PENEMBAKAN PARIS

Satirisme Tak Bisa Lepas dari Perancis

Hanna Azarya Samosir | CNN Indonesia
Kamis, 15 Jan 2015 21:22 WIB
Satirisme adalah buah dari perjuangan demokrasi di Perancis dan karena itu tak bisa lepas dari budaya masyarakatnya.
Dalam beberapa jam, edisi terbaru Charlie Hebdo yang menampilkan kartun Nabi Muhammad laris terjual di Perancis pasca serangan. (Reuters/John Schults)
Jakarta, CNN Indonesia -- Pasca serangan terhadap kantor majalah satire Charlie Hebdo di Perancis, banyak pihak melakukan kajian apa sesungguhnya akar masalahnya.

Menurut pengamat politik dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Andar Nubowo, insiden ini merupakan puncak gunung es dari masalah sosial, politik dan ekonomi di Perancis.

Di awal perbincangannya, Andar menekankan bahwa Perancis adalah negara pelopor demokrasi. "Satirisme tidak bisa lepas dari Perancis. Itu adalah buah dari demokrasi," ujar Andar dalam diskusi Kekerasan Charlie Hebdo: Antara Kebebasan Pers dan Toleransi Kehidupan Umat Beragama di Kantor Center for Dialogue and Cooperation among Civilisations (CDCC), Jakarta, Kamis (15/1).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurut Andar, demokrasi di Perancis berbeda dengan negara lain. Di sana, kebebasan berekspresi sangat dijunjung. Menegaskan maksud Andar, Andreas Harsono, peneliti dari Human Rights Watch yang juga menjadi salah satu pembicara mengatakan, "Di Perancis itu orang pendatang dipaksa untuk mengikuti demokrasi kuat mereka," katanya.

Kebebasan berekspresi tersebut kemudian dimanfaatkan oleh kaum satire seperti Charlie Hebdo. Majalah tersebut memang terkenal dengan cemoohan terhadap agama, tak hanya Islam, tapi semua aliran. "Katolik juga pernah diserang dengan kartun lelucon Tuhan Yesus. Sering," kata Andar.

Olokan agama ini seolah dihalalkan di Perancis karena adanya motto laicitte alias sekularisme yang dipegang teguh. "Bagi mereka, Nabi Muhammad sama saja dengan orang lain," ungkap alumni School for Advanced Studies in the Social Sciences di Perancis ini.

Sekularisme di Perancis dianggap Andar berbeda dengan negara lain. Menurutnya, Perancis sangat keras menerapkan sekularisme.

Pengamat sosial budaya, Franz Magnis Suseno, kemudian membeberkan bahwa kerasnya sekularisme di Perancis terlahir dari trauma masa lalu bangsa.

"Pada 1905, ada perang besar antara Katolik dan Kristen di Perancis. Pastur dan suster disiksa dan dibunuh. Akhirnya mereka menganggap agama sebagai pemecah persatuan," tutur Romo Magnis.

Setelah perang usai, dikeluarkan regulasi larangan pemakaian salib atau lambang keagamaan lainnya di Perancis. Umat Katolik dan Kristen akhirnya bisa menerima aturan tersebut kemudian berbaur.

Islam dianggap menerima akibat dari pengalaman pahit tersebut. "Islam sekarang kena getahnya," kata Magnis.

"Getah" yang dimaksud Magnis kemudian dijabarkan oleh Andar. "Pada era 1960-an setelah Perang Dunia II, banyak warga negara bekas jajahan Perancis seperti Tunisia, Aljazair, dan Pantai Gading, yang kebanyakan Muslim menderita," paparnya. Mereka akhirnya hijrah ke Perancis untuk mencari kehidupan yang lebih baik dari negara asalnya.

Selain belum dapat beradaptasi dengan sekularisme kuat, krisis ekonomi yang tengah melanda Perancis juga turut menekan para imigran. Mereka yang tadinya ingin mencari gelimang harta malah berujung di perumahan kumuh.

Kegagalan Eropa terutama Perancis mengatasi krisis ekonomi dijadikan senjata oleh sindikat Islam radikal. "Mereka menyusup dan menebarkan pikiran kepada para pemuda galau itu bahwa sekularisme jahat. Membuat mereka miskin," ungkap Andar.

Para penebar ajaran tersebut menjanjikan ketenangan dan solidaritas dalam Islam radikal. Hingga akhirnya orang-orang seperti Kouachi bersaudara—pelaku penyerangan Charlie Hebdo—terlahir kembali.

Berangkat dari analisis tersebut, Andar menganggap sebenarnya masalah terorisme di Perancis bisa diselesaikan dengan deradikalisasi. Proses tersebut dapat dilakukan dengan perbaikan perekonomian.

Berdasarkan pengalaman Andar selama menuntut ilmu di Perancis, umat Islam di sana terbagi jadi dua, radikal dan liberal. Kaum liberal biasanya merupakan orang terpelajar dan dapat menerima satirisme. Kaum radikal sendiri datang dari kelas menengah ke bawah atau imigran.

"Di sini bisa dilihat korelasinya. Kalau pemerintah bisa mengatasi krisis, tentu bisa melakukan deradikalisasi," pungkas Andar.

Majalah satire Charlie Hebdo diserang Rabu (7/1) lalu, menewaskan 12 orang, termasuk dua orang polisi. Rentetan kekerasan yang mengikutinya—penembakan seorang polwan dan empat sandera di swalayan Yahudi di Paris—membuat itu menjadi peristiwa yang paling mematikan di Perancis dalam beberapa tahun terakhir.

Tepat seminggu setelah serangan, majalah satire itu kembali menerbitkan sampul yang menampilkan kartun Nabi Muhammad memegang tulisan “Je Suis Charlie” yang berarti “Saya Charlie” disertai tulisan diatasnya yang berbunyi “Semua Dimaafkan”. (stu)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER