Jakarta, CNN Indonesia -- Pasca serangan 9/11 yang mengguncang Amerika Serikat pada 2001 lalu, Aya Zouhri dan teman-teman perempuan Muslimnya yang menggunakan jilbab sering mendapat pandangan jijik atau komentar sinis dari orang-orang asing.
Namun setelah tiga mahasiswa Muslim ditembak mati pada Selasa malam di Universitas North Carolina, tingkat kewaspadaan warga Muslim memasuki level baru. Zouhri, 22, diperingatkan ayahnya untuk sangat berhati-hati saat akan berangkat ke kampus.
“Cara dia mengatakannyanya seperti berpesan, ‘Aku benar-benar khawatir sesuatu bisa terjadi padamu,’” kata mahasiswi senior itu di luar ruangan di mana mahasiswa Muslim berkumpul untuk sholat pada sore hari.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Beberapa mahasiswa Muslim yang datang ke universitas mengatakan mereka selalu merasa aman dan diterima di Chapel Hill, sebuah kota pendidikan sekitar 48 km dari Raleigh yang dikenal terutama karena olah raga basket dan pendidikan tinggi yang terjangkau.
Namun pembunuhan tiga mahasiswa di sebuah kompleks kondominium sekitar 3 km dari kampus pada Selasa malam megubah semuanya. Rasa aman warga, terutama umat Muslim, kini terusik.
Ketiga korban yang merupakan pasangan pengantin baru dan seorang mahasiswa sarjana yang bersekolah dua universitas di Chapel Hill, berasal dari dua keluarga Muslim terkemuka di daerah Raleigh, kata rekan-rekannya.
Deah Shaddy Barakat, 23, adalah seorang mahasiswa kedokteran gigi dari Universitas North Carolina, istrinya Yusor Mohammad, 21, sedang bersiap-siap untuk memulai sekolah kedokteran gigi di musim gugur dan adiknya, Razan Mohammad Abu-Salha, 19, adalah seorang mahasiswa di Universitas Negeri North Carolina.
Kini teman-teman mereka tak hanya berduka karena kehilangan tiga orang yang mereka kenal sangat baik, bersemangat dan suka melakukan kegiatan amal, namun juga was-was atas ancaman yang tiba-tiba muncul di lingkungan mereka.
“Lingkungan ini tidak seaman dan seprogresif yang kami kira,” kata Sofia Dard, 21, yang mengambil jurusan psikologi. “Sekarang kami harus hidup dengan ekstra waspada.”
Sang pelaku, Craig Stephen Hicks, 46, dikenal sebagai seorang ateis yang mengecam semua agama dan sering mem-posting status anti-agama.
Ia menyerahkan diri kepada polisi usai menembak, dan polisi mengatakan motif pembunuhan ditengarai akibat perselisihan terkait lahan parkir.
Polisi juga mengatakan Hicks tidak menjadi bagian dari kampanye anti-Muslim di North Carolina.
Namun Mohammad Abu-Salha, ayah dari dua korban perempuan, mengatakan bahwa kepada News & Observer bahwa pembunuh melahirkan tanda-tanda kejahatan rasial berdasarkan agama dan budaya.
"Ini bukan sengketa tempat parkir, ini adalah kejahatan rasial. Pria ini telah berselisih dengan putri saya dan suaminya beberapa kali sebelumnya, dan ia berbicara dengan pistol di sabuknya. Dan mereka tidak nyaman dengan dia, tetapi mereka tidak tahu dia akan berlaku sejauh ini," kata Abu-Salha yang juga seorang psikiater di Clayton.
Manzoor Cheema, aktif dalam komunitas Muslim Social Justice di Raleigh, mengatakan penembakan itu adalah contoh dari “meningkatnya Islamofobia” di AS.
Bulan lalu, Universitas Duke di Dirham membatalkan rencana untuk menyelenggarakan azan setelah mendapat perlawanan sengit dari para kritikus Kristen, termasuk Franklin Graham seorang pemuka agama Kristen, yang mengatakan dalam Facebook-nya, “Pengikut Islam memperkosa, membantai, dan memenggal orang Kristen, Yahudi dan siapapun yang tak tunduk pada hukum Syariah mereka.”
“Kami melihat beberapa kasus serangan terhadap Muslim di North Carolina yang sangat mengganggu,” kata Cheema. “Saya berharap tragedi yang mengerikan ini akan menjadi titik balik yang membawa realitas bahwa jika kita terus mengutuk Muslim dan menyamakan agama mereka dengan terorisme, hal itu akan menyebabkan lebih banyak serangan.”
(stu)