asyura Antara Ajaran Agama dan Tradisi yang rilis di situs UIN Raden Mas Said Surakarta pada 2015, Akademisi Studi Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Ja'far Assegaf menjelaskan tradisi pada bulan Muharam tidak terlepas dari kepercayaan akan hari Asyura.
Hari Asyura merupakan hari ke-10 dalam bulan Muharam di penanggalan Hijriyah. Meski begitu, hari Asyura disebut Ja'far sudah menjadi bagian dari keyakinan bangsa Arab bahkan semenjak dahulu kala.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sumber yang ada menyatakan, sebelum Islam muncul, masyarakat Arab suku Quraisy telah melakukan ritual puasa di hari Asyura, karena pada hari itu mereka mengganti kain kiswah Baitullah [Ka'bah] sebagai bentuk penghormatan mereka pada rumah suci Allah SWT tersebut (HR. Bukhari 194-256 H)" tulis Ja'far dalam artikel itu.
Bahkan lebih jauh dari era Quraisy yang menjadi latar sosial-budaya kelahiran Nabi Muhammad, Ja'far menulis bahwa banyak riwayat menyebut puasa Asyura juga dilakukan masyarakat Yahudi juga Nasrani, alias agama-agama samawi sebelum kedatangan Islam.
Semua didasarkan pada momen-momen bersejarah dalam kitab-kitab suci agama-agama samawi itu, seperti gelombang banjir bandang Nuh, selamatnya Musa dari kejaran Fir'aun, ketika Ibrahim melawan Namruj, atau saat Yunus selamat dari perut ikan paus.
[Gambas:Video CNN]
Menurut Ja'far mengutip kitab al-firdaus bi Ma'tsur al-khitab karya al-Dailami (wafat 509 H), kejadian-kejadian itu diyakini oleh umat agama samawi terjadi pada hari Asyura.
"Kejadian itu bagi mereka sebuah kenikmatan luar biasa, sehingga dijadikan tradisi untuk menyambut keselamatan Musa tadi dengan cara berpuasa," kata Ja'far saat berbincang dengan CNNIndonesia.com, baru-baru ini.
"Nah di sini, kemudian Nabi Muhammad [bahasa sederhananya] mengatakan 'kami [muslim] berhak [untuk ikut merayakan]. Tapi untuk membedakan, Nabi kemudian menganjurkan puasa di hari 9 dan 10 Muharam, yaitu Tasu'a dan Assyura," katanya.
Sehingga, beragam ritual menyambut Asyura pada Muharam yang kini identik dengan tradisi umat muslim, "awalnya bermula dari tradisi yang mungkin dianggap baik oleh Islam, kemudian dilegalisasi," kata Jafar.
Bukan hanya tradisi puasa yang diadaptasi oleh Islam menjadi bagian dari syariat. Beberapa kebiasaan masyarakat pra-Islam juga diadaptasi dan disesuaikan dengan misi Islam yang dibawa Nabi Muhammad, salah satunya tawaf mengelilingi Ka'bah.
Ja'far lalu menjelaskan, bulan Muharam begitu diagungkan oleh umat agama samawi pada saat itu. Pengkultusan ini kemudian menjadi landasan hukum bahwasanya tradisi puasa pada hari Asyura adalah wajib kala itu.
Namun ketika Nabi Muhammad menerima perintah puasa di bulan Ramadan pada 10 Syaban 2 Hijriah/624 Masehi, status "puasa wajib" saat Asyura "bergeser" menjadi sunah bagi umat muslim.
Lanjut ke sebelah...
Meski begitu, Muharam tetap diagungkan. Hal itu terlihat dari larangan berperang bagi umat muslim kala itu di empat bulan asyhurul hurum, yaitu Rajab, Dzulqadah, Dzulhijjah, dan Muharam, sesuai dengan tafsir para ulama.
Ja'far menyebut, Muharam juga sampai saat ini terbilang lebih banyak memiliki konteks riwayat keunggulan dibandingkan tiga bulan asyhurul hurum lainnya, salah satunya adalah peristiwa-peristiwa bersejarah para nabi sebelum era Islam.
"Jadi di sini kita bisa melihat kekhususan di bulan suci Muharam ini," kata Ja'far.
Mengenang Duka Karbala
Kekhususan Muharam dan Asyura ini semakin bertambah ketika tragedi pembunuhan Karbala terjadi pada 10 Oktober 680 atau 10 Muharam 61 Hijriyah. Pada momen itu, cucu Nabi Muhammad SAW, Husain bin Ali terbunuh.
Husain diriwayatkan terbunuh dalam Pertempuran Karbala, sebagai puncak dari perselisihan panjang antara dirinya dengan keluarga Muawiyah yang menjadi khalifah pertama Dinasti Muawiyah.
Peristiwa yang dianggap sebagai momentum syahid tersebut dinilai menambah kesakralan hari Asyura. Kematian Husain dianggap sebagai perwakilan bahwasanya bulan Muharam bukan hanya momentum para nabi selamat dalam rangka berdakwah, tetapi juga peringatan akan duka.
 Peringatan hari asyura di Iran. (AP/Anjum Naveed) |
"Perlu diingat bahwa keberhasilan tidak hanya dipahami sebagai perolehan kesuksesan saat orang yang berusaha itu masih hidup, tapi akibat usahanya tersebut terjadi perubahan sosial yang luar biasa meskipun orang tersebut telah tiada, bahkan menjadi martir," tulis Ja'far dalam artikelnya.
"Jalan yang Husein lalui memiliki karakter tersendiri, karakter jalan para nabi saat menghadapi para diktator, tirani, dan pembela status quo," lanjutnya.
"Jalan yang Husein tempuh dari aspek moril kemanusiaan bahkan mengikhlaskan nyawanya melayang untuk mengembalikan khilafah pada poros kenabian," tulis Ja'far.
[Gambas:Photo CNN]
Peringatan duka kehilangan Husain ini yang mendorong banyak umat muslim memperingatinya dengan berbagai cara, mulai dari kegiatan yang kini dikenal sebagai festival asyura di Iran, hingga bubur merah dan putih oleh masyarakat di pulau Jawa.
Menurut Japarudin dalam tulisannya bertajuk Tradisi Bulan Muharram di Indonesia dan terbit di Jurnal Tsaqofah & Tarikh Vol 2 Nomor 2 Juli-Desember 2017, masyarakat Madura, Tasikmalaya, dan Garut, membuat bubur dua warna di bulan Suro sebagai simbol peringatan tragedi itu.
"Warna merah pada Tajin Suro [di Madura] dimaknai, sebagai gambaran darah Sayyidina Husein, putih itu menggambarkan kesucian perjuangan Sayyidina Husein," tulis Japarudin.
"Tradisi bubur suro merupakan salah satu cara yang dilakukan masyarakat Jawa Barat (khususnya Tasikmalaya dan Limbangan, Garut) untuk menyambut datangnya bulan Muharam sekaligus mengenang wafatnya cucu Nabi Muhammad SAW di medan peperangan," lanjut Japarudin.
Berbagai cara itu dinilai Ja'far sebagai bentuk pemaknaan esensi Muharam yang berlandaskan perjuangan, kesuksesan, hingga pengorbanan para nabi juga orang mulia di masa lalu, yaitu mendahulukan kebajikan sosial, seperti saling berbagi dan menolong, di atas kebaikan individualistis semacam sunat hingga pernikahan.
"Memang bulan-bulan itu kan bulan yang dalam sisi histori memberikan gambaran perjuangan para nabi. Maka di sini kita harus hilangkan ego individualisme kita dulu, kita berjuang secara kolektif bagaimana para nabi, setelah itu monggo. Kalau saya melihat seperti itu saja," kata Ja'far.
"Tapi sebenarnya secara eksplisit tidak ada larangan [untuk menikah atau sunat pada bulan Muharam]." katanya.