Phnom Penh, CNN Indonesia -- Rekaman CCTV itu buram tetapi cukup jelas. Seorang pria bersenjata berdiri di dekat korban sambil menembakkan pistolnya berkali-kali hingga jalan di Phnom Penh bersibak darah.
Pembunuhan keji pengusaha Kamboja Ung Meng Cheu oleh orang tak dikenal pada 22 November ini mengejutkan negara itu.
Rekaman pembunuhan pun tersebar luas di Facebook dan WhatsApp dan membuat kepolisian Kamboja yang biasanya lambat, dengan cepat menangkap enam orang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tayangan pembunuhan ini memperlihatkan kekuatan media sosial yang semakin tinggi di negara yang penggunaan internet di kalangan anak muda bertambah besar dalam tahun-tahun belakangan ini.
Bagi Perdana Menteri Hun Sen, yang bulan ini merayakan 30 tahun kekuasaannya, popularitas internet menjadi ancaman dan kesempatan.
Internet membuat jutaan warga Kamboja bisa menyuarakan ketidakpuasaan terhadap pemerintah Hun Sen yang ketat.
Partai Rakyat Kamboja, CPP, terpilih kembali dalam pemilu 2013 meski mengalami pengurangan suara mayoritas yang cukup besar.
Di lain pihak, internet juga memberi kesempatan pada para pemimpin CPP yang rata-rata berusia lanjut untuk langsung berhubungan dengan pemilih berusia muda sebelum pemilu 2018.
Partai Nasional Penyelamatan Kamboja, CNRP, yang beroposisi menuduh Hun Sen melakukan kecurangan untuk memenangkan pemilu itu dan melakukan aksi protes menentang hasil pemilu selama berbulan-bulan.
Aksi ini berakhir setelah militer membubarkannya dan menewaskan lima pekerja pabrik garmen dan melukai puluhan lainnya, sementara banyak pendukung CNRP yang masih dipenjara hingga kini.
Tetapi tidak ada aksi penggerebekan di dunia maya, seperti yang sebelumhya dikhawatirnya pengkritik Hun Sen.
Pada Oktober, kabinet Hun Sen mendirikan “Team Perang Siber” yang bertugas mengawasi materi yang beredar di dunia maya “untuk melindungi posisi dan citra pemerintah. Tetapi hingga kini badan itu belum berbuat banyak.
Pemerintah juga membatalkan RUU kejahatan siber yang berpotensi menekan, sementara polisi tampaknya mengendorkan niat untuk mengawasi penyedia layanan internet dan data telepon selular.
Silas Everet, perwakilan Asia Foundation di Kamboja, mengatakan pemerintah akan berada di “posisi berbahaya” jika menekan internet.
 Perdana Menteri Hun Sen menghadapi tantangan kuat dari oposisi yang menarik pendukung lewat media sosial. (Reuters/Damir Sagolj) |
“Karena jumlah kaum muda di negara ini tinggi, langkah untuk membatasi, mensensor atau terlalu mengawasi pengguna media sosial akan dipandang masyarakat sebagai langkah mundur,” ujar Everet.
“Pemahaman akan hal itu tersirat ketika pemerintah memutuskan untuk mencabut RUU kejahatan siber.”
Detektif AmatirPeningkatan telepon genggam pintar yang terkoneksi dengan internet membuat warga Kamboja bisa menghindari televisi, radio dan koran yang dikendalikan pemerintah.
Data statistik pemerintah menunjukkan bahwa pada 2008, hanya 70 ribu orang yang memiliki akses ke internet, sekarang jumlahnya mencapai 3,8 juta dan sebagian besar adalah kaum muda.
Sebanyak 70 persen dari 14 juta warga Kamboja berusia di bawah 30 tahun.
Banyak menteri kabinet yang memiliki akun Facebook dan Twitter, dan menurut Everet Kementerian Dalam Negeri berencana untuk lebih memanfaatkan media sosial.
Hun Sen, yang secara relatif baru bergabung dengan Facebook, memiliki 640 ribu “likes’, sementara laman Sam Rainsy, ketua CNRP, diikuti oleh lebih dari satu juta orang.
Ung Meng Cheu, pengusaha yang dibunuh di jalan, adalah direktur utama Grup Shimmex, perusahaan yang bergerak di bidang pengembang perumahan dan permata.
Pembunuhnya bahkan tidak menutup mukanya sebagai upaya mengaburkan identitasnya.
Polisi Kamboja mengatakan sedang memburuk konglomerat Kamboja bernama Thorng Sarat, 37 tahun, yang diduga berada di balik aksi pembunuhan itu.
Keenam orang yang ditangkap dalam kasus ini adalah orangtua Sarat dan pengawal pengusahanya.
Penembakan itu menimbulkan kemarahan dan membuat pengguna internet menjadi detektif amatir.
Thy Sovantha, 19 tahun, adalah pegiat mahasiswa yang memiliki pengikut 500 ribu orang. Dua hari setelah pembunuhan itu dia mengunggah foto yang menurutnya ada kemiripan pelaku dengan seorang polisi yang terlihat di tempat kejadian.
Sovantha membandingkan pakaian polisi, warna kulit dan ciri-ciri fisik lainnya. “Dia 99 persen mirip dengan pembunuh,” kilahnya.
Hal ini menekan polisi “untuk bekerja lebih cepat dalam menangkap pelaku pembunuhan,” ujar Sovantha kepada Reuters.
“Polisi tidak bisa menangani kejahatan seperti sebelumnya,” katanya. “Mereka harus berhati-hati karena rakyat…memiliki Facebook untuk mengikuti perkembangannya.”
Jenderal Chuon Sovann, kepala polisi Phnom Penh, menyangkal bahwa salah satu anggotanya pelaku penembakan.
Dia menyalahkan media sosial dalam menyebarkan “informasi salah”.
Keenam tersangka menyangkal tuduhan keterlibatan mereka dan mereka membuat pengakuan karena dipaksa polisi.
Fakta ini menimbulkan perdebatan apakah polisi sudah menangkap orang yang benar-benar terlibat.
Dalam satu kasus terkenal, polisi menangkap orang yang salah dalam kasus pembunuhan pemimpin serikat buruh Chea Vichea pada 2004.
Kedua terdakwa dipenjara selama lima tahun sebelum dibebaskan oleh Mahkamah Agung tahun lalu. Sementara pelaku sebenarnya masih belum tertangkap.
(yns)