Jatuh Bangun Myanmar Menuju Pemilu Demokratis

Amanda Puspita Sari | CNN Indonesia
Sabtu, 07 Nov 2015 12:03 WIB
Sejarah modern Myanmar diwarnai pergolakan berdarah di bawah pemerintahan junta militer, sebelum tiba pada pemilu demokratis pertama yang diselenggarakan besok.
Partai Suu Kyi diperkirakan akan menang, mengalahkan partai berkuasa yang didominasi mantan anggota militer saat ini. (Reuters/Soe Zeya Tun)
Jakarta, CNN Indonesia -- Sekitar 30 juta warga Myanmar akan menikmati pesta demokrasi dalam pemilihan umum yang akan diselenggarakan pada Minggu (8/11) mendatang. Pemilihan yang diharapkan dapat berlangsung bebas dan adil ini disebut-sebut sebagai pemilu demokratis dalam 25 tahun terkahir, setelah lebih dari 50 tahun Myanmar dikuasai oleh pemerintahan junta militer.

Myanmar, yang juga dikenal dengan nama Burma, meraih kemerdekaan pada 4 Januari 1948, meski diwarnai oleh aksi pembunuhan Jenderal Aung San, tokoh penting dalam upaya kemerdekaan Myanmar, di Yangon setahun sebelumnya.

Pasca merdeka

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pasca merdeka, Myanmar menjadi negara demokratis dan menganut sistem pemerintahan parlementer di bawah pimpinan Perdana Menteri U Nu, salah satu tokoh penggagas Gerakan Non Blok pada Konferensi Bandung 1955.

Namun, perpecahan internal dalam partai Liga Anti-Fasis Kebebasan Rakyat (AFPFL) yang berkuasa memiliki dampak yang sangat besar bagi keberlangsungan demokrasi di Myanmar, ketika Kepala Militer Jenderal Ne Win meluncurkan kudeta pada 1962, melengserkan pemerintahan U Nu.

Ne Win kemudian berupaya membentuk pemerintahan militer dan berupaya menerapkan sistem "sosialis ala Burma," menasionalisasikan seluruh perusahaan besar Myanmar dan membentuk pemerintahan satu partai, yaitu Partai Program Sosialis Burma yang berkuasa.

Untuk mewujudkan ambisinya membangun Myanmar yang sosialis, Ne Win mendirikan Dewan Revolusi yang dipimpin oleh sejumlah jenderal militer pada 1962. Aksi protes bermunculan secara sporadis, menentang kepemimpinan Ne Win dan kekuasaan militer.

Pada 1974, undang-undang baru terbentuk, memindahkan kekuasaan dari militer ke lembaga legislatif unikameral, Dewan Rakyat. Meski demikian, tidak banyak perubahan terhadap pemerintahan Myanmar karena Dewan Rakyat yang baru dibentuk juga dipimpin oleh Ne Win dan sejumlah mantan jenderal. Dengan undang-undang yang baru, Ne Win kemudian diresmikan sebagai presiden.

Pada 1981, Ne Win pensiun sebagai presiden, dan digantikan oleh penerusnya San Yu. Namun, Ne Win tetap memimpin Partai Program Sosialis Burma, dan sebagian besar kebijakan pemerintah bergantung kepada keputusan Partai Program Sosialis Burma.  

Pada 23 September 1958, pemrotes berkumpul pada kampanye pemilihan umum di Rangoon. (Keystone/Getty Images)

Gerakan 8888

Berbagai perubahan pada sistem pemerintahan Myanmar tidak menjadikan kondisi ekonomi lebih baik, dan jusru ketegangan etnis semakin meningkat. Pada 1988, aksi protes besar-besaran menentang pemerintah terus terjadi dan selalu berujung rusuh, utamanya sejak gerakan 8 Agustus 1988, atau yang sering disebut gerakan 8888, mengakibatkan lebih 3.000 orang tewas dalam periode enam pekan.

Akibatnya, Ne win lengser dari kepemimpinan dan militer kembali mengambil alih pemerintahan di bawah nama Dewan Hukum Negara dan Perintah Restorasi, atau SLORC, yang dipimpin oleh Kepala Angkatan Darat, Jenderal Saw Maung.

SLORC kemudian menghapuskan undang-undang, menjanjikan digelarnya pemilu parlemen pada Mei 1989 dan mengganti nama resmi negara dari Burma menjadi The Union of Myanmar pada 19 Juni 1989.

Demi menyambut pemilu, pihak oposisi segera membentuk partai politik, Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) yang dipimpin oleh Aung San Suu Kyi, anak dari Jenderal Aung San, yang secara luas dianggap berjasa atas kemerdekaan Myanmar.

Terancam oleh kehadiran dan kepopuleran Suu Kyi di mata publik, SLORC kemudian menerapkan hukuman tahanan rumah kepada Suu Kyi atas "tuduhan membahayakan negara." SLORC juga kerap berupaya menunda digelarnya pemilu, hingga akhirnya diselenggarakan pada Mei 1990.

Status "tahanan rumah" yang disandang Suu Kyi ternyata tak mampu membendung kepopuleran NLD yang berhasil mengamankan 392 kursi dari 485 kursi yang tersedia, mengalahkan Partai Program Sosialis Burma yang berubah nama menjadi Partai Persatuan Nasional (NUP).

Tak bersedia melepas kekuasaan, pada 19 Juni 1990, pemimpin SLORC, Saw Maung, menganulir hasil pemilu, dan menyatakan bahwa konstitusi baru lebih diperlukan untuk membangun Myanmar.

SLORC mengklaim memiliki legitimasi untuk memerintah Myanmar karena diakui oleh PBB dan sejumlah negara lain. Seluruh partai diminta untuk mengakui legitimasi ini, dan sejumlah pemimpin oposisi diasingkan, dipenjara atau ditempatkan dalam tahanan rumah.

Saw Maung kemudian digantikan oleh Jenderal Senior Than Shwe sebagai pemimpin SLORC, perdana menteri, dan sekaligus menteri pertahanan pada 1992. Pada masa pemerintahan Saw Mau, sejumlah tahanan rumah dibebaskan, sebagai upaya memperbaiki citra Myanmar di ranah internasional.

Namun, baru pada 1995, Suu Kyi dibebaskan setelah mendekam sebagai tahanan rumah selama empat tahun dan 355 hari. Namun pada 22 September 2000, Suu Kyi kembali ditempatkan dalam tahanan rumah selama dua tahun.

Pemerintahan junta militer kemudian berganti nama menjadi Dewan Perdamaian Negara dan Pembangunan pada 1997, tetapi tetap dipimpin oleh Than Shwe. Perjalanan menuju demokrasi tetap berliku dan tidak menemui hasil yang jelas.

Pada 2002, Khn Nyunt, yang sebelumnya merupakan wakil Than Shwe, menjabat sebagai perndama menteri dan mengusulkan konvensi pada 2004, sebagai "upaya menuju demokrasi".

Pada 2007, aksi protes terbesar dalam 20 tahun terjadi, dipicu oleh melonjaknya harga minyak dunia yang membuat harga kebutuhan bahan pokok melambung tinggi. Demonstrasi yang dipimpin oleh para bikshu diredam oleh tentara, menewaskan 31 orang dan memicu kemarahan publik internasional.

Tahun ini, pemilu Myanmar juga diwarnai dukungan besar kelompok Buddha radikal terhadap pemerintah yang saat ini berkuasa. (Reuters/Soe Zeya Tun)
Suu Kyi dilarang jadi presiden

Pemerintahan junta militer kemudian mengumumkan referendum pada 2008, dan memutuskan akan kembali menggelar pemilu pada 2010, sebagian besar dipicu oleh tekanan internasional.

Konstitusi yang baru ini termasuk klausa 59f yang menyatakan bahwa seorang yang memiliki pasangan dan keturunan warga negara asing dilarang mencalonkan diri sebagai presiden. Peraturan ini dinilai sengaja dibuat untuk melarang Suu Kyi berpartisipasi dalam pemilu.

Kecewa dengan peraturan ini dan keputusan junta untuk menganulir pemilu pada 1990 silam, NLD kemudian memboikot pemilu tahun 2010. Sementara, setidaknya 27 pejabat militer mengundurkan diri dari jabatan kemiliteran mereka, termasuk Thein Sein, membentuk Partai Persatuan Solidaritas dan Pembangunan USDP, dan mencalonkan diri sebagai kandidat pemilu dari warga sipil.

Pada pemilu tahun 2010, USDP memenangkan 75 persen suara dari seluruh kursi yang diperebutkan. Hasil ini secara luas memantik kecurigaan akan kecurangan hasil pemilu. Sementara, pemerintahan junta menyatakan pemilu tersebut menjadi tonggak transisi dari pemerintahan militer menuju pemerintahan sipil yang demokratis.

Sepekan setelah pemilu, Suu Kyi dibebaskan dari tahanan rumah. Sementara pada Maret 2011, Thein Sein diresmikan sebagai presiden.

Partai Suu Kyi diperkirakan akan menang besar, meski konstitusi melarangnya untuk jadi presiden. (Reuters/Jorge Silva)
Era semi sipil

Dengan Suu Kyi yang telah bebas, NLD kembali menggumpulkan kekuatan untuk mengikuti pemilu sela pada 2012, dan berhasil menang telak 43 kursi dari 46 kursi parlemen yang diperebutkan. Sementara USDP tak memenangkan satu kursi pun.

Sejumlah perubahan terjadi di bawah kepemimpinan Thein Sein. Hubungan Myanmar dengan dunia internasional membaik. Namun, kerusuhan berdarah antara etnis Buddha dan etnis Muslim Rohinhnya yang menewaskan 90 orang di negara bagian Rakhine, mengejutkan publik internasional dan menandakan pelanggaran HAM masih terus terjadi di Myanmar.

Pada 2014, parlemen Myanmar mengumumkan pemilihan umum berikutnya akan diselenggarakan pada akhir 2015. Selain itu, sebanyak 3.000 tahanan politik dibebaskan untuk memperbaiki citra publik internasional.

Meski begitu, banyak yang menganggap bahwa perubahan kecil ini tak banyak berarti, terutama terkait besarnya kekuasaan militer, mengingat orang-orang mereka masih duduk di tampuk kepeimpinan.

Meskipun pada pemilu tahun ini Thein Sein tidak mencalonkan diri, Thein Sein bisa saja kembali ditunjuk sebagai presiden selama lima tahun ke depan oleh parlemen Myanmar. (stu)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER