Saksi ahli linguistik atau bahasa Frans Asisi dihadirkan dalam sidang dugaan pemerasan dan TPPU Nikita Mirzani di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Kamis (25/9). Ia membedah percakapan antara Reza Gladys dan asisten Nikita Mirzani, Ismail atau Mail.
Salah satu yang ia beberkan adalah Nikita Mirzani disebut tidak terlibat langsung dalam pengancaman Reza Gladys. Menurutnya, Nikita yang kini jadi terdakwa hanya dibawa-bawa Mail dan Reza Gladys.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Frans Asisi mengaku menelaah bukti percakapan keduanya dalam periode 13-15 November 2024. Berdasarkan penelaahan itu, ia menyatakan tidak menemukan pesan langsung dari Nikita Mirzani kepada dua pihak tersebut.
"Kalau saya lihat percakapan, WA itu, tidak pernah terdakwa itu menyampaikan sesuatu secara langsung kepada seseorang yang dalam percakapan antara Dok (Reza Gladys) dengan Mail," kata Frans Asisi seperti diberitakan detikcom, Kamis (25/9).
"Nikita Mirzani tidak pernah dari percakapan tanggal 13, 14, 15, tidak ada chat WA langsung dari, terdakwa Nikita Mirzani kepada dua orang itu," ia menegaskan.
"Mail dan Reza itu melibatkan terdakwa [Nikita Mirzani] dalam proses negosiasi mereka," tuturnya.
Jaksa Penuntut Umum kemudian mengonfirmasi ulang mengenai potensi keterlibatan Nikita Mirzani dalam komunikasi antara Mail dan Reza Gladys. Frans Asisi pun teguh dengan hasil analisisnya tersebut.
"Tidak terlibat langsung oleh Terdakwa sendiri?" tanya JPU.
"Betul," tegas Frans Asisi.
Dalam sidang, Frans Asisi juga menilai tidak ada unsur pemerasan dalam percakapan Mail dan Reza Gladys. Ia menyoroti pola komunikasi yang menyertakan ajakan, tawar menawar, serta permintaan bantuan.
Menurutnya, kalimat yang berulang dalam percakapan keduanya lebih tepat dipahami sebagai upaya mencari jalan keluar bersama ketimbang pemaksaan. Pendekatan itu menekankan fungsi sosial bahasa dalam situasi negosiasi bisnis.
"Tidak ada makna pemaksaan," ucap Frans.
"Dalam dunia bisnis tidak ada yang gratis, semua ada bayarannya. Dari segi bahasa, tidak ada ancaman atau pemerasan. Itu adalah komunikasi bisnis yang sangat normal. Kalau ada tekanan, orang tidak akan menyebut angka dalam negosiasi," ia menerangkan.
Frans Asisi kemudian memberi contoh pembeda antara kalimat negosiasi dan ancaman. Dalam rekaman percakapan yang ia analisis, ia tak menemukan unsur yang memenuhi kriteria ancaman tersebut.
Sehingga, ia menekankan kalimat yang dianalisis dalam percakapan Mail dan Reza Gladys bukan dengan ancaman eksplisit yang mengarah pada kekerasan atau tekanan psikis.
"Ancaman itu harus jelas, misalnya menyebut akan melukai atau melakukan tindakan yang membuat seseorang merasa terancam jiwanya. Itu tidak saya temukan di sini. Yang ada hanya lah diskusi bisnis, opini, dan permintaan tolong," Frans menjelaskan.
"Ancaman itu misalnya, 'Saya akan membunuh kamu!' atau 'Saya akan melaporkan kamu', yang membuat seseorang terancam jiwanya. Itu tidak saya temukan dalam percakapan ini," ujarnya.
"Hanya ada seseorang terkena masalah, yang lain ingin meminta tolong, tapi ya meminta tolong dalam bisnis tidak ada yang gratis," ia menegaskan.
Frans Asisi dikenal sebagai akademisi dari Universitas Indonesia yang pernah memberikan keterangan ahli di beberapa perkara besar, seperti kasus Ferdy Sambo, Hasto Kristiyanto, dan Gayus Tambunan.
Selain Frans Asisi, sidang pada 25 September juga menghadirkan Suparji sebagai ahli hukum pidana, serta Subani sebagai ahli hukum perdata.
Nikita Mirzani bersama asistennya, Ismail Marzuki alias Mail Syahputra, didakwa melakukan pengancaman melalui sarana elektronik terhadap Reza Gladys. Keduanya juga dijerat atas tuduhan pencucian uang.
Jaksa Penuntut Umum mendakwa Nikita Mirzani dan Mail Syahputra dengan Pasal 45 ayat 10 huruf A dan Pasal 27B Ayat (2) dari UU ITE, sebagaimana diubah dalam UU No. 1 Tahun 2024, serta Pasal 3 UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencucian Uang, yang dikaitkan dengan Pasal 55 Ayat 1 KUHP.
(chri)