Jakarta, CNN Indonesia -- Ryan Power sudah tinggal di tempat bersejarah Filipina, Liwasang Bonifacio, sejak tujuh tahun lalu. Namun, sepekan sebelum konferensi APEC, kakek berusia 56 tahun ini mengaku ditangkap oleh petugas Kementerian Kesejahteraan dan Pembangunan Sosial (DSWD) dan Balai Kota Manila, kemudian ditahan di Pusat Penerimaan dan Aksi (RAC).
"Saya diberi tahu bahwa tidak boleh ada gelandangan karena presiden dari berbagai negara akan datang. Tidak boleh ada orang seperti kami di jalanan karena kami adalah sampah," ujar Power kepada
CNN Filipina, Sabtu (21/11).
Setelah kabur dari pusat penampungan di Manila tersebut, Power bertanya-tanya, apa maksud penahanan para tunawisma tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Mengapa mereka menahan kami? Kami tak melakukan apa-apa di sana. Kami hanya akan diberi makan dan setelah beberapa hari, kami akan dibebaskan. Kami akan kembali lagi ke sini karena kami tidak punya rumah," tutur Power.
Tak hanya Power, tunawisma lain juga ditahan di Batangas dan Laguna, demi citra baik Filipina di mata internasional.
Merujuk pada laporan Human Rights watch, ada ribuan warga, termasuk 140 anak-anak, yang ditahan dalam operasi pembersihan untuk "mempercantik" kota menjelang KTT APEC pada 16-19 November. Kelompok pemerhati hak asasi manusia inipun menyerukan pembebasan para tunawisma tersebut.
Namun, Menteri Kesejahteraan Sosial Filipina, Corazon Soliman, menampik tudingan HRW. Soliman mengatakan, pemerintah menahan para tunawisma karena jalan tidak aman, bukan untuk membersihkan citra menjelang APEC.
"Kami tidak bisa menyembunyikan kemiskinan," katanya.
Menurut Soliman, penahanan tunawisma ini memang merupakan program orientasi pemerintah untuk kesejahteraan rakyat.
Soliman menjabarkan bahwa hanya 77 keluarga yang ditahan sepekan sebelum APEC, sementara warga lainnya dimasukkan ke penampungan jauh sebelumnya.
"Ada 100 keluarga yang kami beri orientasi saat selama kunjungan Paus. Kami dituduh menyembunyikan mereka. Dari 100 keluarga tersebut, 75 di antaranya sudah punya rumah, pekerjaan, dan anak-anaknya bersekolah," ucap Soliman.
Melalui program bertajuk Pantawid Pamilyang Pilipino Program (4Ps) ini, Soliman mengatakan bahwa pemerintah dapat menolong banyak keluarga membutuhkan.
Pemerintah melalui 4Ps memberikan uang tunai kepada keluarga miskin dengan beberapa syarat, seperti membawa anak mereka ke sekolah dan pusat kesehatan.
Salah satu penerima bantuan tersebut adalah Jake Boyles, siswa Kelas 8 yang dinobatkan menjadi anak teladan.
"Terkadang, ketika cuaca buruk atau saya kekurangan uang, saya tidak bisa pergi ke sekolah. Ayah saya nelayan. Namun sejak ada program 4Ps, ada banyak perubahan dalam hidup saya. Saya ingin mimpi saya menjadi ilmuwan dapat tercapai," kata Boyle.
Namun, pemerintah mengaku kerap mengalami kesulitan ketika menghadapi keluarga yang tinggal di jalanan.
"Beberapa dari mereka tidak mau berada di sana dan mereka bisa keluar dari situasi tersebut. Namun, ada beberapa yang terbiasa hidup di jalan dan lebih memilih tinggal di sana. Kami tidak bisa memaksa tunawisma semacam itu. Kami hanya bisa menasihati mereka dan mengundang mereka ke pusat penampungan," papar Soliman.
Hingga kini, pemerintah masih berusaha untuk membangun rumah bagi para tunawisma. Namun, masih banyak masalah dalam pengadaannya.
"Tantangannya adalah untuk menemukan tempat di mana investasi dapat ditanamkan dan meyakinkan mereka bahwa hidup di sana lebih baik. Ini tidak mudah. Semua sudah dimulai sejak 2013. Kami sudah menyediakan pilihan. Kini, mereka memiliki hidup bermartabat," kata Soliman.
(den)